Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belajar Slow Living Bersama Ukke Kosasih

Ukke Kosasih mempraktikkan gaya hidup slow living sejak 2016. Ia dan keluarga hijrah dari Bintaro, Jakarta, ke Bandung.

26 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ukke Kosasih di rumah Kabin Kebun di Kampung Panyandaan, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 Februari 2023. TEMPO/Prima mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ukke R. Kosasih sekeluarga menerapkan slow living sejak 2016, terhitung sejak mereka hijrah dari Bintaro, Jakarta, ke Kampung Panyandaan, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Rencana kepindahan yang disertai pola hidup baru itu telah mereka rancang lima tahun sebelumnya. “Bukan sebuah romansa hidup di desa, melainkan strategi kami untuk bisa mencapai apa yang kita sebut bahagia,” kata Ukke, Selasa, 21 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung mereka pilih dari kandidat daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta, karena beberapa alasan. Utamanya soal sistem pendukung, misalnya keluarga di Bandung yang sepemikiran dengan rencana mereka, serta bahasa lokal. Kepindahan dan proses adaptasi perubahan hidup keseharian dari kota ke kampung itu jelas memunculkan guncangan. “Planning itu penting banget untuk meredam semua shock,” ujar perempuan berusia 57 tahun ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ukke Kosasih dikenal sebagai pendiri Circa HandMade pada 2006 di Cihanjuang, Bandung. Lewat brand itu, ia membuat boneka yang mewakili berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Alumnus jurusan antropologi Universitas Indonesia ini sebelumnya bekerja sebagai salah seorang manajer di perusahaan produk kecantikan internasional.

Setelah menjual rumah di Bintaro, mereka membeli lahan seluas 1.500 meter persegi di tempat yang dihuni sekarang. Lahan itu awalnya ditanami sayuran bunga kol dan pohon surian. Ada juga bangunan yang tidak layak huni sehingga dirobohkan. Berbagi tugas, Ukke mengurus eks kebun selewat masa panen dari tanaman petani sebelumnya, sementara suaminya membangun rumah. Adapun anaknya ketika itu masih sekolah di Australia.

Aksi slow living mereka awali dari rumah dan kegiatan keseharian sambil mengurangi pola konsumsi. Penerapannya menyangkut kebutuhan dasar manusia pada sandang, pangan, dan papan. Mereka pun membayangkan investasi kehidupan untuk anak di masa depan dan memberi contoh untuk melawan era eksploitatif dengan aksi regeneratif bersama alam. “Enggak semudah orang pikirkan, tapi bisa. Dari situ, kami bikin semua rencana.”

Salah satu sudut halaman dan dapur komunal di Kabin Kebun di Kampung Panyandaan, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 Februari 2023. TEMPO/Prima mulia

Tapak seluas 200 meter persegi digunakan antara lain untuk mendirikan rumah sebagai bangunan utama dua lantai, tiga ruang kabin, dan dapur komunal. Mereka sengaja memilih material bekas yang masih layak pakai untuk membangun rumah serta perabotnya. Tujuannya untuk mengurangi energi dari produksi barang baru. “Kami berusaha untuk menekan itu semua,” kata perempuan kelahiran Subang, 3 Januari 1966, ini.

Berkontur miring di ketinggian 1.160 meter dari permukaan laut, lahan untuk kebun digarap dengan perlakuan khusus agar tidak longsor. Selain berkonsultasi dengan saudara, mereka mempelajari caranya di Internet. Setelah lahan siap, termasuk sistem pengairannya, mereka memulai kemandirian pangan.

Penanaman dimulai ketika bangunan rumah hampir rampung. Pemuliaan tanahnya dilakukan dengan penggunaan kompos sebagai pupuk tanpa pestisida dan bahan sintetis lainnya.

Tanaman perenial yang bertahan hidup bertahun-tahun menjadi pilihan utama. Mereka menanam sayuran, buah-buahan, tumbuhan obat-obatan, umbi-umbian, empon-empon, dan herbal. Kini jumlah ragam tanamannya mencapai 1.500 jenis dan sebagian besar bisa dikonsumsi.

Salah satu sudut asri di rumah Kabin Kebun di Kampung Panyandaan, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 Februari 2023. TEMPO/Prima mulia

Pelan-pelan mereka belajar sambil mencicipi aneka tanaman, termasuk yang masih asing di lidah. Tanaman gulma, seperti daun sintrong, misalnya, diolah sebagai keripik dan sayur berkuah santan. Mereka pun tergerak untuk mengembangkan pengetahuan tentang tanaman yang sudah biasa dimakan para leluhur. “Nilai slow living itu sebetulnya sudah sangat dekat dengan kehidupan tradisi Nusantara,” ujar Ukke.

Walau makan dari kebun sendiri, mereka tidak anti dengan jajanan kuliner di luar rumah, tapi dengan porsi terbatas. Di rumah, sampah bungkus dari warung nasi Padang, misalnya, dipisahkan lembaran plastik dari lapisan kertasnya untuk didaur ulang. Adapun kalau masak sendiri, tiap kali makan siang atau malam, mereka membiasakan diri untuk menyantap satu atau dua jenis masakan saja. Misalnya bubur Manado yang memakai aneka bahan sayur. ”Tantangan yang paling sulit mengurangi konsumsi yang menghasilkan sampah.”

Ukke sekeluarga juga menerapkan pola hidup minimalis yang sesuai dengan kebutuhan mereka bertiga di rumah. Pakaian telah disortir, koleksi puluhan piring dan gelas juga sebagian ada yang dijual atau diberikan ke orang lain. Kesukaannya dulu membeli banyak sepatu sesuai dengan acara dan pakaian juga ikut ditekan.

Koleksi yang masih dipelihara yaitu buku-buku, termasuk buku bacaan anaknya dulu yang kini masih dibaca oleh anak-anak tamu. Adapun untuk rencana pembelian barang baru, mereka diskusikan bersama dan menjadi keputusan keluarga. “Banyak barang itu beban buat kami karena jadi harus punya tempat yang luas buat penyimpanan,” ujarnya.

Salah satu ruangan di rumah Kabin Kebun di Kampung Panyandaan, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 Februari 2023. TEMPO/Prima mulia

Penghematan lain, misalnya, pada tagihan listrik. Dari sebelumnya mencapai Rp 2 juta karena harus memasang penyejuk udara di rumah lama, biaya bulanan setrum itu sekarang Rp 400 ribu. Sedangkan penghasilan mereka kini sebesar 40 persen dari pendapatan sebelumnya di Jakarta. Selama tujuh tahun melakoni slow living, mereka bahagia karena bisa mengubah pola konsumsi. “Sehingga bisa lebih hemat dan semoga bisa lebih sehat batin dan raga juga, lebih mudah bahagia dan bersyukur,” kata Ukke.

Slow living berawal dari gerakan slow food yang mengkritik soal fast food. Mulai berkembang di Roma pada 1980, isu pangan itu kemudian berkembang menjadi slow fashion yang mengkritik fast fashion, lalu slow living sebagai pilihan tata kelola kehidupan. “Kehidupan serba cepat menghilangkan koneksi lagi dengan alam dan diri sendiri,” ujar Ukke.

Alasan kata cepat atau fast yang dikritik itu, menurut Ukke, di antaranya karena turunan kata fast seperti instant atau segera dan disposable atau sekali pakai. Implikasinya, segala sesuatu yang instan itu kemudian diikuti oleh sesuatu yang segera dibuang, hingga pola konsumsi sekarang menghasilkan begitu banyak masalah. Bagi sebagian orang, slow dijadikan akronim dari sustainable, local, organic, whole.

Dengan mengurangi ritme keseharian, menurut Ukke, bukan berarti harus terus melambat, melainkan berjeda. “Selalu memiliki waktu untuk berpikir walau sejenak soal dampak perbuatan sekecil apa pun bagi diri sendiri.” Kalaupun seseorang merasa dirinya tidak bermanfaat, paling tidak dia tak menyusahkan orang lain.

Ukke menepis anggapan bahwa slow living terkesan ekstrem karena ada proses untuk menjalaninya. Pada dasarnya, gaya hidup ini mengajarkan para pelakunya untuk mengendalikan atau mengembalikan kontrol atas hidup dengan kesadaran.

Belajar berkebun jadi salah satu aktivitas saat menginap di rumah Kabin Kebun di Kampung Panyandaan, Desa Padaasih, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, 24 Februari 2023. TEMPO/Prima mulia

Dalam praktiknya, Ukke tidak membatasi khusus penggunaan perangkat dan teknologi informasi karena bermanfaat dan dibutuhkan untuk belajar sesuatu. Kendalinya di tangan masing-masing, seperti mengerem yang terkait dengan pola konsumtif seperti dari penawaran iklan. “Apa pun bisa jadi masalah kalau tidak terkendali atau berlebih kan,” kata dia.

Mereka juga membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar dan menjajal slow living atau menirunya untuk diterapkan. Ukke sekeluarga menyiapkan tiga ruang kabinnya untuk tempat tinggal sementara para tamu sejak 2019. Harga per paket yang terdiri atas 1-4 orang per kabin, misalnya, yaitu Rp 3,5 juta selama tiga hari dua malam. Biasanya pada akhir pekan, kadang juga dibuka pada hari kerja.

Tamu mendapat makan pagi dan bebas membuat minuman seperti kopi atau teh. Dapur komunal juga biasanya digunakan sebagian tamu untuk memasak sendiri makan siang atau malam. Bahannya ada yang bawa atau dari kebun. Sebagian tamu lain memilih untuk beli sendiri atau diantar kurir. Sampah organik dari sisa makanan tamu ditempatkan pada wadah khusus untuk pengomposan. Tuan rumah juga yang kemudian membereskan sisa sampah tamu, misalnya organik dan non-organik yang tercampur.

Para tamu, menurut Ukke, ada yang kemudian ikutan berkebun, juga pindah rumah. Ada pula yang kemudian mengelola tanahnya yang terbengkalai. Sebagian tamu lain tertarik pada desain dan interior rumah mereka serta kebun. Ukke mengatakan, siapa pun bisa melakukan slow living di kota maupun kampung dengan tahapan-tahapan yang tidak harus dipaksakan. “Diingat saja, tindakan sekecil apa pun akan berdampak,” ujarnya. Contohnya seperti mematikan lampu jika sudah tidak digunakan serta memilah sampah organik dan anorganik.

Kiat bagi pemula untuk menjalani slow living sambil terus produktif, menurut Ukke, seperti membuat rencana hidup yang bahagia. Di sela kesibukan, ia menyarankan orang meluangkan waktu untuk memikirkan soal kebahagiaan hidup. “Tip pertama, coba jabarkan apa artinya bahagia, setelah itu mencari cara untuk mencapainya,” kata dia. Bisa jadi kebahagiaan orang itu awalnya pada penghasilan, tapi yang teratas adalah kesehatan.

ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Anwar Siswadi (Kontributor)

Anwar Siswadi (Kontributor)

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus