Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belukar Korupsi Tak Kunjung Ditebang

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid akan segera menyeret 10 koruptor Orde Baru mendapat reaksi pro dan kontra. Ancaman itu dikeluarkan tidak lama setelah DPR menyampaikan memorandum kepada Presiden. Tidak salah jika sebagian kalangan menganggap tindakan itu sebagai strategi Presiden meredam perlawanan DPR. Maklum, beberapa anggota DPR saat ini adalah mantan pejabat Orde Baru?sebuah orde yang sarat dengan korupsi dan kolusi. Siapa saja yang dimaksud Presiden itu? Tidak jelas. Melihat kuman korupsi begitu terserak di segala tempat, sepuluh orang rasanya sangat sedikit. Paling tidak, kasus-kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Agung di bawah ini saja sudah mengarah pada puluhan orang tersangka. Proyek PLTU Paiton I Di antara aksi para koruptor yang belum diungkap tuntas adalah dugaan penggelembungan biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton I di Probolinggo, Jawa Timur. Hal itu terlihat dari besarnya nilai proyek yang dinilai terlalu tidak wjar. Untuk daya kapasitas yang sama (2 x 660 MW), PLTU Tanjungjati B di Jepara menelan biaya US$ 1,1 miliar. Sedangkan Paiton I nilai investasinya sampai US $ 2,5 miliar. Nilai investasi yang besar itu membuat harga jual listrik per satuan kWh juga ikut melambung. Akibatnya PLN, perusahaan yang diwajibkan membeli, jadi korban dan merugi. Awal Oktober 1999 lalu PLN mengajukan gugatan korupsi proyek Paiton I. Sayangnya, PLN akhirnya memilih penyelesaian di luar pengadilan. Selain dugaan mark up, Paiton I juga kental unsur kongkalikongnya. Sebagian pemilik PT Paiton Energy adalah juga pemegang saham PT Batu Hitam Perkasa, penyuplai batu baranya. Ada nama Hashim S. Djojohadikusumo dan Siti Hediati Soeharto di situ. Kejaksaan Agung sendiri baru 11 Desember 2000 melakukan penyelidikan secara intensif, termasuk melakukan pengecekan dokumen. Sedikitnya 18 orang diperiksa berkaitan dengan hal itu. Namun, belum satu pun yang jadi tersangka. Korupsi Pertamina Badan usaha milik negara Pertamina adalah sarang korupsi yang belum tuntas dibongkar hingga kini. Paling tidak, saat ini pihak Kejaksaan Agung telah mengidentifikasi sembilan proyek yang diduga terkontaminasi KKN. Dari pengusutan itu, beberapa kasus sudah menjaring tersangka. Di antara proyek itu adalah pemasangan pipa di Jawa, yang dikerjakan PT Triharsa Bima Nusa Tunggal, pada kurun 1987-1988. Siti Hardijanti Rukmana, selaku koordinator konsorsium proyek, sejak Jumat pekan lalu ditetapkan menjadi tersangka. Sebelumnya, mantan direktur utama Pertamina, Faisal Abda'oe, dan Rosano Barrack, Direktur Utama TBNT, sudah menyandang status yang sama. Sedangkan modus korupsi yang dilakukan adalah manipulasi proyek serta kontrak yang dilakukan tanpa melalui tender yang benar. Akibat praktek tidak sehat itu, diperkirakan negara mengalami kerugian sedikitnya US$ 20 juta. Bau korupsi juga tercium pada proyek pengadaan aditif. Harga bahan kimia yang biasa digunakan dalam proses pemurnian minyak itu diduga telah digelembungkan. Beberapa petinggi perusahaan yang selama ini bertindak sebagai pemasok telah diperiksa Kejaksaan Agung. Nama perusahaan itu antara lain PT Menara Bumi, sahamnya sebagian dimiliki Probosutedjo?adik tiri mantan presiden Soeharto?dan PT Bima Artika Citra, milik Bambang Trihatmodjo. Kontrak Karya Freeport Bau kolusi dan korupsi juga tercium dari Kontrak Karya II antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia Company pada 1991. Dalam kontrak yang baru itu, negara diduga mengalami kerugian. Asumsinya, kompensasi yang diperoleh Indonesia sangat kecil bila dibandingkan dengan penambahan konsesi areal penambangan. Pemerintah memperoleh hak kepemilikan saham sampai 10 persen, sedangkan penambahan lahan Freeport adalah dari 10 ribu menjadi 2,6 juta hektare. Saat itu pemerintah diwakili Ginandjar Kartasasmita selaku Menteri Pertambangan dan Energi. Sedangkan Freeport diwakili direktur utamanya, Hoediono Hoed. Kasus lain yang masih terkait dengan kontrak karya itu adalah penjualan 10 persen saham PT FIC kepada PT Bakrie Copperindo Investama, dari Grup Bakrie. Pihak kejaksaan menyimpulkan bahwa penjualan tersebut dilakukan tanpa mengindahkan prosedur yang berlaku, antara lain belum disetujui oleh pemegang saham pendiri, yakni pemerintah c.q. Menteri Keuangan. Aksi jual beli itu sangat kental unsur kolusinya. Kejaksaan Agung telah meminta keterangan dari beberapa mantan pejabat tinggi, antara lain J.B. Sumarlin (mantan Menteri Keuangan), Fuad Bawazier (mantan Dirjen BUMN), I.B. Sujana (mantan Menteri Pertambangan dan Energi), dan Hoediono Hoed. Ginandjar Kartasasmita sendiri, kabarnya, tanpa diminta jaksa dengan sukarela memberikan keterangan soal itu. Belum ada yang jadi tersangka, memang. Tapi, siapa tahu, sebentar lagi beberapa di antara nama-nama itu menyandang status tersebut. Johan Budi S.P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus