Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA mobil Hummer, hitam dan putih, sudah sebulan ini tak lagi terlihat. Sebelumnya, hampir setiap hari kendaraan mewah itu terparkir di depan kantor tiga lantai di Blok A 33-34, Pertokoan Graha Mas, Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. "Saya hafal, yang warna hitam pelat nomornya unik: B-1-KTP," kata seorang petugas keamanan kompleks niaga itu Jumat pekan lalu.
Dari balik kaca yang tertutup, lobi kantor terlihat masih memampang identitas penghuni kantor: PT Lautan Makmur Perkasa dan PT Adhitama Mitra Kencana Indonesia. Tidak terlihat aktivitas di dalamnya. Rantai besi mengunci pintu. "Sudah sepekan penjaga kantornya pulang kampung," ujar petugas tadi.
Bangunan itu dulu kantor Andi Agustinus, penunggang Hummer B-1-KTP—pelat nomor ini, menurut layanan pesan pendek kepolisian, belum terdaftar. Dalam dua pekan terakhir, nama Andi banyak disebut. Ia dituduh mengatur tender proyek e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri senilai Rp 5,9 triliun. Meski perusahaannya tidak mengikuti tender, Andi dituding berada di belakang Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), yang dinyatakan sebagai pemenang.
Andi tidak tercatat di dalam daftar pengurus Lautan Makmur dan Adhitama Mitra. Tapi, di dalam akta perusahaan, Vidi Gunawan, adik Andi, tertulis sebagai Direktur Utama Adhitama Mitra.
Sumber Tempo mengatakan Andi, yang kerap dipanggil Andi Narogong—karena memiliki usaha konfeksi di Jalan Narogong, Bekasi—mendadak lenyap setelah megaproyek KTP elektronik diributkan banyak orang. Apalagi terbit surat perintah penyelidikan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya pada 2 Agustus tentang dugaan korupsi dalam tender proyek ini.
Menurut sumber yang sama, kantor Andi menjadi target intaian polisi karena diduga dijadikan tempat pengaturan tender, sejak pertengahan tahun lalu. Persiapan itu diatur oleh orang orang-orang yang belakangan menjadi pemenang tender bersama pejabat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebagai penasihat teknis. "Mereka memakai sandi Fatma untuk tempat rapat," katanya. "Semua itu di bawah kendali Andi Agustinus."
SETUMPUK dokumen berisi salinan komunikasi lewat surat elektronik yang diperoleh Tempo menunjukkan hubungan Andi dengan Konsorsium PNRI. Dokumen itu juga menunjukkan beberapa kali pertemuan di kantor Andi guna membahas upaya memenangi tender. Di bawah koordinasi Andi, dibentuk tim khusus yang mewakili calon peserta tender, perwakilan vendor pemasok perangkat keras dan lunak, serta pejabat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Salinan surat elektronik itu secara jelas menunjukkan komunikasi yang intens antara Vidi, Benny Akhir, yang mewakili Andi, dan Setyo Hartanto dari Percetakan Negara serta Tri Kuncoro dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Sejumlah informasi penting yang masih digodok panitia tender Kementerian Dalam Negeri bisa mereka ketahui lebih dulu.
Kebocoran informasi penting ditunjukkan dari surat elektronik yang dikirimkan Yanti, pegawai Andi, kepada Setyo, pegawai Percetakan Negara, perwakilan L-1, vendor alat sidik jari, dan Kurniawan, vendor chip reader, pada 11 Agustus 2010. Isinya draf dokumen administrasi lelang KTP elektronik. Padahal, menurut seorang anggota konsorsium peserta tender yang kalah, data itu baru diumumkan resmi pada Februari 2011. "Artinya, mereka sudah bisa tahu tujuh bulan sebelum syarat tender diumumkan," katanya.
Dalam dokumen lain disebutkan ada pertemuan khusus pada 2 Desember 2010 di ruang rapat Perum Percetakan Negara. Satu agenda penting yang dibahas adalah organisasi konsorsium yang bakal memenangi tender. Hadir dalam pertemuan itu Vidi Gunawan mewakili Andi, Direktur Utama Percetakan Negara Isnu Edhi Wijaya, dan sejumlah perwakilan vendor.
Menurut sumber Tempo, selain membahas pembagian jatah proyek, tim khusus bentukan Andi Agustinus sudah menyiapkan dengan matang vendor perangkat keras dan lunak yang dipakai nanti. Perangkat itu meliputi vendor untuk sistem automated fingerprint identification system (AFIS), merek komputer, dan chip. "Jadi, semuanya dirancang dari jauh-jauh hari," ujarnya.
Benny Akhir tidak membantah pernah membantu Andi dalam proses persiapan tender KTP elektronik. "Tapi itu dulu. Sekarang saya tidak ikut-ikut lagi," katanya Jumat pekan lalu. Isnu menyanggah bersekongkol agar bisa memang tender. "Melakukan penjajakan dengan banyak pihak memang ada," ujarnya. "Tapi ini hal yang lazim."
Ketua Tim Teknis Tender e-KTP Husni Fahmi menegaskan tidak ada usaha memenangkan konsorsium tertentu sejak awal. "Pelaksanaan tender sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku," katanya.
Andi Agustinus belum bisa dimintai komentar seputar tudingan miring itu. Namun lewat Vidi, sang adik, dia membantah semuanya. "Tidak benar itu. Kakak saya tidak terlibat sama sekali," ujarnya.
SATU panggilan masuk telepon seluler Winata Cahyadi, Direktur Utama Lintas Bumi Lestari, salah satu petinggi anggota Konsorsium Lintas Peruri, pada akhir tahun lalu. Di ujung telepon, terdengar suara Irman, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri. "Silakan datang ke Hotel Crowne. Ada pengusaha yang ingin berkenalan," kata sumber Tempo menirukan cerita Winata.
Tanpa pikir panjang, menurut sumber tadi, Winata mengiyakan ajakan Irman. Saat itu, sebagai pemenang tender proyek uji petik KTP elektronik di empat kota Indonesia, Winata berharap bisa kembali mendapatkan proyek yang nilai kontraknya jauh lebih besar. Lalu dia bergegas menuju Hotel Crowne di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Di sana dia menjumpai Irman, Direktur Pengelolaan Informasi Kependudukan Sugiharto, dan seorang lelaki yang belakangan diketahui adalah Andi Agustinus.
Setelah berbasa-basi, mereka berdiskusi singkat soal proyek. Namun, tanpa disangka, Andi melontarkan ajakan kerja sama kepada Winata untuk mendapatkan proyek KTP elektronik. "Namun dengan syarat ada setoran di muka senilai Rp 50 miliar." Winata menampik tawaran itu. Menurut sumber tadi, jumlah yang diminta terlalu besar dan tanpa kepastian yang jelas untuk bisa mendapatkan proyek.
Winata, yang sedang berada di Filipina ketika dihubungi Tempo, tidak membantah atau membenarkan informasi itu. "Saya tidak bisa berkomentar," katanya. Sedangkan Irman membantah tegas soal itu. "Enggak benar. Fitnah besar itu," ujarnya. "Saya bekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku."
Menolak tawaran Andi Agustinus ternyata langkah keliru bagi Winata. Memiliki pengalaman menggarap proyek uji petik KTP elektronik ternyata tidak manjur. Proyek itu akhirnya lepas ke tangan Konsorsium Percetakan Negara, yang menawar proyek itu Rp 5,84 triliun, atau Rp 600 miliar lebih rendah dari pagu proyek.
Seorang direktur utama perusahaan negara peserta tender proyek KTP elektronik mengatakan, beberapa bulan sebelum proyek diumumkan, pemenangnya sudah bisa ditebak. Menurut dia, faktor Andi Agustinus yang berada di belakang Konsorsium Percetakan Negara menjadi kartu truf. "Semua orang tahu Andi itu orangnya Setya Novanto," katanya. Setya adalah Ketua Fraksi Partai Golkar yang duduk di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Soal kedekatan Andi dengan Setya bukan cerita baru di kalangan pengusaha yang kerap bermain proyek pemerintah. Menurut seorang pengusaha, Andi kerap mendapat proyek di Markas Besar Kepolisian RI, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri. "Istilahnya, Setya yang mengawal anggaran di DPR, Andi yang mengeksekusi proyeknya," ujarnya.
Sebagai pengusaha yang merintis karier di bidang konfeksi, Andi kerap mendapatkan proyek pembuatan seragam polisi senilai Rp 8 miliar dan baju hansip di Kementerian Dalam Negeri senilai Rp 400 miliar pada anggaran 2011. Selain itu, ada proyek pengadaan motor Kawasaki untuk polisi senilai Rp 40 miliar dan mobil keliling di Badan Pertanahan Nasional. "Dia itu dibesarkan Setya," katanya.
Kedekatan Andi dan Setya juga terjalin dalam proyek KTP elektronik. Irvanto Hendra, keponakan Setya, tercatat sebagai Direktur Utama PT Murakabi Sejahtera, salah satu peserta tender KTP elektronik. Murakabi merupakan perusahaan yang sebagian sahamnya pernah dimiliki Vidi Gunawan, adik Andi. Dia keluar dari Murakabi pada 2008. "Namun, dalam tender e-KTP, Vidi ikut membantu Murakabi, meski kemudian kalah," ujar sumber tadi.
Irvanto membenarkan bawa dia keponakan Setya. "Tapi tidak ada hubungan sama sekali dalam proses tender e-KTP," katanya. Vidi membenarkan pernah menjadi pemegang saham Murakabi. "Tapi itu dulu," ujarnya.
Selain lewat jalur Senayan, Andi memiliki jalur khusus bisa merapat ke Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Menurut sumber Tempo, Andi berhubungan baik dengan orang lingkaran Pak Menteri, yaitu Azmin Aulia dan Hendra. Azmin merupakan adik kandung Gamawan, dan Hendra orang dekatnya.
Namun kabar itu disanggah Gamawan. Dia mengaku tidak pernah melibatkan kerabat dalam proyek pemerintah. Demikian juga dengan Andi Agustinus dan Setya Novanto. "Saya tidak pernah bertemu membahas proyek dengan mereka," katanya.
Gamawan menuding ada mafia yang ingin proyek KTP elektronik digagalkan. Mafia itu, kata dia, adalah salah satu pihak yang kalah dalam tender dan sudah mengganggu sejak awal. "Saya tidak akan tinggal diam," ujarnya. "Akan saya lawan."
Setri Yasra, Fanny Febiana, Pramono
Argumen LKPP
(4) Sanggahan banding menghentikan proses pelelangan/seleksi.
Argumen Gamawan
(1) PPK menerbitkan SPPBJ dengan ketentuan:
b. sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo