Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA ada sepuluh tempat di dunia yang bisa membuat Bill Belleville berkubang berlama-lama. Salah satunya, kata penyelam dan pembuat film dokumenter asal Amerika itu, adalah laut yang membentang dari Bunaken sampai Pulau Lembeh. Yang lain di antaranya perairan Great Barrier Reef di pantai timur Australia, Galapagos di Pasifik, dan Pulau Cocos di Kosta Rika. "Semua tempat itu sering kali membuat saya kehilangan kata-kata," kata Bill seperti dikutip situs Away.com.
Bukan cuma Bill. Lihatlah pasangan asal Jerman, Karl-Heinz Fichtlscherer dan Christine Gallmaier. Air hujan belum juga kering dari tanah, pasangan itu sudah berendeng keluar dari pondok Manado Underwater Explorer menuju pantai. Fichtlscherer memanggul tabung oksigen dan menaruhnya di perahu kayu bermotor. Selasa pertengahan September lalu itu, keduanya telah lima kali menyelam di Bunaken. "Karang dan ikannya indah sekali," kata Fichtlscherer, yang bekerja sebagai insinyur teknologi informasi.
Mereka berniat menjelajahi laut sekitar Manado hingga dua minggu. Separuh waktu dihabiskan di perairan Bunaken yang meliputi laut sekitar Pulau Bunaken, Manado Tua, Mantehage, Siladen, dan Naen. Semuanya berada di sekitar Teluk Manado. Baru minggu berikutnya mereka pindah ke laut sekitar Pulau Bangka, dua setengah jam dari Manado dengan angkutan darat disambung perahu motor. Dalam setahun, mereka bisa menyelam di laut 40 kali.
Reputasi Bunaken memang sudah menjulur hingga ke berbagai ujung dunia. Hingga kini, Laut Bunaken sudah menghidupi puluhan hotel berbintang, ratusan hotel kelas melati, dan perusahaan penyelaman. Belum lagi ratusan rumah makan dan puluhan agen perjalanan yang menggantungkan hidup dari wisata air itu.
Bulan-bulan ini, Juli-November, biasanya musim penyelam berduyun ke Bunaken, Bangka, atau Lembeh. "Saat high season, tingkat hunian pondok kami bisa sampai 90 persen," kata Ihan M. Fallah, Manajer Resor Manado Underwater. Di Kalasey, Manado, mereka punya 19 resor, sedangkan di Pulau Bangka ada 9 pondok.
Manado Underwater punya dua kapal berkapasitas 8 dan 14 orang. Kapal ini sanggup mengangkut penyelam hingga gunung berapi bawah laut di Kepulauan Sangihe, yang berjarak 263 kilometer dari Manado. Bagi yang cukup "gila" mau melaut hingga 10 hari, Manado Underwater juga siap melayani.
Syaratnya, asal punya ongkos. Untuk melaut selama enam hari, ongkosnya 750 euro atau sekitar Rp 10 juta. Menurut Ihan, rata-rata pelanggan Manado Underwater datang dari Eropa dan mereka tinggal empat hingga sepuluh hari. Biasanya mereka yang benar-benar serius menyelam memang turis asing seperti pasangan Karl-Christine.
Dari semula hanya ada Manado Underwater-didirikan Han Batuna pada 1987-sekarang di Sulawesi Utara ada 34 perusahaan sejenis hidup dari laut. Sebagian besar berkerumun di Manado, dan hanya ada sembilan perusahaan di Lembeh, sekitar 60 kilometer dari ibu kota Sulawesi Utara tersebut.
Sebagian besar perusahaan itu dimiliki warga negara asing. Salah satu pemodal lokal yang masih bertahan ya Manado Underwater. Selain butuh modal yang tak kecil, mendirikan usaha selam perlu pengetahuan yang cukup. Roel Jong Dikkers, salah satu pemilik LumbaLumba Diving, misalnya, sudah merogoh kocek US$ 750 ribu atau sekitar Rp 7 miliar untuk modal.
Pariwisata memang urat nadi ekonomi Sulawesi Utara. Kendati jika diukur dari produk domestik regional bruto, kontribusi sektor pariwisata (termasuk perdagangan hotel dan restoran) masih kalah dari pertanian plus perikanan, menurut data Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara, sepanjang 2008 sektor inilah motor utama pertumbuhan ekonomi di sana.
Tahun ini saja, ada lima hotel berbintang yang sudah mengantongi izin pembangunan. Di antaranya jaringan Peninsula, Swiss-Belhotel, dan Novotel. Selain itu, masih ada sejumlah hotel kecil yang sedang dibangun. "Unggulan kami di wisata bahari," kata Tonny C.M. Koraah, Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Kerja Sama Regional Provinsi Sulawesi Utara.
Maka mereka begitu bersemangat menggelar Konferensi Samudra Dunia pada Mei 2009, yang rencananya diikuti 121 negara. Johnny Lieke, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia di Sulawesi Utara, mengatakan konferensi itu akan memantik efek berantai. "Bukan sekadar hotel dan restoran akan laku. Tapi ini juga ajang promosi, agar lebih banyak orang mengenal Sulawesi Utara," katanya.
Karena konferensi itu pula Manado sibuk berdandan. Apron alias tempat parkir pesawat di Bandar Udara Sam Ratulangi diperluas hingga bisa menampung 23 pesawat. Beberapa rute penerbangan internasional telah dibuka. Pesawat AirAsia kini lalu-lalang Manado-Kuala Lumpur tiga kali seminggu. Silk Air terbang ke Singapura empat kali seminggu. Jalan dari bandara menuju Kota Manado pun diperlebar hingga 22 meter dari semula hanya separuhnya.
Tapi ada sejumlah pekerjaan rumah yang belum tuntas. Danny Charlton, warga Amerika Serikat pemilik Lembeh Resort, mengeluhkan komunikasi yang minim antara pemerintah dan pengusaha. "Kebanyakan dive center dikelola warga negara asing. Dan kami tidak bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Tapi bukankah seharusnya orang yang bekerja di dinas pariwisata bisa berkomunikasi dalam bahasa asing, setidaknya bahasa Inggris?" katanya.
Belum lagi soal jaringan listrik yang belum juga nyambung hingga Pulau Lembeh. Walhasil, pemilik pondok selam di pulau itu harus mengandalkan generator. "Setiap tahun, kami membuang US$ 85 ribu hanya demi listrik," Charlton mengeluh. Tetangga Charlton, Bernard Lamprecht, warga Afrika Selatan pemilik pondok selam NAD Lembeh, terpaksa merogoh kantong Rp 20 juta per bulan untuk mengongkosi tiga generatornya.
Masalah yang genting justru datang dari Kota Manado sendiri. Angelique Batuna, In-training Executive Director Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken, mengatakan perkembangan Manado yang pesat justru menjadi pembunuh potensial bagi Bunaken. Soalnya, ketika perekonomian Manado melesat, produksi sampahnya juga naik pesat.
"Kalau musim hujan, kami bisa mendapatkan kiriman sampah lebih banyak lagi," kata Angelique. Sampah Manado ini bisa membunuh terumbu karang berikut biota di Bunaken dan sekitarnya. Masalahnya, mengusir sampah ini bukanlah perkara mudah dan murah. Apalagi itu terjadi atas perkembangan kota yang begitu cepat seperti sekarang.
Sapto Pradityo, Bunga Manggiasih (Manado)
Data Pariwisata
*Hingga Agustus
  | 2006 | 2007 | 2008* |
Hotel Bintang | 17 | 28 | 28 |
Jumlah Kamar | 1151 | 1402 | 2414 |
Tingkat Hunian | 48,90% | 49,20% | 55,00% |
Lama rata-rata menginap | 3 | 3 | 3 |
Hotel Melati | 167 | 357 | 357 |
Jumlah Kamar | 3057 | 3158 | 3158 |
Kunjungan Wisatawan
  | Asing | Dalam Negeri |
2003 | 11934 | 105383 |
2004 | 16374 | 183294 |
2005 | 14528 | 208921 |
2006 | 15902 | 210775 |
2007 | 15635 | 207399 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo