Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Metode penyebaran nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia kini dilanjutkan di Sleman, Yogyakarta. Adapun teknik penyebaran nyamuk mandul dilakukan di Bandung, Jawa Barat.
Amerika Serikat memulai uji coba pengendalian nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue dan zika dengan rekayasa genetika.
Para peneliti diminta mempertimbangkan dampak pengendalian populasi nyamuk Aedes aegypti terhadap keseimbangan alam.
SUMARNI, warga Kampung Cebongan, Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki kesibukan baru sejak Mei lalu. Selain mengurus suami dan dua anaknya, selama enam bulan ke depan dia akan menangani "satu keluarga" baru, yaitu nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia dalam ember di depan rumahnya. "Saya gembira dipercaya dititipi nyamuk Wolbachia," kata perempuan 54 tahun itu, Kamis, 17 Juni lalu. "Agar kampung Cebongan bebas dari demam berdarah," dia menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sleman adalah daerah baru yang menjadi sasaran program "Penerapan Wolbachia untuk Memberantas Dengue", yang dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) dari Monash University, bermitra dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Yayasan Tahija. Uji coba program ini sebelumnya dimulai di Kota Yogyakarta pada tiga tahun lalu dan dinilai berhasil mengurangi angka insiden demam berdarah sampai 77 persen. Nyamuk Aedes aegypti yang mengandung bakteri Wolbachia pipientis—bakteri parasit pada hewan antropoda—tidak mampu lagi menularkan virus dengue.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wolbachia merupakan satu dari setidaknya tiga metode yang dipakai di dunia untuk menekan populasi Aedes aegypti, nyamuk yang menjadi penyebar virus demam berdarah dengue, zika, dan chikungunya. Dua lainnya adalah nyamuk hasil rekayasa genetik yang diuji coba di Florida Keys, Amerika Serikat, April lalu; dan teknik serangga mandul oleh peneliti Badan Tenaga Atom Nasional (Batan). Indonesia selama ini mencatat lebih dari 7 juta kasus demam berdarah dengue setiap tahunnya.
Peneliti pendamping WMP Yogyakarta dari Fakultas Kedokteran UGM, Riris Andono Ahmad, mengatakan, dari hasil penelitian di 24 kluster di Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul, diketahui bahwa 12 kluster yang diberi Wolbachia lebih rendah terjangkit demam berdarah sampai 77 persen dibanding 12 kluster yang tidak diberi Wolbachia. Kini program yang sama dilakukan di Sleman. "Ini bagian dari kewajiban etik untuk memberikan akses pada populasi tempat kami melakukan penelitian," katanya.
Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Mlati II Kabupaten Sleman Veronika Evita Setianingrum mengatakan program di Sleman dimulai sejak Maret dan April sudah mencari orang tua asuh, sebutan untuk keluarga yang bersedia memelihara nyamuk Wolbachia. Puskesmas ini bertanggung jawab atas program di Desa Tlogoadi dan Tirtoadi. Totalnya ada 700 ember yang masing-masing berisi 150 telur nyamuk. Tiap orang tua asuh mendapatkan satu ember.
Evita mengatakan, dengan program ini, targetnya semua nyamuk akan mengandung Wolbachia. Jadi, walaupun nanti tetap ada nyamuk Aedes aeygpti, mereka sudah tidak bisa menularkan virus dengue atau penyebab demam berdarah dengue (DBD). Ia menambahkan, daerah ini menjadi sasaran program karena termasuk daerah endemis. Pada 2020, ada 37 pasien DBD, meski pada tahun ini turun menjadi 14 pasien. "Kami memilih wilayah yang penduduk padat dengan kasus DBD tinggi," kata Riris Andono Ahmad.
Untuk mendapatkan dukungan masyarakat, ada sosialisasi intensif dari rumah ke rumah. "Sampai kini belum ada masalah," ujar Evita, yang juga kader kesehatan lingkungan untuk pelepasliaran nyamuk Wolbachia di Desa Tlogoadi, Sarinah. Namun ada sedikit insiden soal ini, yaitu saat ada seorang penduduk yang tiba-tiba membuang ember Wolbachia itu ke selokan. "Dia mengira itu guna-guna karena mau pemilihan lurah," ucap Evita. Kasus itu dilaporkan dan akhirnya embernya diganti yang baru.
Ember berisi telur nyamuk ber-Wolbachia di Desa Tlogoadi, Mlati, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis, 17 Juni 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Penerimaan masyarakat menjadi faktor penting dan itu pula yang menghambat uji coba semacam ini di Amerika Serikat. Di Negeri Abang Sam, nyamuk rekayasa genetika adalah alternatif insektisida, yang banyak digunakan di negara itu untuk mengendalikan populasi serangga. Hal ini mengakibatkan berkembangnya nyamuk yang resistan terhadap insektisida. Uji coba nyamuk rekayasa genetik yang dikembangkan Oxitec terhambat oleh penolakan warga, selain soal lamanya proses perizinan. Permohonan izin diajukan pada 2010, tapi baru bisa dimulai pada April lalu.
Sempat ada penolakan dari masyarakat melalui referendum wilayah, tapi akhirnya tetap dilanjutkan karena ada penduduk daerah lain yang memberi persetujuan uji coba. Pada akhir April lalu, peneliti proyek Oxitec mulai menempatkan kotak berisi telur nyamuk di tiga area Florida Keys. Sekitar 12 ribu nyamuk jantan akan keluar dari kotak setiap minggu selama 12 minggu ke depan. Pada fase kedua akhir tahun ini, ditargetkan dikeluarkannya 20 juta nyamuk jantan yang sudah mengalami rekayasa gen dapat kawin dengan betina liar. Pejantan tersebut membawa gen yang akan membunuh keturunan betina saat masih berupa larva.
Adapun metode suntik mandul sudah dimulai pada 2004. Menurut Kepala Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan Roziq Himawan, Batan masih menyiapkan kapasitas lembaga dan laboratorium. Setelah itu mengembangkan teknik iradiasi. “Nyamuk mulanya ditangkap untuk dikembangbiakkan. Ketika bertelur dan saat masih pupa itulah kami iradiasi,” ujar Roziq. Nyamuk iradiasi itu yang diharapkan mengawini nyamuk betina liar. Hasil akhirnya adalah betina yang bertelur tapi tidak bisa menetas. Nyamuk iradiasi itu diuji lapangan pada 2019 di Bandung. "Belum ada kesimpulan final. Masih terus berlangsung (pengujiannya)," kata Roziq.
Setiap metode pengendalian itu memiliki kelemahan dan kelebihan. Riris mengatakan Wolbachia secara ekologis lebih aman. Sebab, nyamuk ber-Wolbachia sama dengan nyamuk di alam. Perilakunya sama. Hanya, mereka punya bakteri. Ini juga lebih berkelanjutan. Bakteri Wolbachia menyebar ketika nyamuk kawin dengan nyamuk betina di populasi. "Kalau nyamuk rekayasa genetika, dia harus selalu melepas nyamuknya," tuturnya.
infografis
Teknik serangga mandul, menurut Roziq, memiliki kelemahan, yakni pada efek samping dari radiasi terhadap kemampuan nyamuk jantan untuk mengawini betina liar. Radiasi memang bisa menciptakan efek kemandulan bagi nyamuk jantan, tapi dari kesimpulan sementara penelitian menemukan bahwa itu juga berdampak terhadap kemampuan mengawini betina. "Ini yang sedang dikaji lagi," ucap Roziq.
Ahli serangga dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rosichon Ubaidillah, mengatakan semua metode pengendalian nyamuk pasti ada dampaknya. Apalagi kalau sifatnya memberantas. Kalau nyamuk punah, hal ini bisa mengganggu ekosistem, termasuk populasi binatang yang mengonsumsi nyamuk, seperti cicak dan kodok. Dampak lain adalah soal keseimbangan alam. Ketika populasi Aedes aegepty menurun, dikhawatirkan populasi nyamuk jenis lain akan meningkat. "Persaingan antar-nyamuk yang membawa penyakit di alam perlu diperhatikan," katanya.
Menurut Rosichon, peneliti di Kementerian Kesehatan sebelumnya sempat mewanti-wanti soal potensi dampak ini. Kementerian juga terus mendorong program yang sifatnya menutup celah nyamuk berkembang biak melalui 3M (menguras, menutup, dan mengubur). Pengasapan juga bukan cara yang dianjurkan. Sebab, itu bisa mematikan binatang yang bukan target, tak bisa membunuh nyamuk yang masih berupa jentik, serta bisa menciptakan efek kekebalan. "Fogging bisa dilakukan jika darurat, saat populasi atau kasusnya meledak," dia menambahkan.
ABDUL MANAN (NATURE.COM, GUARDIAN), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo