Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kursi Komisaris demi Politik Balas Budi

Pada masa pemerintahan sebelumnya, anggota tim sukses hingga anggota partai politik juga duduk sebagai pengawas BUMN.

11 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan sejumlah perkembangan, salah satunya terkait komisaris BUMN di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, 2 Juni 2021. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Penunjukan komisaris perusahaan pelat merah banyak yang tak berbasis kompetensi.

  • Pola penunjukan komisaris di era Yudhoyono dan Jokowi tak banyak berbeda.

  • Jokowi sempat mempertahankan komisaris yang dekat dengan lingkaran Yudhoyono hingga 2017-2018.

JAKARTA — Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu, menyatakan pengangkatan sederet komisaris BUMN tak lagi berbasis kompetensi. Penempatan komisaris itu hanya perpanjangan tangan penguasa untuk memanfaatkan BUMN demi kepentingan politik. "Sekarang penempatannya bukan untuk perbaikan BUMN," katanya kepada Tempo, kemarin.

Dia mengamati beberapa pejabat baru yang diangkat tidak memiliki kompetensi, pengalaman, maupun latar belakang pendidikan yang sesuai dengan perusahaan yang harus diawasi. Di sisi lain, kebijakan Menteri BUMN Erick Thohir untuk memberi pelatihan kepada komisaris serta direksi seolah-olah mengkonfirmasi kondisi saat ini. "Dengan adanya pelatihan itu, Pak Erick seperti mendeklarasikan bahwa komisaris yang dia angkat tidak berkompeten."

Said menyadari kursi komisaris merupakan jabatan politis. Pada masa-masa pemerintahan sebelumnya juga lumrah ditemukan deretan anggota tim sukses semasa pemilihan presiden hingga anggota partai politik tertentu duduk sebagai pengawas BUMN. Namun kompetensi tetap harus menjadi pertimbangan utama.

Saat masih menjabat di Kementerian pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Said mengingat setiap kandidat harus memenuhi kriteria tertentu tergantung perusahaannya. BUMN dibagi menjadi empat kelas, dari A hingga D. Kelas tertinggi, yaitu A, memasang tolok ukur setara dengan perusahaan internasional. "Jadi, kalau dia mau menjadi komisaris di sana, kompetensinya harus memungkinkan dia menjadi komisaris di perusahaan sejenis mana pun di dunia," ujarnya. Dari sekitar 1.000 curriculum vitae yang diperoleh Kementerian BUMN, paling banter hanya 100 orang di antaranya yang bisa ikut tes seleksi.

Said menuturkan, penting untuk menempatkan orang yang memiliki kompetensi pada kursi komisaris. Sebab, perencanaan strategis perusahaan harus disetujui oleh komisaris. Selain itu, komisaris yang tidak memiliki kemampuan bisa menurunkan kepercayaan publik. Citra yang jelek akan berdampak pada risiko investasi. Pendanaan dari pihak ketiga pun sulit didapatkan.

Peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Indri Dwi Apriliyanti, menyatakan kondisi penunjukan komisaris pada masa SBY maupun Jokowi tak banyak berbeda. Dari hasil penelitiannya terhadap 15 BUMN yang berkontribusi pada 90 persen total pendapatan perusahaan pelat merah, dia mencatat penunjukan komisaris pada era Jokowi yang dekat dengan lingkaran kekuasaan hanya naik 2-3 persen dibanding komisaris pada era SBY.

Adapun untuk komisaris yang berasal dari latar belakang militer, jumlah komisaris pensiunan TNI pada era SBY mencapai 7 persen. Sementara itu, pada era Jokowi berkisar 6 persen. “Tapi angka ini harus dilihat hati-hati karena orang-orang yang memiliki latar belakang militer ini juga punya afiliasi ke partai politik atau oligarki,” ujar Indri.

Data tersebut ia peroleh dari penelusuran asal-usul komisaris di perusahaan pelat merah sejak 2004 hingga 2019. Penelitian ini merupakan bagian dari studi doktoral yang ia tempuh perihal kekuasaan elite dan politik di perusahaan negara antara era Yudhoyono dan Jokowi. Dari studi tersebut, ia menemukan kemiripan pola, yakni menempatkan komisaris dari lingkaran elite untuk memastikan loyalitas pejabat, termasuk untuk mengontrol pembuatan kebijakan. Selain itu, penempatan komisaris merupakan bagian dari sumber pendapatan bagi partai politik, seperti saat pemilihan umum, serta untuk mencari keuntungan pribadi, misalnya memperoleh kontrak bisnis untuk kepentingan oligarki.

Perbedaannya, Jokowi tak langsung menyingkirkan semua pejabat komisaris BUMN yang terafiliasi dengan presiden sebelumnya. "Analisis saya, karena dia lebih mau mengakomodasi lebih banyak kepentingan untuk memastikan stabilitas politik di eranya," kata Indri. Pasalnya, sebagai bukan elite partai, kekuatan politik Jokowi ketika itu terhitung masih rentan.

Itulah sebabnya, para komisaris yang dekat dengan lingkaran Yudhoyono bisa bertahan hingga 2017-2018. Namun menjelang pemilihan presiden 2019, Jokowi mulai mencopot komisaris BUMN yang terafiliasi dengan Yudhoyono. Indri mencatat sejumlah kursi pun mulai beralih diduduki para pendukung Jokowi.

Peneliti dari Badan Usaha Milik Negara Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (LM FEB UI), Toto Pranoto, mengatakan, selain untuk mengawasi perusahaan, kursi komisaris merupakan politik balas budi. "Hal biasa kalau kemudian ada beberapa orang dekat kekuasaan yang kemudian masuk jajaran direksi atau komisaris. Rezim yang lalu juga kurang-lebih melakukan hal serupa," katanya.

Sebagai pencegahan konflik kepentingan, Toto menyatakan regulasi sudah mengatur agar mereka yang terpilih melepaskan diri dari ikatan politik, seperti partai politik. Setiap tahun pun komisaris harus meneken kontrak kinerja dengan Kementerian BUMN. Jika selama periode tersebut kinerja perusahaan buruk akibat faktor yang bisa dikendalikan, pejabat tersebut bisa dicopot.

Dia menilai Kementerian BUMN perlu memperkuat pengawasan kinerja perusahaan negara, sehingga sistem pencegahan berjalan dengan baik. Komisaris BUMN berperan sebagai lapis pertama pengawasan risiko. "Kalau pengawasan risiko masih lolos, bisa dimitigasi di pengawasan Kementerian BUMN di lapis kedua," katanya.

VINDRY FLORENTIN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Vindry Florentin

Vindry Florentin

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran tahun 2015 dan bergabung dengan Tempo di tahun yang sama. Kini meliput isu seputar ekonomi dan bisnis. Salah satu host siniar Jelasin Dong! di YouTube Tempodotco

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus