Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Firli Bahuri diduga menekan pemimpin KPK lain agar mematuhinya. Pemimpin KPK yang lain merasa diikuti orang-orang Firli.
Pimpinan KPK dituding menjadi sumber kebocoran penanganan berbagai kasus. Ada banyak pengaduan dari penyelidik dan penyidik.
Pengawasan di KPK longgar pada era Firli. Kebiasaan buruk pimpinan menular ke bawahan.
TIGA bulan setelah dilantik sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Nawawi Pomolango memanggil penyidik Novel Baswedan ke ruang kerjanya di Gedung Merah Putih KPK di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, Nawawi mencurahkan isi hatinya selama memimpin komisi antirasuah. “Dia merasa tidak betah karena Ketua KPK Firli Bahuri terlalu dominan, selalu mengambil keputusan sendiri,” kata Novel kepada tim IndonesiaLeaks, pertengahan Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan berikutnya dengan Novel, Nawawi menyampaikan ingin mundur dari lembaga antirasuah tersebut. Dia merasa tak berdaya menghadapi Firli. Kepada Novel, Nawawi pun menceritakan bahwa dia merasa dibuntuti kaki tangan Firli. “Dia jadi parno. Selalu hati-hati jika berbicara dengan pegawai lain,” ujar Novel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nawawi menceritakan hal yang sama kepada penyelidik Harun Al Rasyid. Menurut Harun, Nawawi berulang kali menyampaikan sudah tak tahan bekerja sama dengan Firli. “Pak Harun, saya enggak kuat dengan Pak Firli. Mau mundur saja,” tutur Harun menirukan ucapan Nawawi.
Mendengar itu, Harun mendadak sontak meminta Nawawi bertahan karena para pegawai KPK bertumpu kepada mantan hakim tersebut. Setelah kewenangan komisi antikorupsi dipereteli lewat revisi Undang-Undang KPK dan Firli Bahuri terpilih sebagai pemimpin lembaga itu, awan hitam menggelayuti KPK. Waktu itu pesimisme tersebut menghinggapi banyak pegawai. Keberadaan Nawawi diharapkan bisa mengimbangi Firli.
Ketua KPK Firli Bahuri (kanan) bersama Anggota DPR Herman Hery saat meninjau Rumah Tahanan KPK di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020. TEMPO/ Imam Sukamto
Ditemui tim IndonesiaLeaks di rumahnya di kawasan Jakarta Selatan, Nawawi menolak diwawancarai perihal itu. “Kenapa mengejar-ngejar saya? Saya lagi isolasi mandiri. Tolong hargai saya,” ujar Nawawi, Jumat, 18 Juni lalu.
Kejadian serupa dialami Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Kepada Harun, Ghufron bercerita merasa ditempel orang-orang Firli. Akibatnya, kata Harun, Ghufron merasa tertekan. Untuk bertemu dengan Harun saja ia harus sembunyi-sembunyi agar tak diketahui Firli. Kepada tim IndonesiaLeaks, Ghufron mengatakan dalam beberapa bulan terakhir ini terpikir untuk mengundurkan diri.
Dalam berbagai rapat pimpinan, ia bersama Nawawi Pomolango acap kalah suara saat mengambil sejumlah keputusan penting. “Aku sudah bertarung, tapi kalah. Posisinya dua banding tiga,” ujar Ghufron pada Sabtu, 19 Juni lalu. Karena selalu kalah suara, Ghufron merasa tak memiliki kontribusi apa-apa di KPK. “Tapi aku juga mikir, kalau aku resign, apakah akan menyelamatkan KPK?”
Meski dalam rapat tertutup ia berseberangan dengan Firli, Ghufron harus tampil di depan publik menyampaikan hasil keputusan rapat. “Aturan di kami, yang kalah suaranya harus merilis. Ini saya buka saja,” kata Ghufron. Saat pengumuman hasil tes wawasan kebangsaan, misalnya, Ghufron yang hadir mewakili komisioner lain dalam konferensi pers. Padahal, menurut Ghufron, sejak awal dia tidak sepakat tes itu menjadi penentu lulus-tidaknya pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. Sejumlah narasumber menyebutkan ide untuk menggelar tes tersebut berasal dari Firli.
Contoh lain adalah saat penetapan tersangka Menteri Sosial Juliari Peter Batubara pada Desember 2020. Dalam gelar perkara, Firli sempat ngotot bahwa Juliari tak bersalah dalam penyaluran bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 senilai Rp 5,9 triliun itu. Karena kalah suara, akhirnya Firli yang mengumumkan penetapan tersangka politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu dalam konferensi pers.
Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Pol Karyoto, di gedung Komisi Pemberantasn Korupsi, Jakarta, Senin, 15 Februari 2021. TEMPO/Imam Sukamto
Gaya kepemimpinan era Firli berbeda dengan komisioner sebelumnya. Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang, mengatakan pimpinan di zamannya memang tak selalu satu suara. Mereka pun kerap melakukan voting dengan hasil tiga melawan dua. Saut biasanya satu kubu bersama Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua Laode Muhammad Syarif. “Meski berbeda pendapat dengan dua lainnya, kami tak pernah memerintahkan orang untuk menempel atau mengawasi mereka,” ucap Saut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, pernah mendengar langsung cerita dari salah seorang pemimpin KPK periode ini perihal keinginan empat komisioner menangani kasus besar yang melibatkan dua lembaga penegak hukum pada Juli 2020. Karena Firli seorang menolak, akhirnya KPK tak jadi mengambil alih kasus tersebut. Padahal, jika mengikuti sistem kolektif kolegial yang berlaku di KPK, seharusnya keputusannya mengikuti suara empat pemimpin lain.
•••
SELALU menenteng telepon seluler pintar merupakan kebiasaan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri dalam setiap rapat gelar perkara. Ia membawa kegalibannya ini sejak menjabat Deputi Penindakan periode April 2018-Juni 2019. Firli gemar memotret presentasi penyelidik dan penyidik. “Seharusnya kan tidak usah. Saya saja tidak pernah bawa handphone karena rawan bocor,” kata mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, pada Senin, 14 Juni lalu.
Laporan kebocoran perkara deras terjadi saat Firli menjabat Deputi Penindakan. Saking banyaknya, kelima pemimpin KPK untuk pertama kali menggelar pertemuan dengan puluhan penyidik dan penyelidik pada 16 April 2019. Persamuhan itu bertajuk “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus”. Ada 26 kasus yang diduga dibocorkan kepada pihak yang beperkara. “Sejak KPK era pertama juga sudah ada kebocoran, tapi tidak sederas sekarang,” ujar Saut.
Ia mencontohkan tim Satuan Tugas Penyelidikan II yang mengeluhkan lamanya proses surat-menyurat di Deputi Penindakan saat itu. Firli kerap mengembalikan surat yang masuk. Dalam catatan surat yang dikembalikan, Firli meminta detail kasus, seperti informasi mengenai pemberi suap, penerima, nilai, dan proyek yang tersangkut kasus korupsi. Ini di luar kelaziman di lingkup internal KPK. Seharusnya surat itu hanya berisi telaah dan informasi umum kasus.
Mereka juga mengeluhkan rumitnya proses penyadapan. Tiap satuan tugas hanya diizinkan menyadap 40 nomor telepon. Ketika surat perintah penyelidikan akhirnya terbit dan penyadapan berjalan, operasi tangkap tangan yang akan digelar malah bocor. Akibatnya, pekerjaan satgas selama berbulan-bulan menjadi sia-sia.
Penyidik Novel Baswedan mengeluhkan sebuah perkara dalam rapat bersama pimpinan KPK tersebut. Timnya merasa dihambat saat menangani kasus yang melibatkan seorang pengacara, Lucas. Menurut Novel, ada yang berupaya mengerem kasus saat timnya sedang mengebut menyelesaikan perkara. “Kami masih belum tahu itu terjadi atas kepentingan siapa,” tuturnya.
Kebocoran juga lazim terjadi sejak Firli Bahuri menjadi Ketua KPK pada Desember 2019. Pada 9 April lalu, misalnya, personel KPK hendak menggeledah kantor PT Jhonlin Baratama di Kotabaru dan Batulicin di Kalimantan Selatan. PT Jhonlin terseret suap pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Tim penggeledah yang dipimpin Afief Julian Miftach mendapati kantor PT Jhonlin kosong melompong. Mereka kemudian bermaksud menelusuri kebocoran dengan menyadap sejumlah pihak. Pimpinan KPK menolak usul itu.
Selama memimpin KPK, Firli Bahuri juga ditengarai melonggarkan kode etik di lembaga tersebut. Ia seakan-akan tak risau jika pemimpin KPK beranjangsana ke pejabat dan pihak yang berpotensi akan beperkara di KPK. Padahal kode etik KPK mengharuskan komisioner menjaga independensi dengan tidak menunjukkan kedekatan dengan siapa pun di depan publik.
Kepada penyelidik Harun Al Rasyid, Wakil Ketua Nawawi Pomolango pernah mengeluhkan kebiasaan Firli yang kerap berserobok dengan pejabat lembaga lain. “Padahal orang-orang yang disambangi ini yang perlu diawasi,” kata Harun menirukan kalimat Nawawi.
Ini juga yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Dengan dalih menyambung silaturahmi dan mencegah korupsi, Lili menemui Wali Kota Tanjungbalai Muhammad Syahrial pada tahun lalu. Ia bahkan tak sungkan meminta kepada Syahrial agar Pemerintah Kota Tanjungbalai di Sumatera Utara itu melunasi hak adik iparnya yang pernah bekerja di instansi air minum daerah setempat. Syahrial dikabarkan mengabulkan permintaan itu.
Interaksi mereka berlanjut. Lili diduga membocorkan kasus jual-beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai yang menyeret Syahrial, yang sedang diusut KPK. Lili bahkan merekomendasikan seorang pengacara berinisial AA untuk membantunya. Dalam berbagai kesempatan, Lili membantah info ini. “Saya tegas menyatakan tidak pernah menjalin komunikasi dengan tersangka MS terkait dengan penanganan perkara yang bersangkutan, apalagi membantu proses penanganan perkara yang sedang ditangani oleh KPK,” ujar Lili. Sanggahan Lili tak menyurutkan Novel Baswedan dan kawan-kawan melaporkannya ke Dewan Pengawas KPK.
Pejabat di bawah mencontoh atasannya. Deputi Penindakan Karyoto, misalnya, diduga kerap menemui pihak yang beperkara. Karyoto kena batunya pada 21 Januari lalu. Ia “digerebek” saat bertemu dengan seseorang di sebuah rumah di Jalan Taman Patra III, Setiabudi, Jakarta Selatan. Pria yang ditemui Karyoto dikabarkan tengah berurusan dengan KPK.
Penggerebekan dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku wartawan surat kabar Siasat Kota. Mereka memotret dan merekam pertemuan Karyoto dan lawan bicaranya. Penggerebekan sempat memancing keributan dan membuat personel Kepolisian Sektor Setiabudi datang ke lokasi. Redaktur Pelaksana Siasat Kota, Jenri Sitanggang, yang ditemui tim IndonesiaLeaks, membenarkan adanya peristiwa tersebut. Tapi wartawan yang ikut penggerebekan tak lagi bekerja di sana. “Kami tidak tahu persis apa yang jadi latar belakang penggerebekan itu,” katanya.
Ditemui di rumah pribadinya di Yogyakarta, Karyoto enggan diwawancarai. “Saya tidak bisa menjawab, harus izin pimpinan,” tutur polisi berpangkat inspektur jenderal itu, lalu meminta tim IndonesiaLeaks meninggalkan rumahnya pada Sabtu, 19 Juni lalu.
Adapun Firli Bahuri tak merespons permintaan wawancara mengenai berbagai persoalan di KPK di bawah kepemimpinannya. Tim IndonesiaLeaks menyampaikan permohonan itu ke nomor teleponnya dan melalui juru bicara KPK, Ali Fikri. Tim IndonesiaLeaks juga mendatangi kediamannya di Villa Galaxy, Bekasi Selatan, Jawa Barat, pada Sabtu, 19 Juni lalu. Penjaga rumah mengatakan Firli tak bisa diwawancarai. Ketiga penjaga, dua di antaranya menenteng senjata api laras panjang, juga menolak meneruskan surat permintaan wawancara kepada Firli. “Silakan ke kantor saja,” ucap salah seorang dari mereka, yang lantas meminta tim IndonesiaLeaks beranjak dari situ.
•••
BERKUMPUL di lantai 15 Gedung Merah Putih, Kuningan, Jakarta Selatan, Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi Karyoto mengumpulkan tiga direktur dan kepala satuan tugas penyidikan korupsi bantuan sosial pandemi Covid-19, Andre Dedy Nainggolan, pada pertengahan Desember 2020. Tim Andre Dedy baru saja menangkap Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Kepada Andre, Karyoto menanyakan keterlibatan politikus lain dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai asal Juliari. Karyoto merujuk peran Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Herman Hery dan Wakil Ketua Komisi Sosial DPR saat itu, Ihsan Yunus.
Setelah mendapat penjelasan, Karyoto terlihat bersemangat. Ia memerintahkan Andre memeriksa Herman Hery dan Ihsan Yunus. Dimintai konfirmasi ihwal ini, Andre membenarkan. “Rapat itu memang ada, tapi saya tidak bisa menyampaikan detailnya,” katanya kepada tim IndonesiaLeaks pada Selasa, 15 Juni lalu.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2015-2019 Saut Situmorang, di Gedung KPK, Jakarta, Senin, 9 Mei 2016. TEMPO/STR/Eko Siswono Toyudho
Menindaklanjuti perintah tersebut, tim Andre lantas mengajukan surat pemanggilan Herman dan Ihsan serta saksi kasus bantuan sosial lain ke meja Karyoto. Di sini sikap bekas Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta itu berubah 180 derajat. Ia mencoret nama Herman Hery dari daftar saksi. Tim juga batal menggeledah kantor Ihsan Yunus karena diminta balik arah oleh Karyoto, yang beralasan mendapat perintah dari Firli Bahuri.
Kepada tim IndonesiaLeaks, dua pegawai KPK yang mengetahui perkara ini mengatakan, selama penyelidikan dan penyidikan kasus bansos, Karyoto berulang kali terlihat hilir-mudik di lantai 15 Gedung Merah Putih, tempat ruang kerja Firli berada. Sebelumnya, mereka hanya bertemu di ruang rapat atau dalam acara lain. Firli dan Karyoto tak merespons saat dimintai konfirmasi soal ini.
Herman Hery membantah terlibat korupsi bantuan sosial. Dia mengatakan perusahaannya, PT Dwimukti Graha Elektrindo, yang kini dikelola istri dan anaknya, memang menjalin kontrak dengan PT Anomali Lumbung Artha, salah satu penyalur bansos Covid-19. Ia mengklaim kontrak itu urusan bisnis semata. “Kalau dirasa memang ada yang dilanggar, kan sudah diperiksa KPK. Dwimukti sudah digeledah juga,” ujarnya.
TIM INDONESIALEAKS
Liputan ini diselenggarakan oleh konsorsium IndonesiaLeaks yang terdiri atas majalah Tempo, Koran Tempo, Tempo.co, Suara.com, Tirto.id, Jaring.id, Independen.id, The Gecko Project, dan KBR.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo