Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH memarkir Yamaha Mio-nya, Hartono setengah berlari menuju loket pembuatan kartu tanda penduduk elektronik atawa e-KTP di kantor Lurah Gambir, Jakarta Pusat. "Saya pikir hampir tutup," katanya. Meski kantor kelurahan pada Jumat siang pekan lalu tampak sepi, loket KTP elektronik masih buka. Mengisi formulir pendaftaran, ia masuk ruang pemotretan empat menit kemudian.
Lima menit berlalu, warga Pejambon itu keluar dengan senyum lebar. "Soalnya, semua orang di rumah sudah bikin, kecuali saya," ujarnya. Siang itu, Hartono merupakan warga Gambir ke-25 yang mendaftar. Sejak loket dibuka pada 7 September silam, sudah 631 warga dari 1.252 wajib KTP elektronik yang datang ke kelurahan. "Sabtu-Minggu kami tetap buka," kata Daniel, petugas yang mengoperasikan peralatan KTP elektronik di kantor itu.
Demikian pula di Kelurahan Manggarai, Jakarta Selatan. Beroperasi sejak 23 Agustus, layanan KTP elektronik di kelurahan itu tak libur pada Sabtu dan Ahad demi melayani mereka yang tak bisa datang pada hari kerja. Apalagi warga Manggarai wajib KTP elektronik mencapai 25 ribu orang. Dari jumlah itu, hingga Jumat lalu, tercatat baru 1.065 orang yang datang ke kelurahan. Adapun jumlah warga DKI Jakarta yang sudah mendaftar mencapai 399.372 orang dari total sekitar 7,5 juta wajib KTP elektronik.
Menurut Purba Hutapea, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, semua kelurahan di Jakarta sudah melayani pembuatan KTP elektronik. "Walaupun belum semua menggunakan dua unit perangkat," katanya. Mestinya setiap kelurahan menggunakan dua unit perangkat untuk mempercepat pelayanan. Sebab, satu unit perangkat hanya bisa melayani maksimal 100 orang per hari.
Sementara di Jakarta perangkat—antara lain komputer, papan tanda tangan atau signature pad, pemindai sidik, dan pemindai mata—dibagikan ke setiap kelurahan, di daerah pembagian hanya sampai kecamatan. Rencananya, tahun ini proyek dilaksanakan di 2.348 kecamatan, yang tersebar di 197 kabupaten atau kota. Tahun depan proyek digelar di 300 kabupaten atau kota pada 3.886 kecamatan. Targetnya, 67 juta penduduk memiliki KTP elektronik tahun ini dan 105 juta pada tahun berikutnya.
Dikejar target, Kementerian Dalam Negeri pontang-panting. Hingga pekan ini, perangkat belum seluruhnya didistribusikan ke daerah. Bila pun sampai ke daerah, tak semua peranti bisa digunakan. Kota Samarinda, misalnya, membutuhkan 20 unit perangkat—setiap kecamatan dua unit. Tapi, hingga Senin lalu, hanya sembilan unit yang tiba. "Itu pun hanya lima yang bisa digunakan," kata Joni Bachtiar, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Samarinda.
Di Surakarta, Jawa Tengah, sama saja. Sekretaris Daerah Kota Surakarta Budi Suharto menyatakan baru menerima sebagian kecil perangkat yang dijanjikan. Dari 29 unit yang dibutuhkan, 10 unit baru diterima. Dari jumlah itu, hanya lima yang bisa digunakan. Sedangkan di Palembang, selain minimnya jumlah perangkat yang berfungsi, hambatan lain adalah jaringan. "Petugasnya sering mengeluhkan sinyal yang buruk," kata Kurniawan, Camat Ilir Barat.
Serempak dilaksanakan sejak 1 Agustus lalu, hingga Kamis pagi pekan lalu, jumlah pemohon KTP elektronik dari seluruh pelosok Nusantara yang tercatat di pusat data Kementerian Dalam Negeri baru 396.724 orang—lebih sedikit ketimbang jumlah pemohon KTP elektronik dari seantero Jakarta per Jumat sore pekan lalu. Menurut Husni Fahmi, ketua tim teknis proyek KTP elektronik, saat ini Kementerian dan konsorsium pemenang tender memang masih berkutat dalam pendistribusian dan pemasangan perangkat di daerah. "Oktober nanti mulai cetak," katanya.
DITEKEN pada 1 Juli silam, kontrak proyek senilai Rp 5,84 triliun ini menyisakan persoalan. Konsorsium PT Telkom dan PT Lintas Buana Lestari (anggota Konsorsium Lintas Peruri Solusi), yang tersisih dari tender, mengajukan sanggah banding pada 5 Juli atau pada hari terakhir masa sanggah banding.
Pada 23 Agustus lalu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mengatakan kontrak itu bertentangan dengan Pasal 82 ayat 4 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menyatakan sanggah banding menghentikan proses lelang. Dengan begitu, kontrak antara Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan panitia lelang tak sah karena diteken dalam masa sanggah banding. "Sehingga tender harus diulang," kata pengacara Lintas Peruri, Handika Honggowongso.
Tapi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi berkukuh kontrak sah karena ada pasal lain dalam beleid itu yang membolehkan demikian, yakni Pasal 85 ayat 1 b. Pasal itu berbunyi pejabat pembuat komitmen (PPK) bisa menerbitkan surat penunjukan penyedia barang dan jasa (SPPBJ) bila "sanggahan dan/atau sanggahan banding terbukti tidak benar". "Ada kata ‘dan garis miring atau’," ujar Gamawan. Lagi pula, menurut dia, saat kontrak diteken, ada klausul, bila ada sanggah banding yang terbukti benar, perjanjian otomatis gugur.
Selain masalah kontrak, jawaban panitia lelang terhadap materi sanggahan tak memuaskan Telkom dan Lintas Buana. Dalam sanggahannya, Telkom dan Lintas Buana menganggap panitia lelang melakukan post bidding atau mengubah syarat setelah penawaran dibuka, terutama soal spesifikasi teknis. Misalnya perangkat papan tanda tangan.
Telkom mengajukan Posiflex SP-1200 untuk peranti "papan tanda tangan". Peranti ini diyakini Telkom memenuhi syarat teknis karena telah memiliki ISO 9001. Tapi panitia lelang menolaknya karena menganggap alat itu tak begitu bagus menangkap urutan titik-titik tanda tangan, yang dibutuhkan untuk keperluan teknis.
Menurut Telkom, ini termasuk post bidding. Tapi Gamawan dalam surat balasan sanggah banding tertanggal 11 Juli menyangkalnya. Ia mengatakan hal itu termasuk penjelasan turunan dari signature pad yang dibutuhkan.
Yang juga menyesakkan para peserta tender adalah soal spesifikasi automated fingerprint integrated system. Dua konsorsium yang lolos hingga evaluasi teknis, yakni PNRI dan PT Astra Graphia, menggunakan merek L-1 Identity untuk perangkat sistem perekam sidik jari ini. Dalam daftar National Institute Standard Technology, L-1 hanya ada di peringkat kelima. Sedangkan Morpho, merek yang digunakan Telkom, ada di peringkat pertama.
Di luar semua itu, harga penawaran PNRI, yakni Rp 5,84 triliun, dinilai terlampau mahal karena mendekati harga perkiraan sendiri sebesar Rp 5,91 triliun. Sedangkan untuk spesifikasi yang sama, Konsorsium Mega Global dan Lintas Peruri mengklaim sanggup memberikan harga lebih murah, yaitu Rp 4,6 triliun dan Rp 4,7 triliun.
Harga itu didasarkan pada nilai proyek percobaan KTP elektronik di enam kabupaten yang dimenangi Lintas Buana Lestari, anggota Konsorsium Lintas Peruri. Saat itu, Lintas Buana mengklaim bisa menekan anggaran hingga 38,4 persen. Kendati begitu, kasus KTP elektronik percobaan ini masuk Kejaksaan Agung lantaran diduga ada korupsi.
Persoalannya, kata Gamawan, Mega Global dan Lintas Peruri tak pernah menawarkan harga sebesar itu. Keduanya gugur dalam tahap evaluasi spesifikasi teknis sebelum menawarkan harga. "Silakan periksa dokumen lelangnya," ujarnya. Setengah mengeluh, Gamawan bergumam, "Sudah diduga, biaya besar, ributnya juga besar."
Anton Septian (Jakarta), Firman Hidayat (Samarinda), Ahmad Rafiq (Surakarta), Parliza Hendrawan (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo