Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Dituntut 8 Tahun
MANTAN Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dituntut hukuman delapan tahun penjara. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Rudi Margono, juga menuntut terdakwa perkara korupsi Rp 100 miliar dana Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia itu membayar denda Rp 500 juta atau pengganti enam bulan kurungan.
Perbuatan Burhanuddin, kata Rudi, dilakukan secara bersama-sama dengan para deputi Gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Tantowi Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. ”Meskipun perannya berbeda-beda,” ujar Rudi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis pekan lalu.
Keputusan penggunaan uang yayasan itu diambil dalam rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003. Dari Rp 100 miliar, Rp 68,5 miliar dipakai untuk dana bantuan hukum bagi lima mantan pejabat Bank Indonesia, yaitu Sudradjad Djiwandono, Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, Iwan R. Prawiranata, dan Heru Supraptomo. Sisanya dialirkan ke anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat.
Mohammad Assegaf, pengacara Burhanuddin, menyatakan tuntutan jaksa sangat berlebihan. Alasannya, penggunaan dana yayasan diputuskan secara kolektif.
Data Aliran Cek Bukan Alat Bukti
KOMISI Pemberantasan Korupsi menyatakan tak bisa menjadikan data 480 cek perjalanan hasil penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai alat bukti. Cek ini diduga ditebarkan ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada Juni 2004.
Menurut Ketua Komisi, Antasari Azhar, data Pusat Pelaporan bersifat rahasia sehingga tak bisa diajukan ke pengadilan. ”Jika data itu disebarluaskan, dapat dikenakan hukuman pidana,” ujar Antasari.
Indonesia Corruption Watch mendesak Komisi segera memanggil nama-nama yang diduga menerima cek pelawat itu. Menurut Ibrahim Fahmi Badoh, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, data dari Pusat Pelaporan sudah cukup untuk segera ditindaklanjuti.
Komisi telah meminta keterangan para anggota Komisi Perbankan Dewan periode 1999-2004, seperti Agus Condro, Emir Moeis, dan Max Moein. Pekan lalu, Komisi juga meminta keterangan Nunun Nurbaetie, istri mantan Wakil Kepala Kepolisian Indonesia Adang Daradjatun, yang diduga mengetahui ihwal aliran dana tersebut.
Jaksa Penerima Dana BI Diusut
KEJAKSAAN Agung menyelidiki jaksa yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Beberapa jaksa diduga menikmati Rp 68,5 miliar dana yang dikucurkan dari Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia.
Penyelidikan dilakukan setelah muncul pengakuan Antony Zeidra Abidin, terdakwa aliran dana Bank Indonesia, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Selasa pekan lalu. Antony mengaku mendengar dari Kepala Biro Hukum Bank Indonesia Oey Hoey Tiong bahwa dana Rp 68,5 miliar dikucurkan atas desakan para jaksa yang menangani kasus dengan tersangka Sudradjad Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia.
Antony memberikan keterangan dengan menunjukkan rekaman percakapan dengan Oey dalam sidang. ”Dialog itu memang benar,” ujar Oey Hoey Tiong saat ditanyai ketua majelis hakim Mansyurdin Chaniago. Menurut pengakuan Oey ketika itu, miliaran rupiah dana tersebut harus disediakan untuk ”menyelamatkan” para mantan petinggi Bank Indonesia yang dianggap terlibat skandal pengucuran dana Bantuan Likuiditas.
Jabatan Gubernur Yogya Diperpanjang
PRESIDEN memperpanjang masa jabatan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta selama tiga tahun. Keputusan Presiden dikeluarkan Selasa pekan lalu, dua hari sebelum kepemimpinan mereka pada periode 2003-2008 berakhir.
Masa jabatan Sultan diperpanjang untuk menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pembahasan akan ditentukan apakah Gubernur Yogyakarta dipilih langsung oleh rakyat seperti daerah lain atau otomatis dijabat keluarga Sultan. ”Tugas saya mengawal Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta,” kata Sultan.
Sultan menyatakan tak khawatir perpanjangan masa jabatan bakal menghalangi pencalonannya sebagai presiden pada 2009. Rabu pekan lalu, Sentral Organisasi Karya Swadiri Indonesia, organisasi sayap Partai Golkar, mengusulkan sang Raja sebagai calon presiden.
Jimly Asshiddiqie Mundur
JIMLY Asshiddiqie mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi. Meski surat permintaannya diajukan pekan lalu, pengunduran diri baru akan dilakukan akhir bulan depan, menunggu Dewan Perwakilan Rakyat memilih penggantinya.
Jimly telah menyampaikan pengunduran diri itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat datang ke Istana bersama Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., Selasa pekan lalu. ”Saya merasa cukup melaksanakan tugas selama lima tahun terakhir,” katanya.
Ketika dimintai konfirmasi apakah langkahnya itu berkaitan dengan rencana maju menjadi calon presiden dari Partai Keadilan Sejahtera, Jimly tidak secara tegas menjawab. Ia mengatakan pencalonan presiden dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. ”Sekarang belum diketahui partai yang memenuhi syarat,” tuturnya.
Mahkamah Konstitusi terdiri atas sembilan hakim, dari pilihan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung. Jimly menjadi hakim konstitusi berdasarkan pilihan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini merupakan periode keduanya, setelah ia menjadi ketua selama 2003-2008. Pada pemilihan ketua yang baru, bulan lalu, ia dikalahkan Mahfud.
Kasus Ginandjar Ditutup
KEJAKSAAN Agung berencana menghentikan pengusutan kasus Balongan yang melibatkan bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. ”Kasusnya sudah kedaluwarsa,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy di kantornya, Rabu pekan lalu. ”Buat apa kami menggantung nasib orang?”
Kejaksaan beralasan, kasus dugaan korupsi Export Oriented Refinery I Pertamina di Balongan itu terjadi pada 1988. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, masa kedaluwarsa perkara dengan ancaman hukuman seumur hidup atau hukuman mati adalah 18 tahun. Sedangkan umur kasus Exxor ini sudah lewat tenggat itu. ”Ini sudah tahun berapa?” kata Marwan. Pengusutan terkendala peradilan koneksitas karena status Ginandjar sebagai perwira aktif ketika kasus itu terjadi, sedangkan surat dari Panglima Tentara Nasional Indonesia belum pernah turun hingga saat ini.
Indonesian Corruption Watch menentang rencana ini. ”Tidak ada iktikad baik dari Kejaksaan untuk menyelesaikan,” kata Emerson Yuntho, anggota badan pekerja lembaga itu. Jika ada kendala pengusutan karena status Ginandjar yang perwira aktif saat itu, seharusnya Kejaksaan melapor ke Presiden. ”Jadi kejanggalan ini harus dijelaskan ke publik.”
Ramli Lubis Masuk Bui
PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis empat tahun penjara kepada Wakil Wali Kota Medan Ramli Lubis. Hakim mengatakan Ramli terbukti menggelembungkan biaya pembelian mobil pemadam kebakaran yang merugikan negara Rp 50,59 miliar.
Ketua majelis hakim Sutiyono mengatakan Ramli diwajibkan mengganti uang negara yang dipakainya Rp 6,19 miliar. Selain itu, ia diwajibkan membayar Rp 200 juta atau menjalani hukuman tambahan dua bulan penjara. ”Terdakwa terbukti melakukan korupsi,” katanya.
Atasan Ramli, Wali Kota Medan Abdillah, yang diadili terpisah sebelumnya, telah divonis lima tahun penjara. Keduanya terbukti menunjuk Hengky Samuel Daud untuk pengadaan mobil pemadam kebakaran merek Morita tipe MLF-430R. Padahal proyek ini tidak tercantum dalam anggaran daerah 2005. ”Dia menyepakati harga senilai Rp 11,94 miliar yang diajukan oleh rekanan penyedia barang,” ujar hakim.
Untuk menutupi pelanggaran hukum yang dilakukannya, Ramli, yang sebelumnya menjabat Sekretaris Daerah Kota Medan, membagi-bagikan Rp 32,45 miliar kepada kepala polisi, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, anggota Tentara Nasional Indonesia, wakil rakyat, kejaksaan negeri, partai politik, wartawan, dan organisasi sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo