Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Gerakan sedekah dengan berbagi nasi bungkus gratis merebak di mana-mana.
Mereka membagikan nasi kepada orang-orang yang kesusahan.
Ada pula yang membuka warung makan gratis.
SEJAK pukul 03.00 setiap hari, Arvina Lampung dan suaminya, Yudha, sudah berkutat di dapur di kediaman mereka di daerah Kalimulya, Depok, Jawa Barat. Mereka harus bersiap sejak pagi buta untuk menyiapkan ratusan porsi nasi dan lauk-pauk untuk disajikan di kedai yang terletak tak jauh dari rumah mereka ketika hari sudah terang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedai milik Vina--sapaan Arvina—dan Yudha itu bukan kedai biasa. Sebab, di kedai itu, semua makanan tak dijual, melainkan dibagikan gratis kepada siapa saja yang mampir. Biasanya, kata Vina, warung makan yang diberi nama Kedai Sarapan Pagi Gratis (SPG) itu mulai ramai sekitar pukul 07.30. Pengunjungnya kebanyakan para pengemudi ojek, petugas kebersihan jalanan, pedagang asongan, pemulung, hingga warga sekitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Setiap hari saya menyediakan lima jenis lauk-pauk dan nasi. Setiap pengunjung boleh ambil nasi sesukanya, tapi lauknya hanya boleh pilih tiga jenis,” Vina bercerita kepada Tempo, Selasa lalu. Ia bisa menghidangkan 100 sampai 150 porsi sarapan. Tak hanya makan di tempat, tamu juga boleh membungkus makanan pilihan mereka untuk dimakan di rumah atau di tempat kerja.
Rutinitas Vina dan Yudha ini sudah berjalan sejak lima tahun yang lalu. Empat tahun pertama, aktivitas yang mereka namai Sedekah Pagi Sarapan Gratis itu dilakukan sambil berkeliling di sekitar Depok atau Jakarta. Mereka membagikan nasi bungkus kepada orang-orang yang mereka temui di jalanan, juga mendatangi panti asuhan atau pondok pesantren untuk membagikan makanan kepada para penghuni. “Alhamdulillah, sejak September tahun lalu, kami bisa membuka kedai di Kalimulya, dan baru saja buka cabang kedai sarapan gratis di Sukmajaya, Depok.”
Tapi, meskipun sudah punya dua kedai, Vina masih rutin mengirim sarapan ke sejumlah panti dan pondok pesantren di sekitar Depok dan Jakarta Selatan. Pembagian nasi bungkus dilakukan sambil mereka berkeliling pada akhir pekan. “Kalau akhir pekan, kami bisa bagi-bagi nasi sampai Bogor atau Sukabumi.”
Founder Sedekah Pagi Sarapan Gratis, Arvina Lampung di Kalimuya, Cilodong, Depok, Jawa Barat, 21 Mei 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Vina memulai gerakan ini atas inisiatif sendiri dan tanpa dukungan lembaga mana pun. “Dulu saya pernah hidup sebagai anak yatim piatu dan serba kesusahan, pernah merasakan tidak makan sampai tiga hari.” Pengalaman pahit itu membuat Vina bertekad membahagiakan orang lain dengan cara membebaskan mereka yang kesusahan dari rasa lapar.
Di masa Pandemi Covid-19, dorongan itu semakin kuat, hingga akhirnya ia mendirikan kedai sembari tetap rutin mengirim makanan ke sejumlah lokasi. “Saya prihatin melihat banyak orang dipecat dari pekerjaan, dagangannya tidak laris, dan kesusahan di masa pandemi ini. Kondisi itu bisa membuat orang jadi gelap mata dan melakukan aksi kriminal, hanya karena perut mereka lapar,” ujarnya. Dengan adanya sarapan gratis, setidaknya orang yang berpenghasilan harian dan kecil tak perlu keluar uang untuk membeli makan pada pagi hari.
Meski dilakukan dengan niat ibadah, Vina menyatakan, inisiatif ini bukan sekadar gerakan syiar keagamaan. Penerima manfaat gerakan sarapan gratis ini berasal dari berbagai kalangan. “Tetangga nonmuslim di sekitar kedai juga suka mampir ikut sarapan, di jalanan juga saya bagi-bagi makanan ke siapa saja, tidak melihat latar belakang kesukuan atau agama.” Toh, walau begitu, saat awal membuka kedai, aktivitas Vina ini sempat disangka gerakan politik. Bahkan, karena bercadar, Vina sempat disangka teroris oleh orang sekitar.
Karena semakin populer, Sedekah Pagi Sarapan Gratis juga banyak berkolaborasi dengan yayasan atau sejumlah sekolah untuk mengadakan program edukasi bagi anak jalanan. Vina kerap menerima donasi uang dari orang lain yang ingin berpartisipasi. Sumbangan orang lain itu dimanfaatkan juga untuk program donasi alat ibadah di sejumlah rumah yatim dan pondok pesantren penghafal Al-Quran.
Untuk menjaga transparansi sekaligus mempromosikan gerakan ini, Vina memanfaatkan akun Instagram @sedekah_pagi_gratis. Lewat media sosial dan telepon, Vina kerap mendapat permintaan pengiriman bantuan bahan pokok. “Ada saja yang mengaku sedang kesusahan, butuh sembako.” Tanpa ragu, Vina mengirim sembako ke lokasi penerima. Bagi Vina, adanya permintaan semacam ini bukanlah suatu kerepotan. Justru, kata dia, hal ini salah satu bentuk rezeki buat kita.
Inisiator Berbagi Nasi Jumat Berkah di Bandung, Agung Pramudya Wijaya. Dok. Pribadi
Gerakan berbagi nasi gratis untuk kaum papa juga rutin dilakukan Agung Pramudya Wijaya, warga Bandung, yang berprofesi sebagai dosen Desain Produk di Institut Teknologi Nasional. Gerakan ini sebetulnya berawal dari kebiasaan Agung dan keluarganya sejak dulu. “Tapi dulu skala kecil saja. Nasi bungkusnya masak di rumah, bikin sepuluh porsi lalu dibagikan ke orang-orang yang saya temui di jalanan sambil berangkat kerja setiap Jumat.”
Agung, yang akrab disapa Pecunk, mengaku secara pribadi memang punya sifat sensitif dan mudah terenyuh ketika melihat orang lain dalam kondisi memprihatinkan. “Saya gampang kasihan kalau melihat orang jualan jalan kaki. Selain bagi-bagi nasi, saya juga biasa memborong dagangan mereka.” Sifat itu terbentuk karena sejak kecil orang tua Agung mengajarkan agar anaknya suka berbagi kepada orang lain dalam kondisi apa pun.
Beberapa bulan lalu, dalam suatu acara keluarga, mertua Pecunk memberi tantangan: memasak nasi buoks dalam jumlah banyak untuk dibagikan ke kaum duafa. “Mertua menitipkan uang sedekah, nasi boksnya dimasak di kedai saya.” Kebetulan Pecunk punya usaha kedai makan di daerah Tubagus Ismail, Bandung. Tapi karena uang sedekahnya cukup besar, para juru masak di kedai pun kesulitan jika harus memasak nasi boks dalam jumlah banyak secara mendadak. Apalagi mereka harus menyiapkan operasional kedai.
Agar lebih efisien, Pecunk menghubungi Yuni Nur Indah Sari, rekannya yang punya usaha katering di daerah Cimuncang, Bandung. “Usaha katering Yuni biasa menerima pesanan makanan untuk kegiatan sosial. Ia tidak ambil untung, semua biayanya untuk produksi. Bahkan Yuni juga punya karyawan yang bisa membantu menyalurkan nasi bungkus ke lokasi-lokasi tujuan.”
Santri pesantren menerima nasi boks gratis dari Agung Pramudya Wijaya. Dok. Pribadi
Pecunk selektif membagikan nasi boks ke panti-panti, pesantren, atau langsung ke orang-orang di jalanan agar tepat sasaran. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan Pecunk, banyak kegiatan berbagi nasi boks setiap Jumat yang kurang tepat sasaran. Misalnya pembagian nasi di masjid, siapa saja bisa mengambil makanan gratis itu. “Padahal kan tujuannya untuk berbagi kepada yang kurang mampu. Masak, yang bawa mobil juga ikutan mengambil.” Pecunk biasa mengirim nasi bungkus ke panti asuhan dan pesantren di wilayah Bandung yang benar-benar membutuhkan.
Gerakan Pecunk ini terus membesar karena ia rutin membagikan dokumentasi kegiatannya di media sosial. Di grup percakapan yang ia ikuti juga, Pecunk kerap mengajak orang lain berpartisipasi bersedekah untuk membuat nasi boks. “Anak-anak penghuni pesantren turut mendoakan para donatur yang menyumbang. Penyumbang juga bisa menitip pesan doa yang ingin dipanjatkan, misalnya meminta kesembuhan saat sedang sakit.”
Jumlah donatur gerakan Pecunk ini terus bertambah. Dari semula hanya membagikan puluhan nasi buoks, kini rata-rata ia bisa mengirim seratus porsi makanan ke sejumlah lokasi. “Teman-teman saya banyak yang ingin ikutan karena merasa terfasilitasi, bisa bersedekah dengan nominal kecil tapi dampaknya bisa dinikmati banyak orang,” ujar pria yang juga personel grup band independen Cherry Bombshell itu. Karena lingkaran pertemanannya luas, Agung juga bisa menjangkau lebih banyak donatur.
Untuk menjaga kepercayaan para donatur, Pecunk selalu melaporkan hasil kegiatan sedekah Jumatnya itu melalui akun Instagramnya, @pecunk_cherbomb ataupun langsung kepada para donatur. Bagi Agung, berapa pun jumlah sedekah yang dikirim akan sangat bermakna dan bermanfaat. “Bagi saya, yang penting niat baik dan ikhlas, serta mudah-mudahan bisa konsisten meski jumlahnya tidak banyak.”*
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo