Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS, Maple Height, sedikit di luar Cleveland, Ohio, seperti kebanyakan suburban tua di daerah industri Amerika bagian tengah. Ada deretan rumah bergaya kolonial yang dibangun sesudah Perang Dunia Kedua, jalan-jalan berpohon rindang, dan—tentu saja—mesin pemotong rumput di halaman. Tapi, dari dekat, kota itu tampak sedang sekarat.
Satu dari setiap 12 rumah di kota itu telah ditinggal penghuninya karena tak sanggup membayar hipotek. Jendela rumah kosong itu memang tak ditutup papan, karena peraturan kota melarangnya. Rumputnya juga masih terpelihara berkat tukang potong pemerintah. Tapi, seperti dilaporkan The Economist, kaca yang pecah, cat yang mengelupas, dan beranda yang tak terurus susah disembunyikan.
Kota itu sekarat gara-gara krisis keuangan yang sedang menyapu seantero Amerika. Membikin megap-megap sejak pertengahan tahun lalu, krisis ekonomi itu dipicu oleh kredit macet hipotek perumahan (subprime mortgage). Lalu krisis itu makin hebat sehingga menjadi masalah keuangan paling parah sejak Great Depression. Di bursa Wall Street saja, para raksasa keuangan dan nonkeuangan hingga pekan lalu sudah rugi US$ 1,4 triliun (sekitar Rp 13 ribu triliun).
Untuk mengatasinya, dua pekan lalu Kongres menyetujui kebijakan Bush menalangi kesulitan dana industri keuangan. Nilainya US$ 700 miliar (sekitar Rp 6.500 triliun). Selesaikah masalah? ”Dipastikan tidak,” kata Kenneth Rogoff, ekonom Harvard University dan mantan pemimpin ekonomi Dana Moneter Internasional, kepada Newsweek. ”Ini problem multitriliun dolar. Saya pikir krisis ini akan menghabiskan satu atau dua triliun dolar saat selesai.”
Bagi Direktur Global Strategic Finance Initiative Douglas Rediker dan Heidi Crebo-Rediker, krisis ekonomi semestinya tak perlu separah itu. Ini jika saja Bush tidak paranoid terhadap dana dari luar negeri. ”Banyak pakar berargumen sovereign wealth fund justru bisa menyelamatkan krisis di Amerika dan dunia,” tulis mereka dalam sebuah kolom di harian The New Republic yang terbit di Washington, DC, pekan lalu.
Memang, investor dari seluruh dunia sudah siap menyuntikkan dana segar dalam jumlah nyaris tak terbatas ke Amerika. Negeri ini bagaimanapun masih menarik untuk investasi. Lihat saja Global Competitiveness Index 2008 yang dilansir World Economic Forum pekan lalu. Amerika masih di peringkat pertama.
Sebagian investor itu berasal dari negara-negara kaya di Asia yang mempunyai uang berlebih dengan cadangan devisa melimpah. ”Macan-macan Asia itu juga relatif tak terkena krisis finansial saat ini,” ujar Michael Tjoajadi, Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia.
Sebagian dana lainnya dari Timur Tengah. Ini berkah dari lonjakan harga minyak dunia belakangan ini, yang memakmurkan jazirah itu. Marciano Herman, bankir investasi PT Danareksa Sekuritas, punya cerita soal ini.
Suatu kali ia bertemu dengan petinggi sebuah lembaga investasi pemerintah dari negeri petrodolar itu. Berceritalah sang syekh bahwa jualan minyak mentahnya sudah untung pada US$ 14 per barel. Nah, sekarang harga minyak mentah itu US$ 87 per barel, bahkan pernah menembus angka US$ 150 per barel. ”Bayangkan saja berapa banyak duit mereka sekarang,” ujar Marciano pekan lalu.
Di antara investor itu tersebutlah Abu Dhabi Investment Authority (Abu Dhabi), Temasek Holdings Singapura, dan Government of Singapore Investment Corporation (GIC) yang menyiapkan US$ 208-438 miliar. Ada pula Kuwait Investment Authority (US$ 213 miliar) hingga China Investment Corporation (US$ 200 miliar). ”Seharusnya,” kata Rediker, ”Amerika menerima ’bantuan dari teman’ asalkan diatur secara jelas.”
Tapi Bush punya alasan untuk takut. Ia tak yakin sovereign wealth fund semata-mata bermotif bisnis dan transparan. Bukan kali ini saja pemerintah Amerika paranoid. Pada 2005, misalnya, negeri adidaya ini menjegal upaya China Investment Corporation mengakuisisi Unocal, perusahaan energi asal California.
Kongres juga menekan Dubai Ports World milik Uni Emirat Arab agar melepas kembali lima pelabuhan di Amerika yang diakuisisinya pada 2006. Amerika bahkan bergerilya dalam Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Maju (G-7) akhir Oktober 2007 untuk mendesak Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia membuat aturan ketat agar sovereign wealth fund lebih transparan. Padahal, pada saat yang sama, sebagian ”darah segar” itu sudah mengalir ke negeri tersebut.
Dana segar itu dipakai untuk menyuntik Merrill Lynch, Citigroup, Morgan Stanley, UBS, hingga Barclays yang kala itu sudah limbung. Segera saja, orang asing di perusahaan-perusahaan Amerika tak melulu Pangeran Alwaleed bin Talal. Keponakan Raja Fahd dari Arab Saudi ini memang sudah sejak 1990-an menguasai saham Citigroup 4,7 persen.
Ada, misalnya, Abu Dhabi Investment yang menyuntikkan US$ 7,5 miliar (sekitar Rp 70 triliun) kepada Citigroup pada November 2007. Tentu saja tak ada ”makan siang” gratis. Bantuan untuk perusahaan yang rugi US$ 9,83 miliar (sekitar Rp 91 triliun) pada kuartal keempat 2007 itu diganjar imbalan lima persen saham.
Singapura juga sudah banyak mengucurkan uang. Selain GIC yang membeli saham UBS US$ 9,7 miliar, melalui Temasek pemerintah Negeri Singa itu menyuntik Barclays US$ 2 miliar. Melalui perusahaan yang sama, Singapura juga membeli saham Merrill Lynch US$ 4,4 miliar pada Desember lalu. Dana segar itu bisa sedikit mengurangi beban kerugian Merrill Lynch US$ 9,83 miliar pada kuartal keempat 2007.
Selain dari Temasek, Merrill Lynch mendapat ”darah segar” dari Korea Investment Corporation dan Kuwait Investment Authority yang membeli convertible preferred stock (surat utang yang bisa ditukar dengan saham) senilai US$ 6,6 miliar.
China Investment Corporation tak ketinggalan. Lembaga investasi milik pemerintah Cina ini membeli saham Morgan Stanley US$ 5 miliar akhir 2007. Adapun China Development Bank mendapatkan saham Barclays setelah menyuntikkan modal US$ 3 miliar.
Lembaga-lembaga keuangan Jepang, walau sedikit terlambat, ikut membeli aset-aset murah di Amerika dan Eropa. Pekan lalu Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. membeli 21 persen saham Morgan Stanley senilai US$ 9 miliar. Bank dari Negeri Matahari Terbit ini juga membeli 9,9 persen saham Aberdeen Asset Management Plc. senilai US$ 200 juta. Nomura Holdings, perusahaan broker terbesar di Jepang, juga mengakuisisi unit operasi Lehman Brothers Holdings di Asia, Eropa, dan Timur Tengah senilai US$ 225 juta.
Kendati manfaatnya diakui pemerintah Bush, kehadiran dana asing tetap saja tak disukai. Ketika memberikan testimoni di depan Kongres akhir November 2007, Wakil Menteri Keuangan Urusan Internasional David McCormick mengakui sovereign wealth fund ikut menggerakkan ekonomi Amerika. Tapi, kata dia, dana ini bisa membuat sektor finansial Amerika tak stabil. Amerika pun rapuh. McCormick lupa, tanpa dana asing, Amerika sudah babak-belur.
Padjar Iswara (Asian Wall Street Journal, AP, The New Republic)
Investasi perusahaan Asia di Amerika dan Eropa
Perusahaan | Investor | Nilai* |
UBS | GIC (Singapura) | 9,7 |
Morgan Stanley | Mitsubishi UFJ Financial (Jepang) | 9 |
Citigroup | GIC (Singapura) | 6,9 |
Morgan Stanley | China Investment Corp. (Cina) | 5,6 |
Standard Bank | Industrial & Commercial Bank of China | 5,5 |
Merrill Lynch | Temasek (Singapura) | 5 |
UnionBanCal | Mitsubishi UFJ Financial (Jepang) | 3,5 |
Blackstone | China Investment Corp. (Cina) | 3 |
Barclays | China Development Bank (Cina) | 3 |
Barclays | Temasek (Singapura) | 2 |
*US$ Miliar
Sumber: Asian Wall Street Journal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo