Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kerusakan Lingkungan di Ibu Kota Baru Berpotensi Meluas

Proyek IKN Nusantara ditengarai berpotensi merusak lingkungan dan mengabaikan hak masyarakat adat. Mengapa?

1 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Adat Masyarakat Dayak Balik Sepaku Lama, Sibukdin Lokdam, mengunjungi kompleks pemakaman di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 8 Maret 2023. REUTERS/Willy Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Banjir sudah menjadi langganan kala hujan deras mengguyur wilayah Sepaku.

  • Banjir akibat kawasan resapan air berkurang dan Sungai Sepaku mengalami pendangkalan akibat sedimentasi.

  • Dua proyek IKN mengakibatkan 14 ribu hektare hutan dan lahan rusak dalam enam bulan terakhir.

JAKARTA - Sibukdin Lokdam, Kepala Adat Masyarakat Dayak Balik Sepaku Lama, menuturkan dalam enam bulan terakhir melihat sedikitnya 20 rumah di bantaran Sungai Sepaku dirobohkan. Dari penjelasan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara kepadanya, permukiman yang ada di bantaran sungai mesti digusur untuk kebutuhan normalisasi Sungai Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tujuannya menjamin wilayah ibu kota baru tak terendam banjir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Warga RT 03 Kelurahan Sepaku itu tak memungkiri bahwa banjir kerap melanda wilayahnya. Hal ini terjadi akibat penggundulan hutan oleh korporasi industri kayu di hulu hingga merusak daerah aliran sungai selama bertahun-tahun. Banjir memang melanda, tapi dua atau tiga tahun sekali. “Tapi sekarang makin parah semenjak ada aktivitas proyek IKN. Banjir selalu datang,” ujar Sibukdin saat dihubungi pada Rabu, 28 Juni 2023.

Baca: Jauh Harapan Kota Hutan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan banjir sudah menjadi langganan kala hujan deras mengguyur wilayah Sepaku. Hampir dipastikan seluruh wilayah di Kelurahan Sepaku, Kelurahan Pemaluan, Desa Bukit Raya, dan Desa Binuang yang ada di sepanjang Sungai Sepaku bakal tenggelam. Padahal wilayah-wilayah tersebut disiapkan sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN Nusantara. Menurut dia, banjir yang kini kerap melanda terjadi akibat kawasan resapan air berkurang dan Sungai Sepaku mengalami pendangkalan akibat sedimentasi.

Otorita lantas memberlakukan pengerukan Sungai Sepaku. Mereka juga disebut memperlebar sempadan kali dengan pengerukan dan penguatan tanggul. Masalahnya, normalisasi dilakukan dengan menggusur rumah masyarakat adat Dayak Balik Sepaku Lama, bahkan tanpa sosialisasi dan ganti rugi.

Masalah serupa dirasakan Pandi, 50 tahun, warga Kelurahan Sepaku. Saban hujan datang, hampir pasti rumahnya juga ikut terendam banjir. Hal ini terjadi akibat pembangunan pengontrol air atau intake saluran air bersih untuk IKN Nusantara. “Adanya pembangunan intake dengan pemagaran beton, itulah yang menyebabkan air terhambat turun sehingga menggenang,” ucap Pandi.

Petugas beraktivitas saat banjir melanda kawasan ibu kota negara (IKN) Nusantara di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 17 Maret 2023. Dok. Dinamisator

Pelaksana tugas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, menjelaskan, masalah banjir di IKN Nusantara tak bisa dituntaskan dengan sekadar normalisasi sungai. Dia mengatakan banjir yang melanda kawasan Sepaku disebabkan oleh praktik industri ekstraktif yang mengubah lanskap hutan dan lahan di wilayah hulu ibu kota negara. “Dalam kajian kami, pada kurun 2018-2021, kawasan IKN telah kehilangan hutan seluas 18 ribu hektare,” ujar Fathur.

Industri ekstraktif yang dimaksudkan Fathur adalah 83 perusahaan tambang yang ada di hulu sungai atau yang berada di IKN Nusantara. Belum lagi ditambah 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan empat korporasi di bidang kehutanan. Makanya, kata dia, banjir selalu terjadi dan ada kecenderungan terus meningkat.

Menurut dia, banjir semakin parah karena munculnya pembangunan bendungan dan intake atau saluran air bersih untuk menyuplai IKN Nusantara. Aktivitas pembangunan dua proyek raksasa ini mengakibatkan 14 ribu hektare hutan dan lahan rusak dalam kurun enam bulan terakhir. Fathur menduga masalah ini disinyalir menyebabkan banjir besar yang menenggelamkan hampir seluruh wilayah Kecamatan Sepaku pada Maret lalu. Banjir meluas hingga menggenangi 220,8 ribu hektare atau beberapa kecamatan di Kabupaten Penajam Paser Utara.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengerjakan dua proyek raksasa untuk menyuplai kebutuhan air bersih IKN Nusantara sejak 2021. Dua proyek tersebut adalah Bendungan Sepaku-Semoi dan intake Sungai Sepaku. Nantinya pemerintah bakal menyiapkan sejumlah pompa air yang dapat mengalirkan air bersih dari bendungan melalui intake menuju wilayah IKN Nusantara. Kapasitas pompa diprediksi mencapai 600 liter per detik.

Baca: Bujet Tambahan Proyek Nusantara

Khusus pembangunan intake Sungai Sepaku, pemerintah menyiapkan saluran air raksasa selebar 117,2 meter dengan tinggi 2,3 meter. Saluran tersebut bakal mampu menampung 3.000 liter air per detik. Pengerjaan ini membutuhkan waktu lebih dari dua tahun, mengingat Kementerian PUPR harus menyediakan tubuh bendung, dinding bendung, feeder canal, kantong lumpur, dinding hilir dan hulu, pekerjaan apron, kolam olak, serta berbagai hal teknis lain untuk menuntaskan intake tersebut.

Baca: Menggeber Infrastruktur, Menggaet Investasi

Anak-anak adat Masyarakat Dayak Balik di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 6 Maret 2023. REUTERS/Willy Kurniawan

Mengabaikan Hak Masyarakat Adat

Peneliti dari Sajogyo Institute, Eko Cahyono, menemukan dampak pembangunan IKN Nusantara bertalian dengan kerusakan lingkungan dan ekologi sosial. Khususnya, kata dia, bagi masyarakat adat yang menjadi minoritas di Kabupaten Penajam Paser Utara. “Salah satu temuan penelitian kami adalah adanya narasi bahwa tidak ada masyarakat adat di sekitar IKN. Narasi-narasi itu, misalnya, masyarakat suku adat Balik tidak bisa menunjukkan hak ulayat, asal-usul, dan existing yang diakui oleh negara,” kata Eko.

Temuan ini merupakan bagian dari hasil penelitian Eko yang dilakukan pada medio Mei lalu. Eko menilai indikator-indikator dengan narasi tersebut terlalu naif diterapkan terhadap suku adat Balik. Dalam sejarahnya, justru suku tersebut menjadi cikal bakal peradaban di Kalimantan Timur. Nama Kota Balikpapan, Eko mencontohkan, adalah nama yang disadur dari suku tersebut. Dia menyebutkan suku ini bahkan sudah ada sebelum Indonesia merdeka.

Temuan berikutnya, karena adanya narasi tak ada masyarakat adat, pemerintah cenderung mengabaikan aspek sosiologis warga Kabupaten Penajam Paser Utara, khususnya suku adat Balik. Pembangunan ibu kota negara juga cenderung dilakukan dengan menabrak hak-hak masyarakat setempat. Eko menilai pemerintah justru sekadar menawarkan pemindahan ke desa baru tanpa menjamin masyarakat adat memiliki hak atas tanah ulayat.

Masalah yang sama ia temukan pada suku Bajo, Desa Jenebora, Kecamatan Penajam, Kabupaten Penajam Paser Utara. Eko menyebutkan desa itu bakal dibedol untuk rencana pembangunan pangkalan udara milik TNI Angkatan Laut di wilayah IKN Nusantara. Dampak rencana proyek itu, kata dia, warga dengan serta-merta bakal digusur tanpa diberi ruang hidup.

“Padahal mereka di sana sudah ada ratusan tahun dan berupaya agar wilayahnya dapat di-enklave ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), tapi sampai sekarang belum berhasil,” ucap Eko. Enklave atau daerah kantong adalah suatu daerah dalam wilayah yang terkurung seluruhnya dalam suatu kawasan.

Masalahnya, kata dia, tak ada jaminan warga suku Bajo bakal dipindahkan ke tempat yang layak di pesisir Kalimantan Timur. Sebab, masyarakat setempat menggantungkan hidup sebagai nelayan dan dari pengolahan hasil laut.

Mahmud, tokoh adat Bajo sekaligus Ketua RT 02 RW 01, Desa Jenebora, menguatkan penelitian yang dilakukan Eko. Masalah lain yang krusial, kata Mahmud, adalah pemerintah setempat hanya akan membebaskan dengan membayar lahan warga yang bersertifikat. “Adapun rumah dan lahan warga yang tak memiliki sertifikat akan langsung dipatok tanpa penjelasan kapan akan dibayar,” ucap Mahmud.

Tempo berupaya meminta penjelasan sejumlah pejabat Otorita IKN Nusantara, tapi tak kunjung direspons. Mereka, di antaranya, Sekretaris Otorita IKN Nusantara, Achmad Jaka Santos Adiwijaya; Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, Myrna Asnawati Safitri; serta Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Silvia Halim. Ketiganya tidak menjawab panggilan dan pesan yang dikirim ke gawai mereka.

Myrna Asnawati sebelumnya menyebutkan lembaganya telah berupaya secara inklusif memberikan kepastian hukum bagi pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal. Ini untuk mendukung prinsip pembangunan IKN yang bakal selaras dengan alam dan inklusivitas, terutama menjamin pengakuan hak-hak bagi masyarakat adat.

Kepala Badan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara Bambang Susantono di kantor redaksi Tempo, Jakarta, 21 Maret 2022. TEMPO/Tony Hartawan

Kepala Badan Otorita IKN Nusantara, Bambang Susantoro, sebelumnya juga menjamin tidak akan memisahkan penduduk lokal dari pembangunan ibu kota. Justru pemerintah tengah merancang peraturan tata cara pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal. “Karena itu, konsultasi publik ini dilakukan untuk membangun proses kebijakan yang transparan dan partisipatif di Otorita IKN,” kata Bambang pada 9 Juni lalu.

Ia menuturkan konsultasi publik merupakan wujud dari komitmen Otorita IKN dalam melaksanakan pembangunan. Menurut dia, cara yang dilakukan IKN merupakan budaya nasional yang memberikan ruang bagi kebudayaan lokal. Konsultasi publik itu dihadiri 150 peserta dari berbagai kementerian, lembaga, dan sektor swasta.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Partogi Nainggolan, tak yakin atas dalih pemerintah untuk menjamin hak masyarakat adat dalam proses pembangunan ibu kota. Menurut Partogi, risetnya dalam setahun terakhir justru menemukan hal sebaliknya. “Otorita justru tidak terbuka atas berbagai kebijakan ke masyarakat dengan alasan agar lebih efisien membangun infrastruktur demi menghindari spekulan tanah,” kata Partogi.

Akibatnya, hal yang terjadi adalah banyak tanah warga yang dipatok oleh Otorita tanpa pemberitahuan. Proses pengambilalihan dan pembelian lahan juga berlangsung tertutup serta tak memiliki mekanisme penyelesaian konflik lahan yang jelas. Masalah ini mengakibatkan kesenjangan informasi antara pemerintah dan warga, khususnya masyarakat adat. Dia menilai pemerintah cenderung melakukan short cut atau menerapkan cara potong kompas selama proses partisipasi publik untuk mengejar proyek ini rampung pada Agustus 2024. 

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus