Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENIN pagi pekan lalu adalah hari yang istimewa bagi warga Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Hari itu mereka menggelar resepsi 90 tahun pondok tersebut berdiri. Presiden Joko Widodo beserta Ibu Negara serta beberapa pejabat dan tokoh menghadiri puncak syukuran ulang tahun itu. Begitu rombongan Presiden turun dari mobil, tim santri berseragam putih berbaris dan para kiai pimpinan pondok menyambut mereka. Irama lagu Jika yang dinyanyikan Melly Goeslaw dan Ari Lasso dimainkan kelompok drum band terdengar menggema.
Sebelum menyapa para santri yang berjas dan berkopiah, Presiden Jokowi meresmikan Gedung Utama Universitas Darussalam (Unida) Gontor. Presiden juga meletakkan batu pertama pembangunan menara baru Masjid Jami, yang direncanakan mencapai ketinggian 90 meter. Kedatangan Jokowi melengkapi kunjungan para Presiden Indonesia sebelumnya.
"Kedatangan Bapak Presiden membanggakan dan membesarkan hati kami dan para santri," ujar pemimpin Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Hasan Abdullah Sahal, dalam acara tersebut. Presiden terkejut saat mengetahui para santri berasal dari seluruh penjuru Tanah Air, bahkan dari mancanegara. Presiden sempat menjalankan salat zuhur di sana, diimami KH Hasan Abdullah Sahal.
UNTUK masuk ke Pondok Gontor sekarang, calon santri harus lulus seleksi. Mereka yang lolos seleksi diwajibkan membayar uang pembangunan gedung sekitar Rp 5 juta dan uang buku. "Setiap semester membayar Rp 610 ribu untuk makan, penginapan, dan sekolah. Standarlah," ujar Farida, 33 tahun, ibu dari santri Muhammad Dzaki Haidan.
KH Hasan Abdullah Sahal mengatakan santrinya mayoritas berasal dari kalangan ekonomi menengah-bawah. Pekerjaan orang tua mereka bervariasi, seperti pegawai negeri, petani, pedagang, dan tentara. "Banyak yang nunggak bayar SPP (sumbangan pembinaan pendidikan)," katanya. Bagi yang telat membayar diberi keringanan, seperti bebas biaya makan. Tapi, syaratnya, mereka harus berprestasi dan ada keterangan tidak mampu.
Menjelang subuh, sekitar pukul 03.30, geliat kehidupan di pondok mulai terasa. Para santri bangun dan menyiapkan diri untuk salat subuh berjemaah. Untuk santri kelas I-IV, mereka menjalankan salat di rayon masing-masing. Sedangkan santri kelas V-VI berjemaah di Masjid Jami. "Sebelum salat, jemaah ada yang salat sunah di kamar. Setelah salat membaca Quran," ujar Imam Muchtar, salah satu ustad pengasuh. Setelah itu, mereka bebas melaksanakan aktivitas pribadi—mandi, cuci pakaian, atau belajar bersama wali kelas.
Kegiatan berlangsung hingga pukul 06.30 untuk sarapan, lalu masuk kelas pada pukul 07.00. "Semua santri harus berada di dalam kelas untuk mengikuti kegiatan belajar," kata Imam. Kegiatan belajar berlangsung hingga pukul 12.15 dengan dua kali istirahat. Selepas belajar pengetahuan umum di kelas, mereka makan siang, lalu melanjutkan belajar hingga waktu asar. Setelah itu, mereka bisa bebas beraktivitas. Terlihat santri yang berolahraga, mengikuti kursus bahasa, mencuci, dan mencukur rambut.
Menjelang petang, mereka terlihat bergegas, berlari kecil, lalu mengantongi sandal masing-masing untuk salat magrib, mengaji, kemudian makan malam, dan menjalankan salat isya di rayon masing-masing. Para santri kembali belajar bersama wali kelas hingga pukul 21.30. "Materi pelajarannya bebas. Nanti setelah ini langsung tidur. Sudah capek," ujar Anfa'ul Ulum, santri kelas IV, kepada Tempo. Sebagian santri mulai terlihat lelah. Mata mereka merah menahan kantuk, lalu mereka beranjak ke rayon masing-masing. Peraturan di pondok mengharuskan santri tidur pada pukul 22.00.
Selama di lingkungan pondok, para santri diwajibkan berbahasa Inggris dan Arab. Ada saja santri yang ketahuan melanggar aturan. Pada Sabtu petang, 17 September 2016, misalnya, Tempo melihat sembilan santri berbaris memanjang dan berjalan di lapangan. Mereka saling memegang satu telinga temannya. Salah satu tangan mereka membawa kamus bahasa Inggris. Sembilan santri itu berteriak: "My brother speak English language!" Ternyata mereka sedang dihukum seniornya.
"Ketahuan melakukan pelanggaran menggunakan bahasa Indonesia," kata salah seorang santri ketika ditanya Tempo. Tempo juga menyaksikan Bona Sada Aqbal, santri kelas V, sedang melakukan gerakan squat jump. Badannya berkeringat setelah menjalani 50 kali gerakan. "Ini untuk kedisiplinan saya juga," ujar remaja asal Bandung ini. Bona dihukum karena terlambat datang ketika salat magrib berjemaah di Masjid Jami. Pendidikan kedisiplinan di Pondok Gontor ditegakkan secara semimiliter. Setiap pelanggaran selalu mendapat sanksi, seperti lari, push-up, berdiri sambil membaca kitab, dan dicukur plontos. "Hukumannya macam-macam, tapi tidak main fisik (memukul)," ucap Imam Muchtar.
Hukuman di pondok dibagi dalam kriteria ringan, sedang, dan berat untuk kenakalan para santri. Tak ada pengistimewaan sekalipun anak para kiai bersalah. Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi ingat ia pernah dihukum gara-gara ketahuan mencuri mangga milik kiai atau ketahuan keluar dari pondok untuk menonton wayang. "Saya termasuk yang selamet, dihukum ringan. Disuruh nyapu aula seminggu. Gayanya saja nyapu, tapi ya kotoran cuma didorong-dorong begitu," ujar pemimpin Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur, ini sambil terkekeh. Hasyim juga terkekeh ketika mengingat ia dan KH Abdullah Syukri Zarkasyi ketahuan nonton wayang. "Dia dua kali digunduli. Saya selamet karena agak tersamar."
Kenakalan lain yang dilakukan Hasyim Muzadi adalah menyembelih dan memasak ayam kiai yang nyasar masuk pondok. Ayam itu lalu dibagikan kepada teman-temannya dengan alasan dikasih tetangga. "Setelah kenyang, barulah saya kasih tahu asalnya." Hasyim nyantri sejak 1956 hingga 1962 pada usia 13 tahun. Rambut digunduli merupakan hukuman yang memalukan bagi para santri. Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir pernah mengalaminya. "Itu pertama dan terakhir gara-gara ketahuan belajar merokok sewaktu di tingkat junior," ucapnya.
Kenakalan dan keusilan mereka dan semacamnya ini sering jadi bahan olok-olokan ketika bertemu dengan sesama santri. Seperti saat reuni alumnus yang berlangsung pada awal September lalu. Tak kurang dari 11 ribu alumnus angkatan 1963-2000 hadir. "Kalau sudah begitu, bisa guyon sampai pagi," ujar Hasyim Muzadi.
Bagi Hasyim Muzadi dan Abdurrahman Mohammad Fachir, Gontor adalah kawah candradimuka, lembaga yang memberi mereka kunci untuk menghadapi kehidupan. Pesantren ini, kata Hasyim, yang mencetak kepribadian, karakter, keilmuan, cara pandang, semangat, perjuangan, dan kemandirian. Gontor saat itu, menurut dia, merupakan pesantren yang paling tertib dan maju. Saat pesantren lain mengharamkan pengetahuan umum, Gontor malah mengintegrasikan pendidikan umum dan agama, bahkan mengajarkan bahasa asing. "Apa yang didapat di Gontor itu untuk dikembangkan. Itu kunci untuk membuka yang lain," ujarnya. Walaupun maju, Hasyim melihat Pondok Gontor masih perlu pengembangan. Gontor, yang mencetak santri yang mempertahankan nilai Islam dan nasionalisme, harus melakukan akomodasi dan seleksi.
GONTOR mempunyai sejarah yang panjang sejak abad ke-18. Cikal-bakal pesantren ini bisa disebut memiliki hubungan dengan Pesantren Tegalsari, tempat nama besar seperti Pakubuwana II, penguasa Kasunanan Kartasura, dan Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga masyhur, pernah menjadi santri. Di zaman modern, rekam jejak produk Gontor terlihat dari banyaknya lulusan pesantren itu menjadi tokoh penting di negeri ini.
Sebut saja cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum), mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni (almarhum), Duta Besar Republik Indonesia untuk Suriah Muzammil Basyuni, Duta Besar RI untuk Azerbaijan Husnan Bey Fananie, dan Duta Besar RI untuk Oman Musthofa Taufik Abdul Latif. Selain itu, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin; pengusaha yang juga saudara Wakil Presiden Jusuf Kalla, Suhaili Kalla; Ketua Ikatan Da'i Indonesia Satori Ismail; Ketua Reform Institute Yudi Latif; dan penulis novel Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi.
Kiai Ageng Hasan Bashari-lah yang mulanya membuka lahan dan mendirikan pesantren di Desa Gontor, tiga kilometer dari Tegalsari—daerah yang saat itu masih banyak pemabuk, penjudi, dan penjahat. Tatkala dipimpin Kiai Sulaiman Jamaluddin, putra Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon, pesantren ini berkembang pesat. Estafet kepemimpinan beralih ke putranya, KH Archam Anom Besari, lalu kepada Kiai Santoso Anom Besari.
Tatkala Kiai Santoso wafat, Nyai Santoso mengirim tiga putranya, yakni Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani, dan Imam Zarkasyi, ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan. Ada yang ke Josari, Jetis, Joresan Kauman di Ponorogo dan Pondok Tremas, Pacitan. Pondok Siwalan Panji, Sidoarjo, juga disinggahi. Merekalah yang kelak disebut Trimurti Gontor, yang mendirikan Pondok Gontor, pondok modern dari pelosok Ponorogo, Kota Reog dan Warok.
Di tengah pencarian ilmu itu, kata Hasan Abdullah Sahal, putra keenam Ahmad Sahal, ayahnya mengikuti Kongres Umat Islam di Surabaya. Dari kongres itu, dipilih utusan ke Kongres Umat Islam Internasional di Mekah. Dipilihlah H O.S. Tjokroaminoto, yang cakap berbahasa Inggris, dan KH Mas Mansur, yang piawai berbahasa Arab. Hamid Fahmy Zarkasyi, putra kesembilan Imam Zarkasyi, mengatakan kongres di Surabaya itu membuat KH Ahmad Sahal sadar bahwa bahasa Inggris dan bahasa Arab sama penting.
"Pulang dari Surabaya (KH Ahmad Sahal) ingin memodernisasi pesantren lama," ucap Hasan. Ide itu disampaikan Ahmad Sahal kepada dua adiknya, yakni Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi. Gontor didirikan berkiblat ke Universitas Al-Azhar, Mesir, yang menerapkan sistem wakaf; Pondok Syanggit di Libya; serta Universitas Muslim Aligarh dan Perguruan Shantiniketan, yang didirikan filsuf Hindu, Rabindranath Tagore, di India.
"Gontor dirintis seperti sekolah," ujar Hamid Fahmy Zarkasyi. Program ini dilengkapi kegiatan Pandu Bintang Islam, olahraga, dan kesenian. "Gontor sebenarnya kombinasi dari KH Ahmad yang mempunyai karisma, Imam Zarkasyi yang menguasai pendidikan, dan Zainuddin Fannani yang seorang organisatoris, " kata pria yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Unida Gontor ini. Saat itulah dideklarasikan Pondok Gontor dengan sistem yang berbeda.
Untuk menghidupkan pondok, mereka bertiga menjual warisan hak mereka dan sokongan saudara kandung tertua, yakni R. Rahmat Sukarto, yang waktu itu menjadi kepala desa setempat. Tak kurang dari 16 hektare tanah warisan Kiai Sulaiman Jamaluddin diwakafkan untuk mendirikan kelas, buat biaya pendidikan, dan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Para santri duduk beralas tikar anyaman daun kelapa di bawah pohon rindang pada siang hari, sedangkan pada malam hari belajar di rumah penduduk dengan penerangan lampu dari sabut kelapa.
Dalam tempo tujuh tahun, santri Gontor berjumlah 500 orang, laki-laki dan perempuan, dari luar Ponorogo. Kebutuhan memiliki pondok yang besar membuat dibentuk tim ke berbagai tempat untuk mencari dana. Para santri di pondok juga harus membantu dengan membuat bata. Perkembangan pondok yang pesat tak bergesekan dengan budaya masyarakat yang akrab dengan budaya warok dan gemblak. "Kalau untuk warok tidak ada masalah karena Kiai Ahmad Sahal jago silat yang disegani pendekar-pendekar," ujar Kiai Hasan Abdullah Sahal. Kusni, 100 tahun, penerus Mbah Kamituwo Kucing, salah satu warok legendaris di Ponorogo, mengatakan selama ini tidak pernah ada permasalahan dengan Pondok Gontor.
PEMBARUAN di Gontor yang signifikan terjadi pada 1936. Sepulang dari bersekolah di Padang Panjang, Sumatera Barat, Imam Zarkasyi menawarkan konsep Kulliyatu-l-Mu'allimin al-Islamiyah (KMI) atau sekolah guru Islam. Saat itu santri diwajibkan membayar. "Di sana saja bisa (diterapkan), tentunya di sini (Gontor) juga bisa. Itu prinsip beliau," Hamid Zarkasyi menjelaskan.
Perubahan lain dari sistem ini, para ustad diminta berpakaian lebih rapi—mengenakan dasi dan jas. Mulanya ini dianggap meniru pakaian penjajah. Meski demikian, tekad pendiri pondok tetap bulat. Sistem KMI tetap dijalankan dan secara perlahan kondisi mulai stabil. Bahkan jumlah santri kian bertambah. Untuk mendukung kegiatan belajar, didatangkan ustad dari Sumatera Barat buat mengajar bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang. Guru langsung mengamati percakapan santri, berbicara bahasa Arab dan Inggris. Pondok harus mengeluarkan banyak uang untuk membayar para guru ini. "Dibayar dengan nominal sama dengan seekor sapi waktu itu. Karena itulah santri dikenai biaya pendidikan," ujar Hamid. Imam Zarkasyi menulis buku dan mencetak sendiri di pondok, lalu dijual ke santri. Hamid masih ingat, ketika masih di sekolah dasar, belum masuk pondok, ia sering membantu ayahnya di percetakan. Dia harus melipat kertas dan mengelem kertas yang telah dijilid tanpa mendapat upah.
Buku-buku tulisan Imam Zarkasyi hingga kini masih digunakan sebagai pegangan santri Gontor, seperti fikih, tajwid, dan ushuluddin. Selain membuka percetakan, untuk menghidupi pondok, mereka bertani dan berkebun. Mereka menanam pohon kelapa dan mangga di lahan kosong, yang kemudian dijual di pasar. Kondisi ekonomi saat itu sulit. Apalagi saat itu sedang keadaan genting peristiwa Madiun 1948, yang menewaskan banyak santri dan ustad.
Setelah keadaan membaik, Trimurti Gontor kemudian mewakafkan tanah di sekitar bangunan utama pondok seluas 2,5 hektare pada 1958. Hingga saat ini, usaha pondok berkembang dari toko buku, konfeksi, pengelolaan tanah sawah, pusat perkulakan, penggilingan padi, produksi air dalam kemasan, hingga lembaga pendidikan. Juga usaha perkebunan sawit dan karet.
Imam Muchtar, Wakil Ketua Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf, mengatakan unit usaha itu dikelola oleh ustad, khususnya yang berada di bawah koperasi pondok pesantren. Unit usaha percetakan Darussalam Press, misalnya, kini memiliki omzet hingga Rp 3 miliar per tahun. Usaha penggilingan padi beromzet Rp 9 miliar per tahun. Hasil usaha disetor ke Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf. Kemudian disetorkan kepada pimpinan pondok untuk kebutuhan lembaga pendidikan tersebut. "Hal inilah yang bisa membuat pondok besar," ucapnya. Sebanyak 120 pekerja dari luar pondok digaji, tapi para ustad tidak.
Selain di Ponorogo, unit usaha itu beroperasi di sejumlah pondok cabang yang ada di beberapa kota, di antaranya Banyuwangi, Jawa Timur; Magelang, Jawa Tengah; Provinsi Lampung; Provinsi Aceh; dan Sulawesi. Usaha ini menghidupi belasan pondok cabang Gontor di berbagai tempat. Dian Yuliastuti, Nofika Dian Nugroho (Ponorogo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo