Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASUK sepuluh besar bursa berkinerja terbaik di dunia versi majalah Fortune dua tahun lalu tidak membuat Bursa Efek Indonesia otomatis kukuh menahan guncangan. Sama-sama terkulai seperti bursa efek di belahan bumi lain, indeks harga saham gabungan di lantai bursa Jakarta justru yang paling kelojotan. Rabu pekan lalu, akibat terimbas krisis keuangan dunia, otoritas Bursa Efek Indonesia menyetop perdagangan. ”Pasar tidak rasional,” kata Erry Firmansyah, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, memberikan alasan.
Otoritas bursa menghentikan transaksi karena hari itu indeks terjun bebas 10,38 persen hingga ke posisi 1.451,669—terendah sejak September 2006. Padahal nilai perdagangannya cuma Rp 952 miliar. Bila ditotal selama tiga hari terakhir sebelum bursa ditutup, indeks sudah ambruk 22 persen. Inilah penurunan mingguan terbesar dalam 25 tahun terakhir.
Padahal, 9 Januari lalu, indeks sempat menyentuh 2.830. Tapi krisis kredit hipotek perumahan Amerika Serikat yang mencuat sejak pertengahan tahun lalu kian akut. Dari jantung kapitalisme di negara dengan size ekonomi terbesar di dunia itu, gelombang kejutnya menggerogoti berbagai bursa di Eropa dan Asia—hingga terasa ke lantai bursa di kawasan Sudirman, Jakarta.
Keriuhan itu menjalar karena kerugian lembaga keuangan perbankan dan institusi keuangan nonbank menembus US$ 1,4 triliun (sekitar Rp 13 ribu triliun). Bukan tidak mungkin jumlahnya bakal naik lagi karena total kapitalisasi surat utang di pasar perumahan itu, menurut Mortgage Bankers Association di Washington, mencapai US$ 6 triliun (Rp 58.800 triliun).
Upaya The Fed, sebutan buat bank sentral Amerika, berkali-kali menurunkan suku bunga dari 5,25 persen sejak pertengahan tahun lalu hingga 1,5 persen pada pekan lalu tidak bisa meredam kekhawatiran akan ancaman resesi Amerika. Paket penyelamatan ekonomi Amerika senilai US$ 700 miliar yang sudah diteken Presiden George Walker Bush pekan sebelumnya pun tak berdampak seperti diperkirakan semula.
Yang terjadi, kepanikan masih terus membayangi pelaku pasar. Karena butuh dana segar demi menutup kerugian, para investor menjual portofolio mereka yang ditanam di beberapa negara, termasuk Indonesia. Indeks di berbagai penjuru dunia pun berguguran. Perdagangan saham di Wall Street mencatat kerugian US$ 8,33 triliun sejak akhir tahun lalu.
Sejak Januari hingga Oktober, bursa Indonesia juga menurun. Puncaknya Rabu pekan lalu. Tapi ekonom Bank Danamon, Anton Gunawan, mensinyalir, yang terjadi sepanjang pekan lalu itu lebih karena kepanikan investor lokal. Dugaan Anton bisa jadi benar. Direktur Pencatatan Bursa Efek Indonesia Eddy Sugito mengatakan efek domino krisis dunia itu diperparah aksi short selling di Jakarta.
Short selling adalah strategi investor yang meminjam saham dari investor lain. Saham tersebut dijual saat harga tinggi dan dibeli kembali saat harga turun, setelah itu dikembalikan kepada pemiliknya. Bila dilakukan dalam jumlah besar, aksi itu berpotensi menekan indeks.
Akibat gonjang-ganjing tersebut, Erry Firmansyah sibuk seharian. Ia mengadakan pertemuan dengan anggota bursa membahas pemberlakuan suspensi. Bertemu dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Puncaknya, ia ikut rapat terbatas dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Presiden menjelang tengah malam.
Ambruknya pasar modal itu juga memaksa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pulang lebih awal dari acara ASEAN Finance Minister Meeting di Dubai, Uni Emirat Arab. Dari hasil pertemuan hingga dini hari itu, Presiden Yudhoyono memerintahkan perusahaan negara membeli kembali sahamnya di bursa. Rapat juga memutuskan bahwa perdagangan bursa belum akan dibuka. ”Kita harus melihat situasi,” kata Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil.
Setelah dua hari ditutup, otoritas bursa berikhtiar membuka kembali perdagangan saham pada Jumat. Menurut Sri Mulyani, perdagangan itu siap dikawal oleh pemerintah. Sebab, ditengarai luruhnya indeks tidak hanya dipengaruhi oleh sentimen global. ”Ada juga faktor yang tidak wajar,” Sri Mulyani menegaskan.
Selain ada investor yang mengambil kesempatan dengan cara short selling, Sri mengatakan, ada pihak yang mengembuskan rumor bahwa Grup Bakrie gagal bayar. Siapa biang keroknya, akan diamati selama transaksi tiga bulan terakhir.
Gara-gara rumor pula, perdagangan bursa pada Jumat urung dibuka. Menurut Erry, banyak broker yang meminta suspensi diperpanjang. Mereka khawatir indeks kembali tergerus karena ada beberapa isu yang meresahkan. Salah satunya soal 30 hingga 40 broker yang dinyatakan bangkrut. ”Kami akan mengusut penyebar isu itu,” katanya.
Lalu kapan perdagangan saham kembali akan dibuka, Sri Mulyani belum bisa memastikan. ”Saya bukan ahli nujum,” ujarnya. Dia membantah jika dikatakan pemerintah panik menghadapi kejatuhan bursa.
NAMUN kepanikan plus aksi ambil profit sudah merangsek pasar uang. Pada Jumat pekan lalu, nilai tukar rupiah pada perdagangan antarbank diperjualbelikan di kisaran Rp 10.300 per dolar Amerika. Adapun di perdagangan valuta asing, rupiah terkulai hingga 270 poin ke level Rp 9.860.
Menurut pengamat pasar uang Farial Anwar, lemahnya rupiah disebabkan oleh banyaknya pelaku pasar yang memborong dolar. ”Mereka butuh dolar dalam bentuk tunai untuk menutup kerugian,” katanya. Dana segar itu diperoleh dari hasil penjualan portofolio saham, surat utang, ataupun yang ditempatkan di Sertifikat Bank Indonesia. Langkah itu ditempuh karena sulit mendapatkan pinjaman dari bank di tengah kekeringan likuiditas dolar seperti saat ini.
Demi menyelamatkan perusahaannya agar tak bangkrut, mereka menjual apa yang bisa dijual. Rupiah yang didapat dari hasil penjualan itu kemudian dibelikan dolar. Inilah yang memicu nilai mata uang negara adidaya itu naik. Situasi ini diperparah oleh permainan spekulan untuk memanfaatkan nilai tukar.
Edwin Sinaga, Direktur Utama PT Finan Corpindo, mengatakan melemahnya nilai tukar rupiah juga dipicu oleh tingginya kepanikan pasar. Pelaku pasar terus memburu dolar meski Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuan dan mengguyur cadangan dolarnya untuk mengurangi tekanan pada rupiah.
Menurut Fauzi Ichsan, Senior Economist & Head of Government Relations Standard Chartered Bank, bila rupiah terus-terusan jeblok, investor asing bisa menjual surat utang negara yang mereka pegang. Penjualan itu yang pasti dibelikan dolar sehingga rupiah kian terpuruk. Sebagai catatan, persentase kepemilikan asing di surat utang negara per Agustus lalu 19,6 persen atau Rp 104,7 triliun, sedangkan di Sertifikat Bank Indonesia ada Rp 65,6 triliun atau 37,5 persen total dana.
Farial menilai potensi hengkangnya dana asing dari Indonesia itu tidak seimbang dengan nilai cadangan devisa Indonesia yang ”cuma” US$ 57,1 miliar. Cadangan itu juga tidak bisa seluruhnya dimanfaatkan untuk mengintervensi nilai tukar rupiah, tapi untuk mengimpor barang dalam beberapa bulan ke depan dan membayar pinjaman luar negeri.
Untuk menepis kekhawatiran itu, Bank Indonesia memastikan akan tetap berada di pasar guna menstabilkan pergerakan rupiah. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom mengatakan cadangan devisa US$ 57,1 miliar itu masih cukup untuk impor empat setengah bulan dan membayar utang pemerintah.
Tak cuma itu. Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi E. Sarwono, Indonesia juga siap memanfaatkan fasilitas Bilateral Swap Arrangement (BSA) ASEAN plus Jepang, Cina, dan Korea senilai US$ 12 miliar. Dana itu untuk memperkuat cadangan devisa menghadapi gejolak finansial. ”BSA itu secara prinsip sudah ditandatangani,” katanya.
Sikap optimistis juga ditunjukkan Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto. Menurut dia, kondisi pasar surat utang masih fit. Kalaupun porsi kepemilikannya menurun, biasanya investor asing akan kembali dalam waktu singkat.
Itu sebabnya, dia yakin investor asing tidak akan ramai-ramai melepas surat utang. Apalagi bila bank sentral Amerika menurunkan suku bunga, yang menyebabkan selisih imbal hasil antara surat utang di sini dan di sana kian lebar. ”Yang perlu dijaga adalah stabilitas nilai tukar rupiah karena itu menentukan minat investor asing,” katanya.
Salah satu caranya, kata Fauzi Ichsan, dengan menaikkan suku bunga. Untuk kasus Indonesia, dengan inflasi tahunan yang masih tinggi (12,14 persen) dan rupiah di bawah tekanan, Bank Indonesia tidak mungkin terus-menerus melakukan intervensi. ”Cadangan devisa bisa terkuras,” katanya. Apalagi intervensi yang dilakukan Bank Indonesia selama 3-4 bulan terakhir ditaksir menelan lebih dari US$ 10 miliar.
Bila rupiah stabil, daya beli masyarakat bisa dipertahankan. Dampak resesi Amerika terhadap Indonesia pun akan terbatas. Sebab, daya beli ini hampir 70 persen menggerakkan produk domestik bruto. Masalahnya, tidak ada yang tahu pasti kapan krisis Amerika ini akan berakhir.
Untungnya, menurut Fauzi, daya tahan fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. ”Karena ketergantungan ekspor ke Amerika relatif kecil ketimbang negara lain,” ujarnya. Menteri Perdagangan Mari Pangestu mengatakan ekspor ke Amerika hanya 13 persen dari total ekspor Indonesia. Dan, kalaupun ekspor Indonesia terpukul, imbasnya tak akan sedahsyat bila konsumsi domestik yang terpangkas. Sebab, ekspor hanya menyumbang delapan persen produk domestik bruto.
Menteri Mari menambahkan, pemerintah sudah merevisi angka pertumbuhan ekspor dari 13,5 persen menjadi 12,5 persen. ”Angka itu merupakan batas minimum pertumbuhan ekspor hingga akhir tahun,” ujarnya. Ia yakin target itu bakal tercapai meski nilai ekspor Agustus turun 0,4 persen. Sebab, nilai ekspor Januari-Agustus meningkat 29,9 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Untuk menjaga agar neraca transaksi berjalan (current account) tetap surplus, Anton Gunawan menyarankan agar impor belanja barang ditekan. Caranya dengan mengoptimalkan belanja modal atau pengadaan barang dari pasar domestik. Langkah ini untuk mengurangi aliran dolar yang keluar dari Indonesia, sekaligus menggarap permintaan dalam negeri. Hal itu sangat perlu dilakukan di tengah likuiditas dolar yang lagi seret-seretnya.
Menurut Anton, kalaupun dolar tersedia, pasti akan tersedot ke Amerika. Selain untuk menyelamatkan perekonomian negeri itu, dolar yang masuk ke sana digunakan untuk membeli aset-aset berharga murah. Bank internasional juga enggan memberikan pinjaman dolar ke bank lain. Bank Eropa dan Asia kelimpungan memperoleh dolar.
Situasi itu menyulitkan para pengusaha Indonesia mendapatkan pembiayaan dari luar. Laju investasi, belanja modal untuk impor bahan baku dan modal bakal tersendat. Proyek-proyek terpaksa dibiayai dari rupiah. Tapi mendapatkan kredit rupiah juga bukan perkara mudah karena likuiditas di dalam negeri pun mengering. Perlambatan ekonomi akan terjadi.
Fauzi memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini turun menjadi enam persen. Itu pun dengan catatan, pekerjaan rumah, seperti penyerapan anggaran di pusat dan daerah, dipercepat. Hingga saat ini, penyerapan anggaran masih sekitar dua pertiganya. Dengan demikian, dampak negatif dari resesi Amerika dan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat bisa diperkecil dari stimulus fiskal.
Krisis finansial global ini sendiri baru akan reda paling tidak dua tahun. ”Puncaknya di Amerika baru tahun depan,” kata Anton. Restrukturisasi perbankan di Amerika itu juga makan waktu. Kalaupun berhasil, dampaknya baru terasa setelah satu tahun. Selama proses itu, pertumbuhan ekonomi dunia melambat. ”Bahkan lebih melamban lagi tahun depan dan baru membaik pada 2010,” kata Fauzi.
Beruntung risiko utang luar negeri pemerintah dan swasta sudah tak separah dulu. Total utang tahun ini, kata Fauzi, sekitar 30 persen terhadap produk domestik bruto. Bandingkan dengan saat krisis besar 1997, yang menembus 120 persen terhadap produk domestik bruto. Saat itu sektor korporasi banyak mengeluarkan surat utang jangka pendek untuk membiayai surat utang jangka panjang. Adapun korporasi Indonesia sekarang jauh lebih prudent.
Kondisi Indonesia juga berbeda dengan Singapura yang sudah menyatakan terbelit krisis. Menurut Edwin Sinaga, Negeri Singa itu terimbas langsung karena menjadi salah satu basis investasi Amerika di Asia. Sementara itu, situasi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh faktor kepanikan.
Itu sebabnya, Anton menyarankan agar kepercayaan sentimen pasar dijaga oleh pemerintah. ”Kuncinya, bagaimana pemerintah mengatasi ekspektasi ke depan,” katanya. Sebab, kalau salah mengambil langkah, bisa membuat situasi makin susah. Meminjam istilah Fauzi, apa yang bisa diperbuat pemerintah dan Bank Indonesia hanyalah mengurangi dampak negatif dari krisis global, tapi tidak bisa mengubah faktor global itu sendiri.
Yandhrie Arvian, Bunga Manggiasih, Gunanto E.S., Ari Astri Yunita, Eko Nopiansyah
2007
April
Perusahaan pembiayaan kredit perumahan New Century Financial bangkrut.
28 Agustus
Sachsen Landesbank di Jerman kolaps akibat investasi di kredit perumahan.
3 September
Lembaga keuangan Jerman, IKB, mengaku investasinya di subprime mortgage amblas hingga US$ 1 miliar.
17 Februari
Inggris menasionalisasi Northern Rock.
2008
17 Maret
Bear Stearns kolaps dan dibeli JP Morgan Chase dengan jaminan pemerintah Amerika senilai US$ 30 miliar.
5 September
Fannie Mae dan Freddie Mac diambil alih pemerintah Amerika.
15 September
Lehman Brothers bangkrut.
16 September
Fed suntik AIG US$ 85 miliar.
25 September
Washington Mutual kolaps dan dibeli JP Morgan.
29 September
Pemerintah Inggris mengambil alih Bradford & Bingley.
30 September
Prancis, Belgia, Luksemburg bergotong-royong menyelamatkan Dexia.
3 Oktober
Kongres Amerika meloloskan program talangan US$ 700 miliar.
6 Oktober
Jerman mengucurkan US$ 68 miliar untuk menopang Hypo Real Estate.
8 Oktober
Inggris menyiapkan dana talangan 50 miliar pound sterling (US$ 87 miliar).
10 Oktober
Indeks bursa kembali berguguran.
Sebelas bank sentral menurunkan suku bunga mereka.
Bursa Efek Indonesia dan Rusia ditutup sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo