Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bergelimang Lulur, Bermandi Duit

Seperti layanannya yang menyenangkan, berbisnis spa menjanjikan keuntungan menggiurkan.

9 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana pondokan di kaki Gunung Merapi yang berhawa sejuk itu bak kamar para putri raja atau bidadari kahyangan. Di dalamnya ada tempat berendam terbuat dari batu marmer, bertaburkan bunga mawar. Bila cuaca cerah, dari balik jendela kaca tampak di seberang sana keindahan Merapi yang berjejer dengan Gunung Andong, Merbabu, dan Telomoyo.

Kompleks seluas 22 hektare itu merupakan wujud cinta Gabriella Teggia pada keindahan alam Jawa Tengah dan spa. Di atas tanah itu, perempuan Italia 64 tahun tersebut membangun 32 pondok dan bangunan pendukung lainnya yang menghabiskan US$ 10 juta atau Rp 90 miliar. ”Sebetulnya untuk 32 cottage cukup menggunakan tanah 2 hektare, tapi saya kira tidak akan nyaman. Saya ingin yang unik,” katanya.Resor bernama Losari Spa kepunyaan Teggia itu merupakan salah satu yang ternyaman di Tanah Air. Tahun ini, majalah Spaasia memasukkannya dalam daftar 150 spa terbaik di dunia. Losari tak pernah kekurangan pelanggan. Mereka tak cuma berdatangan dari Indonesia, tapi juga dari berbagai penjuru dunia.

Padahal biaya untuk menikmati layanannya tidak murah. Pelanggan setidaknya harus merogoh kocek Rp 500 ribu. Belum lagi bila mereka harus menginap. Dengan pelanggan yang berdatangan seperti itu Teggia yakin investasinya akan lekas kembali. ”Tadinya saya perkirakan kembali dalam waktu lima atau sepuluh tahun; tapi karena ada gempa dan bom, jadi mungkin lebih lama,” ujarnya.Beberapa ratus kilometer sebelah barat Losari, di kaki Gunung Salak kawasan Sukabumi, ada Javana Spa. Tak cuma menjadi resort spa seperti Losari, Javana juga berfungsi sebagai medical spa. Di sana banyak berdatangan orang yang menjalani pemulihan kesehatan pasca-stroke.

Pada awalnya 16 tahun silam, menurut Jamal Hamami, manajer promosinya, pelanggan Javana Spa kebanyakan orang asing. Belakangan, banyak orang Indonesia juga memanfaatkannya untuk perawatan tubuh. ”Data terakhir peserta program di Javana Spa 60 persen orang Indonesia, 40 persen ekspatriat,” ujarnya.

Untuk berleha-leha di tempat ini, pelanggan juga harus mengeluarkan banyak uang. Paket termurah tarifnya Rp 2–3 juta. Grand Getaway, paket perawatan termahal disertai menginap selama 4 hari 3 malam menghabiskan Rp 4,95 juta seorang atau Rp 7,36 juta untuk pasangan. Toh resor ini tetap tak pernah sepi peminat.

Saat ini pelanggan Javana spa rata-rata 100 orang setiap bulan. Data itu membuat Jamal optimistis. ”Saya yakin pangsa pasar ke depan lebih cerah, karena saat ini sudah banyak orang yang menyadari pentingnya merawat tubuh,” katanya.

Seiring dengan meningkatnya kemakmuran dan berubahnya gaya hidup warga, perkembangan spa di Tanah Air makin meroket. Di Jakarta dan kota-kota besar lain, Spa tumbuh bak cendawan di musim hujan. Lokasinya berbeda-beda tergantung kelasnya. Ada yang di hotel berbintang, gedung sendiri, atau nemplok di deretan rumah toko alias ruko. Maraknya spa terutama terjadi sejak awal 2000. Ketika itu, tanpa ada yang mengomando, bermunculan berbagai jenis spa dengan terapi perawatan yang aneh-aneh, seperti lulur menggunakan lumpur Laut Mati atau pijat dengan memakai batu panas. Sebelumnya spa mulai dikenal pada awal 1980-an, ketika hotel-hotel menyediakan fasilitas sauna dan jacuzzi. Namun, kalender gonta-ganti tetap saja banyak orang belum ngeh dengan terapi air itu. ”Saya sampai nangis-nangis menjelaskan ke sana-sini. Butuh 1,5 tahun saya harus merombak image orang,” kata Made Tangkas, Manager Kepala Taman Sari Royal Heritage Spa, yang sudah bergelut di bidang ini sejak 1980-an.Saat itu, spa memang cuma berkutat di sekitar hotel berbintang. Pasar yang dibidik masih sempit, kebanyakan hanya para tamu hotel. Seiring dengan kemajuan teknologi dan kecerdikan para pelaku bisnis, bisnis ini makin membuka diri. Spa tidak lagi melulu berupa terapi air, tapi mulai memasukkan layanan lain seperti pijat dan kecantikan. ”Semuanya digabung. Massage dan salonnya juga masuk,” ujar Made Tangkas.Sejak itu perkembangan spa tak terbendung. Lokasinya pun tidak lagi di hotel, tapi terpisah. Polanya persis supermarket, semua layanan bisa didapatkan di satu tempat alias one stop shopping. Contohnya adalah Taman Sari Royal Heritage Spa. Butik yang memulai bisnis sejak 1996 di Yogyakarta ini menyediakan semua layanan mulai dari pijat, lulur, aromaterapi, sauna, jacuzzi, dan lain-lain.

Menjual perawatan tubuh ala Jawa, Taman Sari kini berbiak ke Jakarta dan kota-kota lain, bahkan hingga ke mancanegara, baik dengan modal sendiri atau lewat sistem waralaba. ”Bulan Juli ini, kami membuka cabang di Bulgaria,” kata Made. Mereka melihat negeri itu tengah berkembang ekonominya dan bisa menjadi pintu masuk ke negara Eropa lainnya. Tak mengherankan bila mereka optimistis modal yang ditanamkan akan kembali dalam tempo tiga tahun.

Taman Sari juga telah hadir di 18 tempat di berbagai negara dengan sistem waralaba. Lewat sistem ini mereka menyediakan paket bisnis lengkap, termasuk menyiapkan jenis dan bentuk cangkir dan piring yang akan digunakan. Karyawan dan terapis pun sudah disiapkan.

Investor yang berminat cukup menyediakan uang US$ 125 ribu atau Rp 1,125 miliar jika ingin membuka di Indonesia dan US$ 150 ribu alias Rp 1,35 miliar jika nama mereka di bawa ke luar negeri. ”Syarat lainnya, investor minimal menyediakan tanah seluas 400 meter persegi plus,” kata Made. Keberhasilan Taman Sari mengundang pihak lain untuk mendapatkan keuntungan serupa. Salah satunya Grand Odiseus yang mengelola sarana spa dan pusat kebugaran di sejumlah hotel berbintang di Jakarta, Bali dan kota-kota lain. Aditya Indradjaja, Presiden Direktur Odiseus, mengakui, berkat tangan dingin mereka, sejumlah sarana kebugaran di hotel-hotel yang tadinya merupakan cost center atawa merugi kini menjadi profit center alias tempat yang menguntungkan.

Berdiri pada 1998, sarana spa dan kebugaran yang dikelola Grand Odiseus kini telah berjumlah 13 buah. Para pemodal berbeda-beda di tiap lokasi, begitu pula dengan jumlah dana yang mereka gelontorkan. Namun, menurut Aditya, modal itu diperhitungkan akan kembali dalam waktu tiga tahun.

Di luar biaya sewa tempat, para pendiri Rumah Yoga di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, mengaku menghabiskan Rp 200 juta untuk pernak-pernik interior saja. Jumlah itu belum termasuk dana untuk membeli beberapa peralatan yoga dan pijat. ”Kami memang ingin tempat ini terasa nyaman bagi pelanggan,” ujar Anita, salah satu pemiliknya. Setelah berjalan empat tahun, pengembalian modal masih terus berlangsung.

Spa yang berlokasi di rumah toko alias ruko tak mau ketinggalan. Jenis ini bahkan terhitung paling banyak jumlahnya, kendati kerap terdengar suara miring bahwa mereka berfungsi sebagai ”spa plus-plus”. Untuk kelas ini biaya yang dibutuhkan tak sampai angka miliaran. Cukup separuh atau sepertiganya saja. Tentu keuntungannya pun tak sedahsyat mereka yang ada di atasnya.

Semua itu membuat spa jadi renyah dan siapa pun bisa menikmatinya. Si pelanggan jadi cantik dan segar lantaran bergelimang lulur, si pemilik jadi makmur karena bermandi duit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus