Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berharap pada Sepuluh Perintah

Sejumlah kebijakan diambil untuk menghadapi dampak krisis. Perlu langkah konkret.

13 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Berharap pada Sepuluh Perintah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TANGAN-tangan mungil 12 anak itu tak ada yang luput dari genggaman Susilo Bambang Yudhoyono. Senyum mengembang sang Presiden menyapa setiap pemeran film Laskar Pelangi tersebut. Ucapan selamat disampaikan kepada sutradara Riri Riza dan sejumlah pendukung produk sinematografi itu. ”Saya sangat mengapresiasi pertunjukan ini,” kata Yudhoyono setelah menonton film berdurasi sekitar dua jam tersebut di Auditorium I Blitz Megaplex Grand Indonesia, Rabu malam pekan lalu.

Sayang, obrolan yang mengharukan itu tak berlangsung lama. Presiden harus segera meluncur ke Istana. Ia sudah telat setengah jam dari jadwal yang direncanakan. Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Koordinator Perekonomian dan Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah, serta beberapa pembantunya di kabinet sudah menanti. Malam itu ia harus memimpin rapat terbatas membahas imbas krisis Amerika.

Siang harinya, reaksi masyarakat atas gejolak keuangan di negara Abang Sam memang makin tak terkendali. Bursa Efek Indonesia mendapat guncangan paling keras ketika indeks harga saham gabungan terjerembap dari level 1.619,669 ke posisi 1.451,669. Erry pun terpaksa menutup pasar agar harga tak terus ambles. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang tengah berada di Dubai menghadiri pertemuan menteri keuangan se-Asia juga dipanggil pulang.

Rapat malam itu hanyalah satu dari banyak pertemuan yang digelar sepanjang pekan lalu. Diawali pada akhir pekan lalu, begitu Kongres Amerika menyetujui kucuran dana talangan US$ 700 miliar kepada lembaga-lembaga keuangan yang rontok pada Sabtu, sehari kemudian Sri Mulyani mengumpulkan menteri-menteri ekonomi dan Gubernur Bank Indonesia. Sore harinya, hasil pembahasan dilaporkan ke Yudhoyono di kediamannya di Cikeas, Bogor, untuk dirumuskan menjadi satu paket kebijakan.

Sebenarnya, sebagian isi paket itu sudah digodok oleh Forum Stabilisasi Sektor Keuangan, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia. Beberapa kali pertemuan diadakan ketika krisis Amerika makin banyak memakan korban. ”Kami sudah membuat sejumlah skenario dan sebagian sudah disimulasikan,” kata Ketua Forum Raden Pardede. Namun krisis tampaknya berlari sangat kencang, sehingga pemerintah mesti bergegas.

Senin siang, Presiden pun mengundang para menteri, para pejabat Bank Indonesia, juga sejumlah bankir, pengusaha, ekonom, dan pemimpin media massa. Sekitar 150 undangan tumplek blek di ruang rapat utama gedung Sekretariat Negara hadir dalam pertemuan itu. Presiden menjelaskan kebijakan yang akan diambil. Lalu keluarlah sepuluh langkah bertahan dari serangan krisis, di antaranya meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, mengembangkan pasar perdagangan, dan melancarkan likuiditas perbankan (lihat tabel).

Presiden yakin kuda-kuda ini bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menyelamatkan Indonesia dari tendangan krisis yang dipicu kredit perumahan kelas ”kambing” yang bermasalah itu. Keyakinannya ia landaskan pada fundamental ekonomi yang kuat, seperti defisit anggaran di bawah dua persen, rasio kecukupan modal bank di atas 15 persen, kredit bermasalah hanya 3,54 persen, dan situasi politik stabil. ”Kita tidak seharusnya panik,” kata Yudhoyono.

Tak berhenti di situ, hari berikutnya Yudhoyono kembali mengumpulkan sejumlah pelaku usaha. Wajah-wajah yang terlihat antara lain Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia M.S. Hidayat, Direktur Utama PT Bank Mandiri Agus Martowardojo, pengusaha James Riady, Rachmat Gobel, Tomy Winata, dan Siswono Yudohusodo. Pesan Presiden tetap sama: optimisme menghadang krisis. Tapi rupanya pasar tak bersahabat. Rupiah pun tumbang pada Jumat pekan lalu ke angka Rp 9.860 per dolar Amerika.

Pengamat ekonomi dari International Center for Applied Finance and Economics, Iman Sugema, menilai semua yang diucapkan Presiden Yudhoyono barulah sebatas pernyataan normatif yang harus dijabarkan dalam tindakan praktis. Menurut dia, krisis ini sangat dinamis. Perubahan terjadi setiap saat dan berkejar-kejaran dengan kebijakan pemerintah. Tak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Ia meyakini belum ada yang bisa memperkirakan ke arah mana krisis ini bergerak.

Menurut Iman, yang perlu dikhawatirkan adalah larinya modal ke luar (capital outflow). Saat ini semua lembaga keuangan Amerika dan Eropa sedang memburu dana segar karena likuiditas di kawasan itu mengering. Maka pilihan gampang dan murah adalah melego aset atau investasi di negara berkembang. Celakanya, kata Iman, sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia dikuasai asing. ”Jadi, walau fundamental suatu negara bagus, hal itu bisa tak menjadi ukuran,” katanya.

Untuk itu, kata Iman, tugas utama pemerintah adalah menjaga agar jangan sampai terjadi aliran dana keluar secara besar-besaran. Namun, kata dia, bila keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan 25 basis point menjadi 9,5 persen ditujukan untuk menahan modal asing, tidaklah tepat. Pun bila dimaksudkan untuk meredam inflasi, karena sumber melemahnya nilai rupiah terhadap barang itu lebih dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas dunia.

Pandangan berbeda disampaikan Pande Radja Silalahi. Ekonom dari Centre for Strategic and International Studies itu menilai langkah Bank Indonesia sudah tepat. Inflasi tahunan yang melewati 12 persen perlu diimbangi dengan kenaikan suku bunga. Bila tidak, nilai rupiah di brankas bank makin tak berarti.

Walau bunga makin tinggi, ia melihat tetap ada ruang bagi pengusaha untuk bernapas. Yang penting adalah segera menghancurkan hambatan di sektor riil. Ia mencontohkan infrastruktur yang tak kunjung beres, birokrasi yang bertele-tele, regulasi yang tumpang-tindih, dan penegakan hukum yang belum optimal. ”Sebetulnya langkah Presiden sudah on the track,” kata Pande.

Mendapat sentilan sana-sini, Presiden Yudhoyono berjanji segera mempercepat gerak sektor riil dan membuat instrumen-instrumen untuk memperkuat makroekonomi. Wakil Presiden pun langsung mengambil bola. Setidaknya dua kali Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas dengan beberapa menteri ekonomi di kantornya. Salah satu keputusannya adalah mempercepat penyerapan anggaran belanja negara yang masih minim. Maklum, di ujung tahun anggaran 2008 ini dana yang diserap masih di bawah dua pertiga dari total belanja sekitar Rp 980 triliun.

Ia pun menitahkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur direvisi. Juga terhadap Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. ”Wakil Presiden menginginkan pada akhir tahun ini penyerapan anggaran optimal,” kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta.

Tak menunggu lama, sebuah surat edaran dibuat Paskah. Kepada pemimpin departemen dan lembaga pemerintah lainnya, Paskah mengingatkan tender pengadaan barang dan jasa bisa dilaksanakan tanpa harus menunggu disahkannya daftar isian pelaksanaan anggaran pada 1 Januari nanti. Waktu pelaksanaan tender juga dipercepat menjadi 18 hari, biasanya tiga bulan. Selain itu, pengadaan barang diusahakan semaksimal mungkin mengutamakan produk dalam negeri.

Menurut Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Barang dan Jasa Pemerintah Agus Rahardjo, instansi pemerintah memang harus sering diingatkan. Saat ini, yang rajin mengajukan anggaran belanja jauh-jauh hari barulah Departemen Pekerjaan Umum. Ini, kata Agus, tidak terjadi di departemen yang lain. Maka ia tak heran bila penyerapan anggaran masih minim.

Paskah pun mengakui ini merupakan pekerjaan yang amat berat. Anggaran pengadaan barang dan jasa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 mencapai Rp 286 triliun. Dari jumlah itu, yang belum terpakai masih sekitar Rp 100 triliun. Uang sebesar itu harus dicairkan dalam tiga bulan terakhir tahun ini. ”Setelah aturan pengadaan barang dan jasa diperbaiki, insya Allah bisa terserap,” kata Paskah.

Persoalannya, kata Pande, kebijakan pemerintah itu jangan sampai berhenti pada rencana. Bila tidak segera dilaksanakan, program sebagus apa pun bisa berantakan dalam menahan krisis. ”Eksekusi, itu problemnya,” ujarnya. Iman menambahkan, semua yang diucapkan Presiden adalah barang usang yang sudah lama terkatung-katung. ”Kita masih punya waktu untuk itu, jangan disia-siakan,” kata Iman.

Muchamad Nafi, Anton Aprianto

Jurus-jurus Itu

Anggaran/Keuangan

  • Memperkuat jaringan pengaman sosial dengan memperpanjang bantuan langsung tunai menjadi enam bulan.
  • Mengubah skenario pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 dari utang ke nonutang.
  • Menarik dolar milik perusahaan negara di luar negeri.

Regulasi

  • Merevisi Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur.
  • Merevisi Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa.
  • Menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengantisipasi krisis keuangan dan perekonomian global.

Sektor Riil

  • Insentif untuk industri elektronik: penghapusan pajak penjualan barang mewah untuk produk tertentu, bea masuk ditanggung pemerintah atas impor barang dan bahan untuk pembuatan komponen, serta pembebasan pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan di daerah-daerah tertentu sebesar 30 persen selama tiga tahun.
  • Menghidupkan kembali program kredit usaha kecil menengah, mengamankan produk domestik, serta memudahkan akses pemasaran ke luar negeri.
  • Menyalurkan Rp 66 miliar untuk kegiatan promosi ekspor dan pameran di 15 negara, memperkuat pasar di Cina dan India.
  • Mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri. Disyaratkan dalam tender pengadaan barang dan jasa.

Bursa

  • Penghapusan nilai wajar efektif ditentukan dari nilai pasar untuk surat utang yang dimiliki perbankan.
  • Pelonggaran aturan yang terkait dengan pembelian balik saham di bursa.
  • Penambahan likuiditas melalui belanja kementerian dan lembaga.
  • Pembelian kembali saham badan usaha milik negara yang terkoreksi tajam.
  • Penegakan hukum oleh otoritas pasar modal terhadap pelaku pasar yang melanggar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus