Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN memuncak di rumah Fauzi Bowo, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu siang dua pekan lalu. Fauzi dan tim suksesnya menunggu "restu" Megawati Soekarnoputri kepada Adang Ruchiatna untuk mendampinginya dalam pemilihan Gubernur Jakarta, Juli nanti.
Keputusan akhir di tangan Ketua Umum PDI Perjuangan itu. Suaminya, yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Partai, Taufiq Kiemas, sudah setuju Adang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari partainya, jadi wakil Foke, panggilan Fauzi Bowo. Itu berarti PDIP bakal berkoalisi dengan Partai Demokrat, yang sekian lama berseteru dalam banyak hal.
Dua hari sebelumnya, Taufiq menggaransi persetujuan istrinya. Orang-orang dekat Fauzi mengklaim surat penetapannya sudah dibuat dan tinggal diteken Mega. Surat itu akan jadi tiket anggota Dewan Pembina Demokrat ini meraih dukungan 43 kursi—hampir separuh jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta—antara lain berasal dari Partai Demokrat, PDIP, Partai Amanat Nasional, dan Partai Hanura.
Kepastian itu tiba menjelang sore. Taufiq mengabarkan Megawati memilih menerima tawaran Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, yang menyorongkan Joko Widodo, Wali Kota Solo, sebagai calon gubernur. "Jalan sendiri saja. Kalau Pak Adang mau digandeng, silakan," kata Taufiq seperti ditirukan orang dekatnya.
Kabar itu membuyarkan hitungan politik yang sudah disusun tim Fauzi. Tadinya dia percaya diri mendapat dukungan PDIP karena Demokrat sudah bulat mendukungnya. Nachrowi Ramli, yang berniat maju, juga setuju. Ketua Demokrat Jakarta ini semula bersiap jadi calon gubernur sehingga aras-arasan meneken surat dukungan partai untuk Fauzi.
Pada Jumat siang dua pekan lalu, Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengutus Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Joko Suyanto bertemu dengan Nachrowi. "Kami bertemu, tapi membahas reuni Akademi Militer angkatan 1973," kata Nachrowi menghindar. Ia dan Joko, juga Yudhoyono, seangkatan masuk Akademi tahun itu.
Mundurnya Nachrowi melapangkan jalan Fauzi untuk menghuni kembali kantor gubernur di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Ini penting untuk meluluhkan PDIP yang menunggu sikap resmi partai penguasa itu. Tapi Mega berkata lain. Setelah menerima telepon Taufiq, Fauzi bergegas ke Cikeas, kediaman Yudhoyono, untuk mengabarkan berita itu.
Yudhoyono meminta para petinggi Demokrat mencari nama-nama yang cocok untuk jadi wakil Foke. Ia nanti yang akan memilihnya. "Waktunya mepet sekali, kami harus segera mencari," kata Max Sopacua, anggota Majelis Tinggi.
Sembilan nama terjaring. Nachrowi mencuat lagi, diikuti ekonom Aviliani, Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni, Wali Kota Jakarta Utara Bambang Sugiyono, dan Ketua Muhammadiyah Jakarta Agus Suradika. Urutan berikutnya ekonom Didik J. Rachbini, politikus Golkar Tantowi Yahya, politikus Partai Hanura Yuddy Chrisnandi, dan bekas Kepala Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia Zacky Anwar Makarim.
Tak ada keputusan yang diambil Yudhoyono sore itu. Baru esoknya, nama-nama itu dibahas dan mengerucut menjadi empat. Fauzi menginginkan Aviliani. Karena itu, Achmad Mubarok, anggota Dewan Pembina Demokrat, sempat mengatakan kemungkinan pendamping Fauzi adalah perempuan. "Kalau memilih Nachrowi, seperti jeruk makan jeruk," katanya.
Didik dianggap belum populer. Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia ini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional periode 2004-2009. Sylviana bukan politikus. Tinggal dua nama yang tersisa: Aviliani dan Nachrowi.
Yudhoyono meminta pertemuan tertutup dengan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum dan Sekretaris Majelis Andi Mallarangeng. Sejak awal, Anas mendukung Nachrowi. Pilihannya juga disokong Edhie Baskoro, anak bungsu Yudhoyono, Sekretaris Jenderal Demokrat.
Keputusan pun bisa ditebak. Sehabis magrib pada Senin pekan lalu, Anas mengabarkan bahwa Nachrowi sudah dipilih untuk mendampingi Fauzi. Keputusan itu disambut meriah pendukung Fauzi yang berkumpul di Fauzi Center, daerah Menteng, Jakarta Pusat.
Mereka, Front Betawi Bersatu, memadati dua tenda besar dengan panggung yang disiapkan untuk deklarasi. Baru pada pukul delapan malam, atau empat jam sebelum pendaftaran calon gubernur ditutup, Fauzi dan Nachrowi muncul.
Dari sana, keduanya diarak dengan puluhan bus dan mobil bak terbuka ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Saking banyaknya yang mengantar, jalanan ditutup. "Mudah-mudahan kemacetan ini sampai tiga jam, sehingga calon lain tak bisa mendaftar," kata Fauzi di ruang pendaftaran. Para pendukungnya tertawa dan meneriakkan yel-yel "Dukung Foke-Nachrowi".
DI belakang Fauzi Bowo, dua kelokan dari kantor KPU Jakarta, Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini menunggu di mobil mereka. Ditutupnya Jalan Budi Kemuliaan oleh pendukung Fauzi membuat ratusan orang pengiring Hidayat tertahan.
Hidayat dan Didik resmi dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera. Keputusan Demokrat menyandingkan Fauzi-Nachrowi membuat petinggi "partai dakwah" kelabakan. Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta, yang sedang di Bandung, buru-buru ke Jakarta begitu mendengar Foke menampik tawaran PKS pada Ahad sore.
Rapat petinggi PKS di markas mereka di Jalan T.B. Simatupang tetap memutuskan Triwisaksana, kader PKS yang menjadi Wakil Ketua DPRD Jakarta, sebagai calon wakil gubernur. "Calon gubernurnya masih dicari," kata Yudi Widiana, sekretaris pemenangan pemilu PKS, yang mendampingi Anis dari Bandung.
PKS sudah lama menggadang-gadang Tri sebagai pendamping Foke. Menurut Ketua PKS Jakarta Selatan Selamat Nurdin, pendekatannya dilakukan sejak setahun lalu. PKS bahkan sudah menyiapkan kontrak politik. Menurut orang-orang dekat Fauzi, PKS meminta pembagian kewenangan menentukan kepala dinas, kewajiban menghadiri pengajian, hingga "mahar" Rp 30 miliar. Soal maskawin ini ditolak Selamat. "Tak ada itu mahar, kok kayak kawinan saja."
Fauzi kabarnya kurang sreg dengan kontrak politik tertulis ini. Maka ia lebih mementingkan menggaet dukungan partainya sendiri karena bersaing dengan Nachrowi. Juga pendekatan kepada PDI Perjuangan. Yudhoyono, yang merestui Fauzi, menginginkan koalisi dengan PDIP untuk mencairkan hubungannya dengan Megawati.
Sejak pemilihan presiden 2004, Yudhoyono-Mega tak akur. Mega merasa dikhianati Yudhoyono, yang mencalonkan diri jadi presiden ketika masih menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan kabinetnya. Yudhoyono baru bisa memecah kejumudan dengan Taufiq Kiemas. Tak aneh, dia setuju berkoalisi dengan Demokrat.
Karena itu, PKS menunggu keputusan PDIP dan Demokrat. Hitungannya, jika Demokrat gagal bersanding dengan PDIP, PKS bisa masuk menggantikannya. "Kami memang terlalu lama menunggu PDIP dan Demokrat," kata Selamat. Tapi Foke tak mau menggandeng PKS meski gagal menggaet PDIP.
Sikap keras Foke ini memaksa PKS bergerilya ke partai lain untuk koalisi. Menurut Selamat, meski partainya cukup suara mengusung calon sendiri, PKS harus berkoalisi karena calon lain disokong lebih dari dua partai. "Maka kami menjalin komunikasi dengan partai lain," ujar Selamat.
Tahu PDIP menolak Foke, PKS mengutus petingginya menemui Joko Widodo, yang menginap di Hotel Bidakara, pada Senin pagi. PKS menawarkan calon wakil gubernur. Joko menolak dengan alasan sudah dicalonkan partainya. Tak puas dengan jawaban itu, sorenya utusan PKS kembali ke Bidakara. Tawarannya naik: Joko calon gubernur dan wakilnya Triwisaksana. "Mereka memang menghubungi kami," kata Djarot Syaiful Hidayat, Ketua Seleksi Calon Gubernur PDIP.
Gagal meluluhkan Jokowi, PKS mendekati PAN. Sejumlah petingginya menemui Ketua Umum PAN Hatta Rajasa. Hatta kecewa tak diajak bicara oleh Demokrat, yang memasukkan dua nama kadernya untuk mendampingi Fauzi. Hatta mengajukan tiga nama untuk PKS: Wanda Hamidah, Ketua PAN Jakarta Andi Ansar, dan Didik J. Rachbini. "Kami memilih Didik," kata Selamat.
Didik mengaku dihubungi orang PKS pada Senin pukul enam sore. "Saya minta waktu tiga-empat jam," ujarnya. Soalnya, Demokrat belum memastikan namanya lolos atau dicoret sebagai pendamping Foke. Tinggal PKS yang kebingungan mencari calon gubernur. Pilihan jatuh pada Hidayat Nur Wahid.
Bekas Wakil Ketua MPR dan Presiden PKS pertama ini dinilai mampu menyamai popularitas Foke, Joko Widodo, atau Alex Noerdin, yang diusung Golkar. Hidayat meraup suara terbesar di Jakarta pada Pemilihan Umum 2004. "Beliau juga saka guru bagi kami," kata seorang petinggi PKS.
Didik memberikan jawaban pada pukul 21.00. Ia menerima pinangan itu dengan datang ke Hotel Millennium di Kebon Sirih, tempat para petinggi PKS dan PAN berkumpul. Ini jadi masalah karena PAN, sejam sebelumnya, secara resmi menyerahkan dukungan kepada Fauzi-Nachrowi. Soal sikap mendua ini, PAN punya jawaban. "Kami dijegal di Demokrat," kata Agung Mozin, Ketua PAN.
Soal pilihan resmi ini kemudian dikesampingkan. Menurut Agung, legalitas tak jadi masalah karena simpatisan PAN akan memilih kader. "Di Demokrat cuma ada surat, hati kami di PKS," katanya. Dari Millennium, rombongan bergerak ke kantor KPU tak jauh dari situ untuk mendaftarkan pasangan Hidayat-Didik.
PERUBAHAN peta politik dukungan calon Gubernur Jakarta menjelang pendaftaran ditutup ini tak lepas dari peran Djan Faridz. Menteri Perumahan Rakyat ini pengusaha properti dan minyak yang mengelola Pasar Tanah Abang. Dia berkonflik dengan Fauzi karena PD Pasar Jaya menolak melanjutkan pengelolaan Tanah Abang oleh perusahaan Faridz.
Beberapa petinggi PDI Perjuangan memberi konfirmasi adanya upaya Faridz menghadang koalisi Demokrat-PDIP dengan menyokong Joko Widodo. Restu Megawati untuk Jokowi turun setelah ditemui Faridz. "Saya dengar cerita itu, mungkin benar," kata Djarot Hidayat. Peta juga berubah dengan gerakan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Di Golkar, Faridz juga menanam dukungan dengan menyorongkan Nono Sampono untuk mendampingi Alex Noerdin. Partainya, Partai Persatuan Pembangunan, menjadi bagian koalisi dengan Golkar. Pilihan pada Komandan Pasukan Pengamanan Presiden pada zaman Megawati ini membuat kisruh partai itu. Ketua Umum PPP Suryadharma Ali kemudian menyatakan dukungan buat Alex sebagai "dukungan buat status quo".
Kebuntuan pecah setelah Faridz mengumpulkan para penentang Nono di Restoran Taman Sari Hotel Sultan pada Kamis dua pekan lalu. Dalam pertemuan pukul 19.00 itu, Faridz memarahi Lulung Lunggana, Wakil Ketua DPRD Jakarta, yang keras menentang dukungan calon Golkar. Sebab, ia dijagokan PPP menjadi wakil Alex.
Lulung sudah "berkampanye" dengan memasang pelbagai spanduk. Ia mengeluarkan Rp 2 miliar. Lulung luluh ketika Faridz berjanji mengganti uang yang sudah dikeluarkannya. Baik Lulung maupun Faridz, yang ditemui terpisah pekan lalu, hanya memberi cerita background. Keduanya menolak semua pernyataan mereka dikutip.
Bagja Hidayat, Amandra Megarani, Pramono
Harta Mereka
Fauzi Bowo
Rp 46,9 miliar dan US$ 200 ribu
Nachrowi Ramli
Rp 683 juta
Joko Widodo
Rp 18,4 miliar dan US$ 9.483
Basuki Tjahaja Purnama
Rp 7,1 miliar dan US$ 4.173
Alex Noerdin
Rp 10,5 miliar
Nono Sampono
Rp 3,8 miliar dan US$ 270 ribu
Hidayat Nur Wahid
Rp 6,3 miliar dan US$ 10.706
Didik J. Rachbini
Rp 2,3 miliar dan US$ 7.000
Hendardji Soepandji
Rp 5,03 miliar dan US$ 114.250
Ahmad Riza Patria
Belum terdaftar di Komisi Pemberantasan Korupsi
Faisal Basri
Belum terdaftar di Komisi Pemberantasan Korupsi
Biem Triani Benjamin
Rp 16,4 miliar
Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli
Didukung Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Damai Sejahtera *
- Fauzi Bowo, 64 tahun
Doktor lulusan Technische Universität Kaiserslautern, Jerman. Gubernur Jakarta 2007-2012.
- Mayor Jenderal Purnawirawan Nachrowi Ramli, 60 tahun
Akademi Militer angkatan 1973. Mantan Kepala Lembaga Sandi Negara. Kini Ketua Partai Demokrat Jakarta.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Alex Noerdin-Nono Sampono
Didukung Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Damai Sejahtera *, sejumlah partai zonder kursi di DPRD
- Alex Noerdin, 61 tahun
Lulusan Fakultas Teknik Trisakti dan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya. Gubernur Sumatera Selatan 2008-2013.
- Letnan Jenderal Purnawirawan Nono Sampono, 59 tahun
Akademi Angkatan Laut angkatan 1976. Mantan Komandan Paspampres dan mantan Komandan Marinir.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
Didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya
- Joko Widodo, 51 tahun
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Wali Kota Solo 2008-2013.
- Basuki Tjahaja Purnama, 46 tahun
Sarjana Teknik Geologi Universitas Trisakti. Bupati Belitung Timur 2005-2010 (mundur pada 2006 untuk menjadi calon Gubernur Bangka Belitung), anggota DPR dari Golkar 2009-2014.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Hidayat Nur Wahid-Didik Junaidi Rachbini
Didukung Partai Keadilan Sejahtera
- Hidayat Nur Wahid, 52 tahun
Doktor lulusan Universitas Islam Madinah. Ketua MPR 2004-2009, anggota DPR 2009-2014.
- Didik Junaidi Rachbini, 52 tahun
Doktor Luzon State University Filipina. Anggota DPR dari Partai Amanat Nasional 2004-2009.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria
Calon perseorangan
- Mayor Jenderal Purnawirawan Hendardji Soepandji, 60 tahun
Akademi Militer angkatan 1974. Bekas Komandan Pusat Polisi Militer TNI.
- Ahmad Riza Patria, 43 tahun
Master in Business Administration Institut Teknologi Bandung. Anggota Komisi Pemilihan Umum Jakarta 2003-2008.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Faisal Basri-Biem Benjamin
Calon perseorangan
- Faisal Basri, 53 tahun
Master of Arts Universitas Vanderbilt, Nashville, Tennessee. Dosen ekonomi Universitas Indonesia.
- Biem Benjamin, 48 tahun
Anggota Dewan Perwakilan Daerah 2009-2014.
Yudi Latif
Keunggulan
Kelemahan:
Kuskrido Ambardi
Keunggulan
Kelemahan:
Naskah: Pramono, Bahan: Evan (Pusat Data dan Analisa Tempo), diolah dari berbagai sumber
*Pengurus PDS pecah dan membagi dukungan ke dua calon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo