Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUSAHAAN mana pun yang menangguk untung dari negeri ini wajib membayar pajak. Google Indonesia semestinya tidak terkecuali. Apalagi, menurut Kantor Pajak Khusus Wilayah DKI Jakarta, dari pendapatan iklan saja seharusnya perusahaan multinasional Amerika Serikat itu membayar pajak Rp 550 miliar setahun.
Google Indonesia rupanya punya alasan lain. Selama ini, transaksi bisnis perusahaan jasa dan produk Internet itu dijalankan dari kantor Google Asia di Singapura. Di Jakarta, raksasa bisnis digital itu hanya membuka kantor perwakilan pada 2011—bernama PT Google Indonesia—yang berstatus penanaman modal asing. Status itulah yang membuat Google Indonesia merasa tidak perlu membayar pajak di sini dan menolak pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak.
Padahal, melihat berbagai kegiatan bisnis Google di negeri ini, yang jelas menghasilkan keuntungan, perusahaan kelas dunia itu tidak layak menghindari pajak. Menurut Undang-Undang Pajak, Google Indonesia sudah harus berubah status menjadi badan usaha tetap, agar setiap transaksi di Indonesia bisa dikenai pajak. Yang kurang patut, sampai sekarang belum kelihatan Google akan mendirikan badan usaha tetap itu. Sikap semacam ini bisa menimbulkan kesan Google sengaja ngeles dari pajak—seperti yang dituduhkan otoritas pajak di banyak negara.
Selama ini Google hanya membayar pajak dalam jumlah kecil di negara-negara besar Eropa, seperti Prancis dan Inggris. Perusahaan itu mengalihkan hampir semua pendapatannya ke Irlandia, negara dengan tarif pajak paling rendah di dunia. Tidak semestinya Google menerapkan "strategi" yang sama di Indonesia, mengingat besarnya keuntungan yang diraupnya di sini.
Menarik pajak dari perusahaan berbasis Internet yang bergerak lintas negara memang perlu pengetahuan khusus. Pengalaman India barangkali bisa ditiru. Pemerintah India belum lama ini mengenakan pajak 6 persen untuk transaksi yang nilainya lebih dari 100 ribu rupee (sekitar Rp 20 juta) setahun. Lewat kebijakan yang disebut "Pajak Google" ini, pemerintah India menarik pajak dari perusahaan India yang membeli layanan online dari perusahaan asing, termasuk Google.
Kebijakan itu hanya berlaku untuk transaksi antara perusahaan India dan perusahaan asing yang tak punya badan usaha tetap di India—seperti kasus Google Indonesia. Dengan berlakunya kebijakan ini, sejak 1 Juni lalu, India menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan pajak bagi ekonomi digital.
Pemerintah Indonesia juga bisa menerapkan pajak penghasilan final untuk setiap transaksi online. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan lain, pajak final telah diterapkan pada sejumlah transaksi bisnis, seperti pajak bunga deposito. Dengan pajak penghasilan final itu, contohnya, nasabah yang memiliki deposito cukup dikenai pajak sekali saja atas bunga deposito, dan tidak perlu membayar pajak lagi ketika ia menyerahkan surat pemberitahuan tahunan pajak atas deposito yang sama.
Pajak final juga bisa diterapkan pada perseorangan atau perusahaan Indonesia yang membeli layanan Google atau yang lain. Dengan cara ini, pajak sudah bisa langsung dipungut, tanpa perlu memperhatikan lokasi kantor Google atau status badan usaha yang dimilikinya.
Tanpa terobosan semacam ini, Indonesia akan terus menjadi surga bebas pajak bagi perusahaan multinasional asing yang menangguk pendapatan besar dari konsumennya di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo