Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pegawai nonaktif KPK mencabut gugatan di Mahkamah Konstitusi untuk mendahulukan laporan lain.
Hasil TWK dilaporkan ke Komnas HAM karena dianggap melanggar hak asasi.
Ombudsman Republik Indonesia, PTUN Jakarta, dan Mahkamah Agung juga menjadi tumpuan perlawanan mereka.
SURAT pernyataan itu beredar di kalangan pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi sejak pekan pertengahan Juni lalu. Berisi pernyataan mencabut permohonan uji materi Undang-Undang KPK ke Mahkamah Konstitusi, sembilan pegawai menandatangani dokumen yang terdiri atas lima halaman tersebut. “Rencananya pekan depan kami kirim ke MK,” ujar mantan Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK, Rasamala Aritonang, pada Sabtu, 19 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasamala adalah satu dari sembilan pegawai yang mengajukan permohonan uji materi itu. Namanya masuk daftar 51 pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan alias TWK pada Maret dan April lalu. Mereka menyoroti Pasal 69B dan 69C Undang-Undang KPK yang mengatur proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Penggunaan frasa “dapat diangkat” di pasal itu dinilai memunculkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka mencabut permohonan itu lantaran ingin mendahulukan laporan lain. Para pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK tengah berjuang melalui berbagai gugatan hukum dan laporan ke sejumlah lembaga. Di antaranya menggugat Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 yang menjadi dasar tes wawasan kebangsaan ke Mahkamah Agung. Peraturan itu dianggap cacat hukum karena proses pembentukannya keliru.
Para pegawai nonaktif tersebut juga membawa hasil TWK ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Mereka menggugat berita acara keputusan bersama sejumlah lembaga, seperti Badan Kepegawaian Negara serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tentang hasil TWK.
Perkara TWK juga dibawa ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Laporan yang dibuat pada 24 Mei lalu itu menyoal delapan poin pelanggaran pelaksanaan tes tersebut. “Di antaranya perlakuan yang setara, kebebasan berkeyakinan, berpendapat, serta pemberangusan serikat pekerja,” ucap kuasa hukum para pegawai yang juga Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati.
Komnas bergerak cepat. Mereka sudah mewawancarai sekitar 200 orang hingga pertengahan Juni lalu. Komisioner Komnas HAM, Muhammad Choirul Anam, menjelaskan, mereka meminta keterangan seputar TWK dari para pelapor, pimpinan KPK, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Hukum dan HAM, serta tim asesor. Ketua KPK Firli Bahuri tak memenuhi panggilan Komnas HAM itu.
Pemeriksaan diperkirakan berjalan panjang. Anam belum bisa menyimpulkan kapan pemeriksaan itu selesai. “Kewenangan pemeriksaan yang kami lakukan terbatas untuk menguji ada-tidaknya unsur pelanggaran HAM,” katanya.
Pada saat bersamaan, para pegawai dan koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK turut melaporkan TWK ke Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga ini juga sudah bergerak pada Mei lalu. Laporan itu meminta kewenangan Ombudsman memeriksa dugaan pelanggaran administrasi terhadap Peraturan KPK dan TWK.
Anggota Ombudsman yang juga ditunjuk sebagai ketua tim pemeriksa laporan itu, Robert Na Endi Jaweng, menjelaskan, fokus pemeriksaan akan menguji kebijakan, implementasi, dan hasil TWK. “Kami akan menyusun laporan pemeriksaannya,” tuturnya.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, belum mengetahui rencana pencabutan gugatan Rasamala Aritonang dan kawan-kawan. Menurut dia, kewenangan pencabutan merupakan hak pemohon. Permohonan pencabutan bisa dilakukan pada tahap registrasi, sebelum, ataupun saat persidangan. “Jika pemohon mencabut gugatan, konsekuensinya mereka tidak lagi diperbolehkan mengajukan gugatan dengan obyek serupa di kemudian hari,” ujarnya.
TIM INDONESIALEAKS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo