Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Industri Sepeda</font><br />Adu Balap di Kelas Atas

Sepeda impor dari Eropa, Amerika, dan Taiwan menyerbu pasar dalam negeri. Produsen nasional menggeliat.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA lusin sepeda gunung tertata apik di toko Sumber Jaya di Jalan Taman Sari, Pecenongan, Jakarta Pusat. Dilengkapi aksesori dan onderdil aneka rupa, deretan kereta angin itu makin meriah oleh warna-warni rangkanya yang ceria: biru tua, merah, kuning, dan perak. Di dinding, belasan rangka atau frame sepeda digantung. "Semuanya barang impor," kata Yani, penjaga toko itu, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Dilihat satu per satu, memang tidak ada merek sepeda dan suku cadang bikinan lokal di sana. Yang ada sepeda bermerek Giant dari Taiwan, sepeda KHS dari Amerika, dan Orbea dari Spanyol. Harganya tak bisa dibilang murah. Sepeda Giant seri XTC 2011, misalnya, dibanderol Rp 13 juta, hampir sama dengan sepeda motor bebek baru. Sebatang frame Orbea berbahan karbon dijual Rp 10 juta. Meski mahal, pembelinya tak sedikit. Setiap hari, toko Sumber Jaya rata-rata menjual tiga sepeda.

Selain Sumber Jaya, ada belasan toko sepeda di kawasan Pecenongan. Semua menyediakan sepeda kelas atas produksi mancanegara. Pada hari libur, bisa dipastikan semua toko itu bakal penuh dengan penggemar sepeda. Ada yang sekadar cuci mata, mencari onderdil, atau sengaja datang untuk memburu sepeda keluaran teranyar. Pembeli yang berjubel membuat barang cepat terkuras. Siapa cepat dia dapat. "Mesti pesan dulu, karena stok terbatas," kata Susanto, pemilik sebuah toko sepeda di sana.

Tren ini tak hanya terjadi di Jakarta. Di Bandung, kegandrungan pada sepeda kelas atas membuat toko di seputaran Jalan Cikapundung, Veteran, dan Ahmad Yani selalu dipadati pembeli. Keramaian berlipat pada akhir pekan. Sentra penjualan sepeda impor di Bandung ini sedikit lebih lengkap ketimbang Pecenongan. Ada banyak bengkel kecil yang menjual onderdil langka dengan harga miring. "Banyak pasokan barang tidak resmi," kata Acil, seorang pedagang di sana, sambil tertawa.

Dalam setahun terakhir, sepeda dan suku cadang impor kelas menengah ke atas—atau high end—tengah naik daun di pasaran Indonesia. Jenis yang populer bermacam-macam, dari sepeda gunung, sepeda lipat, hingga sepeda balap arena velodrom.

Maraknya sepeda mahal macam ini tak lepas dari membaiknya pendapatan kelas menengah atas Indonesia plus pergeseran budaya bersepeda kaum urban. Dari semula sekadar untuk olahraga dan transportasi, sekarang bersepeda sudah jadi gaya hidup dan hobi. Ozy Sjarindra, pendiri Komunitas Bike to Work—kelompok yang berhasil mempopulerkan kebiasaan bersepeda ke tempat kerja di sejumlah kota besar—membenarkan.

Ozy menunjuk maraknya hobi bersepeda di medan ekstrem—seperti downhill dan dirtjump—sebagai contoh. "Semua hobi itu butuh sepeda dengan spesifikasi khusus, misalnya rangka berbahan ringan tapi kuat, serta sistem suspensi yang prima," kata Ozy. Nah, sepeda bermerek dari luar negeri umumnya bisa memenuhi kualifikasi itu.

Naiknya permintaan sepeda berspesifikasi khusus itu direspons cekatan oleh para importir. Dominasi sepeda murah dari Cina, yang sempat merajai pasar dalam negeri sejak sepuluh tahun lalu, kini sudah tak berbekas. Sepeda kelas atas dari Eropa, Amerika, dan Taiwan kini jadi juara baru. Importir dari Taiwan termasuk yang gencar menerobos pasar Indonesia. Maklum, produksi sepeda Taiwan memang meningkat setelah sejumlah merek ternama merelokasi pabriknya ke sana.

Awal tahun ini, Asosiasi Eksportir Sepeda Taiwan atau TBEA mengumumkan angka penjualan 2010 mereka yang mencapai 4,64 juta unit atau senilai US$ 1,3 miliar. Angka ini naik 17,1 persen dibanding setahun sebelumnya. Antony Lo, Ketua asosiasi itu, optimistis tahun ini ekspor mereka akan naik setidaknya 10 persen. "Sampai tembus 5 juta unit," kata pemilik pabrik sepeda Giant ini.

Semua produsen sepeda asing itu bisa leluasa masuk ke Indonesia karena pabrik lokal memang kewalahan melayani permintaan. Asosiasi Industri Persepedaan Indonesia (AIPI) mengaku hanya memproduksi 2,5 juta unit sepeda tahun lalu—separuh dari permintaan pasar dalam negeri. "Separuh lagi ditutup oleh sepeda impor berbagai kelas," kata Prihadi, Ketua AIPI.

Kondisi ini tak bakal berubah dalam waktu dekat. "Tahun ini kami prediksi permintaan akan naik jadi 6 juta unit, tapi produksi lokal tidak bertambah," kata Prihadi prihatin. Sejumlah rencana peningkatan kapasitas produksi memang sudah diagendakan, "Tapi tidak akan terealisasi tahun ini."

Salah satu penyebabnya adalah ketergantungan industri manufaktur sepeda di Indonesia pada komponen dari luar negeri. Sadel, pedal, elemen rangka, setang, serta velg sepeda buatan Indonesia, misalnya, diimpor dari Taiwan. Sekarang, ketika produsen komponen Taiwan—seperti Xerama Industrial dan Chin Haur—mengirim 90 persen produk mereka untuk pabrikan Eropa, produsen Indonesia pun kelimpungan. "Alhasil, produksi kami semakin tersendat," kata Prihadi.

Kondisi ini bertolak belakang dengan masa keemasan industri sepeda Indonesia dua dekade lalu. Pada 1990-an, ada sejumlah pemain besar seperti Federal Cycle Mustika, Jawa Perdana Bicycle, Wijaya Indonesia Makmur (WIM), dan Toyo Asahi. Ketika itu mereka bisa memproduksi sepeda sampai 20 juta unit setahun. Tiga perempat produksi nasional diekspor ke Eropa.

Masa-masa indah itu berakhir setelah Komisi Eropa menuduh Indonesia melakukan dumping. Sejak itu, produk sepeda Indonesia dikenai bea masuk tinggi plus denda. Tak lama, industri sepeda dalam negeri pun kolaps. Sebagian besar bangkrut.

Sekarang hanya tiga produsen sepeda nasional yang tersisa. Selain WIM, ada dua pendatang baru: Insera Sena dan Terang Dunia Internusa. Insera adalah produsen Polygon, sedangkan Terang Dunia mengusung merek United. Jika digabung, kapasitas produksi ketiga perusahaan ini baru 2,5 juta unit per tahun.

Bergairahnya kembali pasar sepeda domestik dalam setahun terakhir tentu jadi kabar baik buat pabrik lokal. Jika kendala pasokan komponen bisa diatasi, kualitas produk dalam negeri sebenarnya tak kalah dibanding buatan luar. Polygon, misalnya, baru saja merilis sepeda gunung jenis downhill dan cross country dengan seri Collossus. "Produk ini sudah tembus pasar Asia dan Australia," kata Peter Mulyadi, Manajer Pemasaran Insera Sena.

Itu bukan produk pertama Insera yang dijual di luar Indonesia. Pabrik ini juga merakit sepeda untuk 15 merek internasional. Terang Dunia tak mau kalah. Mereka diam-diam merakit sepeda untuk merek Specialized dari Amerika Serikat. Dua fakta itu membuktikan bahwa dalam hal kualitas sepeda, produsen Indonesia mampu bersaing di tingkat dunia.

Tentu kualitas semata tak cukup untuk melayani permintaan dalam negeri yang terus membengkak. Yang lebih penting adalah peningkatan volume produksi. Para produsen sadar betul akan hal ini. "Tiga produsen terbesar kita sudah mulai memperluas pabrik," kata Prihadi. Targetnya, kata dia, meningkatkan produksi sepeda nasional sampai 3 juta unit per tahun.

Selain itu, pabrikan lokal juga memanfaatkan kedekatannya dengan pasar domestik dengan membangun rantai distribusi sendiri. Insera Sena, misalnya, punya sejumlah toko sepeda Rodalink. Adapun Terang Dunia punya gerai Build a Bike di sejumlah kota.

Untuk menangkal pesaing dari luar, Asosiasi Industri Persepedaan mendorong pemerintah menerapkan aturan standar minimum untuk sepeda. Kementerian Perindustrian merespons positif dengan mewajibkan semua produk sepeda yang masuk ke Indonesia ikut aturan Standar Nasional Indonesia, sejak Agustus lalu. Dengan semua persiapan ini, Prihadi berharap masa kejayaan industri sepeda nasional bakal segera kembali.

Ferry Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus