Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Meski Jokowi menolak perpanjangan masa jabatan, Istana disinyalir mendekati petinggi partai politik.
Istana juga mendekati pimpinan sejumlah lembaga survei.
Pakar hukum tata negara menilai perpanjangan masa jabatan presiden bisa terjadi.
SEMBARI terkekeh, Presiden Joko Widodo geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan soal kemungkinan dia menjadi kepala negara lagi untuk ketiga kalinya. Di hadapan sejumlah pemimpin media massa yang diundang ke Istana Merdeka pada Senin petang, 7 Juni lalu, Jokowi menyebut pelempar gagasan tersebut hendak menampar, mencari muka, atau menjerumuskannya.
Pemimpin Redaksi MNC Radio Network Gaib Maruto Sigit, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan tetamu yang hadir menanyakan kemungkinan perubahan sikap Jokowi menjelang 2024. Apalagi sejumlah survei menunjukkan elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta itu masih tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga: Manuver Para Jenderal Berebut Kursi Panglima TNI
Jokowi mengatakan banyak orang muda yang lebih pintar dan berkualitas layak menggantikannya. “Saya ini manusia jadul, orang zaman dulu. Saya sudah usang,” ujar Jokowi seperti ditulis Gaib dalam tulisan berjudul “Nanti Kita Cerita tentang Presiden Hari ini”. Dihubungi pada Jumat, 18 Juni lalu, Gaib mempersilakan tulisan itu dikutip.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak sekali itu saja Jokowi menyatakan menolak wacana periode ketiga. Pada pertengahan Maret lalu, dia mengklaim akan mematuhi Undang-Undang Dasar 1945 yang membatasi masa jabatan presiden maksimal dua periode. Saat itu, mulai terdengar usul agar Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamendemen konstitusi agar masa jabatan presiden dan wakil presiden bisa tiga periode. “Pemerintahan ini berjalan tegak lurus dengan konstitusi,” ucap Jokowi.
Kendati Jokowi sudah bersuara, orang-orang dekatnya dikabarkan bermanuver mendorong perubahan masa jabatan presiden. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya, Arief Poyuono, mengaku pernah diajak berdiskusi beberapa kali oleh pejabat Istana. Arief pun mengaku didorong oleh pejabat tersebut untuk menyuarakan gagasan tiga periode Jokowi. “Saya berdiskusi dengan orang di lingkaran Jokowi,” katanya.
Baca: Cara Jokowi Memilih Calon Panglima TNI
Beberapa waktu setelah pertemuan tersebut, sejak pertengahan Maret lalu Arief mulai menggaungkan wacana bahwa Jokowi layak memimpin tiga periode. Menurut dia, banyak orang dekat Jokowi memuji pernyataan tersebut. Termasuk seorang menteri yang mengirimkan tanda jempol melalui aplikasi WhatsApp. Berkomunikasi dengan sejumlah petinggi berbagai negara, Arief mengklaim mereka ikut mendukung wacana itu.
Sepanjang pekan lalu, Tempo menemui belasan petinggi partai politik, mayoritas dari partai pendukung pemerintah, dan lembaga survei yang mengetahui manuver Istana. Menolak namanya disebut karena wacana ini terkait dengan “dapur Istana”, mereka membeberkan sejumlah menteri dan mantan pejabat yang dekat dengan Jokowi ikut merancang skenario kepemimpinan tiga periode. Para politikus itu mengaku telah didekati oleh orang-orang dekat Jokowi tersebut ataupun utusannya.
Mereka bercerita, ada dua skenario yang digulirkan. Pertama, membuka peluang periode ketiga selama lima tahun melalui pemilihan umum. Adapun skenario kedua adalah memperpanjang masa jabatan presiden maksimal tiga tahun. Perpanjangan itu juga disertai dengan penambahan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Namun masa jabatan kepala daerah mungkin tidak akan terpengaruh. Jika skenario tersebut berjalan, pada 2024 hanya akan ada pemilihan kepala daerah.
Baca: Kolom Bivitri Susanti, Robohnya Demokrasi Kami
Skenario apa pun yang dipilih akan tetap membutuhkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan konstitusi harus diusulkan minimal oleh sepertiga jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat atau 237 dari 711 anggota DPR dan DPD. Namun para politikus yang ditemui Tempo memperkirakan bukan perkara sulit membuka pintu amendemen. Iming-iming perpanjangan masa jabatan sangat mungkin membuat anggota DPR dan DPD mendukung amendemen agar bisa lebih lama berada di Senayan tanpa perlu mengeluarkan duit miliaran rupiah.
Wakil Ketua MPR Sjarifuddin Hasan mengaku mendengar kabar perpanjangan masa jabatan presiden serta para legislator. “Saya dengar itu, tapi baru nonformal. Perpanjangannya bukan lima tahun, tapi dua atau beberapa tahun,” tutur Sjarifuddin kepada Tempo, Selasa, 15 Juni lalu. Politikus Partai Demokrat itu menduga gagasan perpanjangan tersebut akan mendompleng agenda amendemen soal pokok-pokok haluan negara yang masih dibahas di MPR.
Baca: Kereta Cepat Senjata Prabowo
Dua orang yang mengetahui skenario tiga periode mengatakan nantinya ada dua pasal dalam konstitusi yang akan berubah. Perubahan itu adalah menyelipkan ayat perpanjangan masa jabatan dalam keadaan darurat di Pasal 7 serta menambahkan kewenangan MPR untuk menetapkan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden dalam kondisi darurat. Ihwal kondisi darurat, kedua pejabat tersebut kompak menyebutkan pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sebagai alasan utama serta kelesuan ekonomi.
Seorang pejabat yang juga mengetahui skenario itu menyebutkan, ada kemungkinan kondisi genting itu akan dimunculkan dalam sidang umum dan sidang istimewa MPR pada Agustus 2023 atau lebih cepat lagi. Sidang istimewa untuk mengamendemen konstitusi itu akan mengembalikan kewenangan MPR dalam menetapkan pokok-pokok haluan negara. Jika MPR gagal menggelar sidang istimewa, ujar pejabat itu, ada kemungkinan presiden akan mengeluarkan dekret untuk memperpanjang masa jabatan.
Ketua MPR Bambang Soesatyo membantah jika amendemen UUD 1945 disebut akan menyentuh soal masa jabatan presiden. Politikus Partai Golkar ini mengatakan amendemen hanya menambahkan soal pokok-pokok haluan negara, yang dulunya bernama garis-garis besar haluan negara. Penambahan itu dilakukan pada Pasal 3 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk menyusun pokok-pokok haluan negara dan Pasal 23 yang membuat DPR bisa mengembalikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jika tak sesuai dengan haluan negara.
Bambang pun mengklaim tidak pernah diajak berdiskusi oleh Istana soal perpanjangan masa jabatan presiden. “Saya cuma menjalankan rekomendasi MPR periode sebelumnya untuk mengamendemen substansi yang terkait dengan haluan negara,” ujarnya. Ihwal kemungkinan perpanjangan atau penambahan masa jabatan presiden, Bambang mengatakan keputusan itu tergantung ketua umum partai.
Hingga saat ini, belum semua ketua umum partai menyatakan sikap soal wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada November 2019 menyatakan tak menutup kemungkinan masa jabatan presiden diubah menjadi tiga periode. “Nanti kita lihat sambutan masyarakat. Kalau memang ada kebutuhan ke arah itu, kenapa tidak?” kata Surya.
Adapun Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri pada 24 Maret lalu menilai gagasan tiga periode itu dilontarkan oleh orang yang berharap bisa menjabat selama itu. “Hari-hari ini Pak Jokowi dikocok berkeinginan, katanya, untuk tiga periode. Orang yang ngomong itu yang kepengin sebetulnya. Suatu saat siapa tahu dia bisa jadi ingin tiga periode,” ujar Megawati.
Menteri Sekretaris Negara Pratikno; koordinator staf khusus Presiden, Ari Dwipayana; serta Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko tak merespons pertanyaan Tempo soal manuver Istana dan skenario memperpanjang masa jabatan. Adapun juru bicara Presiden, Fadjroel
Rachman, mengatakan Jokowi sudah dua kali menegaskan sikapnya ihwal gagasan ini. “Mengingatkan kembali, Presiden Joko Widodo tegak lurus terhadap UUD 1945 dan setia terhadap reformasi 1998,” ujar Fadjroel, Sabtu, 19 Juni lalu.
•••
TAK hanya mendekati petinggi partai politik, Istana ditengarai pernah mengundang pimpinan empat lembaga survei untuk mendiskusikan rencana tiga periode Jokowi. Menurut empat politikus dan seorang konsultan politik yang mengetahui pertemuan itu, empat petinggi tersebut adalah Direktur Eksekutif Indobarometer Muhammad Qodari, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, Direktur Saiful Mujani Research and Consulting Saiful Mujani, serta Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Saiful Mujani dan Yunarto membantah kabar bahwa mereka pernah diajak berdiskusi ihwal usul tiga periode. “Tidak pernah diskusi ini,” ujar Saiful Mujani pada Jumat, 18 Juni lalu. “Saya tidak pernah merasa diajak membahas itu,” tutur Yunarto. Burhanuddin Muhtadi pun menyangkal kabar tersebut. Adapun Qodari tak membantah ataupun membenarkan kabar bahwa ia pernah berdiskusi dengan pihak Istana mengenai wacana presiden tiga periode. “Saya fokusnya ke masyarakat, ke media, media sosial, pasti sampai ke elite politik juga,” kata Qodari kepada Tempo, Sabtu, 19 Juni lalu.
Kelompok yang menamakan Jokowi-Prabowo (Jokpro) 2024 berfoto besama usai meresmikan terbentuknya Sekretariat Nasional di Jalan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 19 Juni 2021. TEMPO/Egi Adyatama
Qodari pun ikut membentuk kelompok relawan Jokowi-Prabowo Subianto 2024 atau Jokpro 2024. Ketua Umum Sekretariat Jokpro Baron Danardono mengatakan ia mendiskusikan pembentukan organisasi itu pada Februari lalu bersama Qodari di sebuah kafe di Jakarta Selatan. Qodari lantas mengatakan Jokowi harus bersanding dengan Menteri Pertahanan Prabowo dalam pemilihan presiden 2024.
Sabtu, 19 Juni lalu, komunitas relawan ini menggelar syukuran di Sekretariat Jokpro 2024 yang berlokasi di Jalan Tegal Parang Selatan I Nomor 37, Jakarta Selatan. Sebelumnya, tempat ini merupakan restoran hidangan burung puyuh Bang Qodir kepunyaan Qodari. “Ini properti punya saya, ya dimanfaatkanlah untuk teman-teman,” ucap Qodari.
Sekretaris Jenderal Jokpro Timothy Ivan Triyono mengatakan kelompoknya telah berdiri di sejumlah provinsi, dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua. Ia mengatakan Jokpro akan mengumpulkan dukungan masyarakat untuk Jokowi dan Prabowo berpasangan di pemilihan presiden 2024, lantas membawa data itu ke MPR dan para pemimpin partai.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan aspirasi mengusung Jokowi-Prabowo sah-sah saja. Namun dia menilai aktivitas seperti yang dilakukan Jokpro bisa mengundang kegaduhan. “Saya melihat masyarakat yang ingin pemimpin baru marah. Atau pendukung Prabowo pun marah karena dikooptasi menjadi wakil Pak Jokowi yang sebenarnya sudah habis jabatannya pada 2024.”
•••
SEJUMLAH pakar hukum tata negara menilai perpanjangan masa jabatan bisa saja dilakukan. Mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan perpanjangan masa jabatan dalam kondisi darurat hanya bisa dilakukan jika terjadi krisis konstitusional. Artinya, menurut Yusril, konstitusi tak memberikan jalan keluar terhadap krisis yang dihadapi negara. “Tapi harus terukur, enggak bisa memperpanjang lima tahun. Masyarakat masih bisa terima kalau diperpanjang enam bulan,” kata mantan ketua tim kuasa hukum Joko Widodo-Ma’ruf Amin ini pada Jumat, 18 Juni lalu.
Namun Yusril menilai pandemi Covid-19 tidak bisa dianggap sebagai keadaan berbahaya. Sebab, penanganan pagebluk berada di bawah Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Mantan Menteri Sekretaris Negara ini juga menilai dekret hanya bisa dikeluarkan dengan dua syarat, yakni presiden merupakan figur karismatik dan didukung oleh tentara, khususnya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Ia mencontohkan penerbitan dekret oleh Presiden Sukarno pada 5 Juli 1959 yang didukung oleh Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution.
Baca: Kolom, Mengapa Dinasti Politik Tumbuh Subur di Indonesia?
Ia mengingatkan, dekret bisa menjadi blunder jika posisi presiden tidak cukup kuat. Contohnya, Abdurrahman Wahid mengeluarkan maklumat pada 23 Juli 2001 yang isinya membekukan DPR dan MPR serta membubarkan Golkar. Namun langkah itu justru berujung pada pemakzulan Abdurrahman. “Pertanyaannya, apakah Pak Jokowi memiliki karisma sebesar Bung Karno dan didukung oleh militer?”
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan wacana masa jabatan presiden lebih dari dua periode tidak bisa dianggap enteng. Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta ini pun mengaku pernah dilobi dan diajak mendiskusikan gagasan tersebut. “Saya menolak dan orang itu saya marahi,” ujar Jimly.
Menurut Jimly, manuver memperpanjang masa jabatan terjadi secara global dan dikenal sebagai third-termism. Sejak 1975 hingga 2018, kata Jimly, 69 dari 221 presiden yang akan habis masa jabatannya terbukti berupaya mengubah konstitusi negaranya. Dari jumlah itu, sebanyak 23 negara menghapus pembatasan masa jabatan, seperti Presiden Cina Xi Jinping.
BUDIARTI UTAMI PUTRI, RAYMUNDUS RIKANG, EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo