Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Taperum, Sekali Lagi

Skandal Taperum dibuka lagi menghantam Akbar Tandjung dan Golkar. Efektifkah?

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAS lama itu dikeluarkan lagi. Sebuah skandal penyelewengan dana Tabungan Perumahan (Taperum) pegawai negeri sipil yang melibatkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Akbar Tandjung. Menyusul dijatuhkannya vonis memorandum kepada Presiden Abdurrahman Wahid awal Februari lalu, inilah serangan balasan kubu Abdurrahman kepada Akbar?Ketua Golkar, partai yang menjadi pilar penting gerakan DPR menggoyang Presiden. Pada 8 Februari lalu, empat anggota DPR asal Partai Kebangkitan Bangsa plus seorang dari Partai Demokrasi Kasih Bangsa?keduanya partai minoritas pendukung Presiden?menghadap Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mengadukan kasus ini. Skandal Taperum terjadi pada 1996. Ketika itu, Akbar adalah Menteri Negara Perumahan Rakyat dalam kabinet Soeharto sekaligus Ketua Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum) Pegawai Negeri Sipil?sebuah lembaga yang dibentuk untuk mengelola tabungan perumahan yang dipotong dari gaji pegawai negeri di seluruh Indonesia. Ini bukan lembaga kecil: uang yang dikelolanya bernilai ratusan miliar rupiah. Uang ini disimpan Akbar di tiga bank: Bank Kesejahteraan Ekonomi, Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Tabungan Nasional. Anehnya, bunga yang dipetik Taperum dari ketiga bank itu hanya 3 persen, 12 persen, dan 8 persen setahun?jauh di bawah bunga bank rata-rata, yang melebihi 20 persen. Selain itu, Akbar juga disebut-sebut meminjamkan uang itu kepada Perumnas dengan bunga 8 persen. Para penyerang Akbar menuduh, Ketua DPR itu menilep selisih bunga tabungan itu dan menggunakannya untuk dana kampanye Golkar. Pada masa Orde Baru, kasus ini terkubur. Baru setelah Soeharto jatuh, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhasil mengaudit keuangan Taperum dan menemukan kerugian senilai Rp 179,9 miliar. Kubu Akbar membantah tuduhan ini. Menurut dia, dana Taperum disimpan dengan bunga rendah karena ia ingin mempercepat tersedianya perumahan bagi pegawai negeri. "Semua orang tahu BTN-lah yang menyediakan fasilitas. Sementara itu, bunga rendah bagi Perumnas adalah agar pembangunan rumah bisa lebih cepat," kata Akbar. Menurut dia, kebijakan ini bukan tak membawa hasil: target penyedian rumah sederhana ketika Bapertarum di bawah pimpinannya meningkat dari 500 ribu menjadi 650 ribu buah. Soal simpanan di Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) juga dibelanya. Katanya, 70 persen saham BKE?kini dilikuidasi?dimiliki oleh pegawai pemerintah melalui Induk Koperasi Pegawai Negeri. Jadi, dalam logika Akbar, ini cuma praktek memindah uang dari kantong kanan ke kantong kiri. Tentang keterlambatan peralihan uang dari kas Departemen Keuangan ke kas Bapertarum yang molor 13 hari tiap bulannya, dijawab Ketua Golkar itu merupakan kesalahan teknis saja. Soalnya, Departemen Keuangan tidak dapat mengumpulkan gaji pegawai negeri, yang jumlahnya ribuan, dengan cepat. Dalam tuduhannya, PKB memperkirakan kerugian negara akibat keterlambatan ini sebesar Rp 1,7 miliar. Pembelaan juga datang dari Roslan Zaris, Ketua Harian Bapertarum saat ini. "Dana Taperum itu 40 persen dikuasai Menteri Keuangan. Kenapa, sih, yang dipersoalkan hanya yang ada di rekening Menteri Perumahan?" katanya. Ini memang bukan kasus baru. Pada Juni tahun lalu, PKB juga pernah mempersoalan skandal Taperum. Ketika itu, partai Nahdlatul Ulama itu dan Presiden Abdurrahman baru saja shocked berat setelah DPR menyetujui dipakainya hak interpelasi untuk mempersoalkan Presiden dalam kasus penyelewengan dana Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Kasus Taperum bersama tuduhan korupsi di kilang minyak Balongan yang melibatkan bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasamita dilambungkan. Fotokopi detail audit Taperum itu beredar luas di kalangan pers. "Akbar harus bertanggung jawab," kata Taufikurrahman Saleh, Ketua Fraksi PKB, ketika itu. Tapi, serangan balasan ini tak maksimal. Kasus Taperum menguap begitu saja. Sedangkan Ginandjar, meski sempat dipanggil kejaksaan, tak juga masuk bui. Adapun skandal Bulog dan Bruneigate melaju terus hingga melahirkan vonis memorandum. Akankah nasib serangan keduanya seperti yang pertama? Belum bisa diterka. Kuncinya memang berada di tangan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Masalahnya, Marzuki juga pengurus Golkar Pusat. Meski disebut-sebut ia kini sudah pecah kongsi dengan Akbar Tandjung, tak ada jaminan ia mau membereskan kasus ini karena menyangkut korps Golkar yang dia sendiri berdiri di dalamnya. Tapi, hal ini disangkal Marzuki. "Saya akan menyelidiki karena menyangkut penyelewengan uang negara," katanya kepada TEMPO. PKB dan Golkar kini berpacu dengan waktu. Tempo yang tersedia bagi Presiden untuk membalas serangan memang tak banyak, hanya empat bulan sebelum tenggat memorandum terlewati. Dan publik lagi-lagi tak bisa bernapas lega: korupsi kini lebih merupakan komoditi politik ketimbang komoditi hukum. Arif Zulkifli, Dewi Rina Cahyani, Endah W.S., Andarina Karina Anom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus