SALATIGA yang akhir-akhir ini terkenal sebagai kota PSSI-wan,
karena adanya "diklat sepakbola" di sana, kini sedang menunggu
penentuan nasib statusnya. Kota dengan luas 30 kilometer persegi
dengan penduduk 73.000 jiwa (catatan tahun 1975) di ketinggian
600 meter di permukaan laut itu sedang diteliti apakah akan
tetap sebagai kotamadya, digabung dengan Kabupaten Semarang atau
jadi kota administratif saja. Maka Salatiga sekarang cuma
diperintah seorang pejabat Walikota karena S. Sugiman baru saja
habis masa jabatannya lalu diminta menerukan tugas sementara.
Sebab menurut pejabat Walikota itu, "selama dalam penelitian,
Gubernur Jateng tak menghendaki pemilihan walikota".
Meski tak punya tempat tamasya yang bisa mengeduk uang seperti
Kopeng bagi tetangganya Kabupaten Semarang, Salatiga menurut
Sekwildanya Rujito SH, sedang sibuk meningkatkan tempat
pemandian Kalimantan sehingga luasnya jadi 50 x 20 m dan akan
bertingkat internasional dengan biaya Rp 57.660.000 di antaranya
Rp 10 juta bantuan Gubernur Suparjo. Memang Kopeng sering
dikaitkan dengan Salatiga, meski jelas tak memasukkan duit buat
kota terdiri 1 kecamatan dan 9 desa itu. Kolam renang itulah
tempat tamasya yang bisa mendatangkan duit nanti. Dan karena
Salatiga letaknya antara Semarang dan Sala dengan jalan raya
dipadati 6000 kendaraan umum Salatiga juga ketiban untung berupa
hasil retribusi terminal bis dan taksi serta pasar yang letaknya
berdekatan.
Dan memang hasil-hasil retribusi itulah sumber pendapatan
Salatiga. Retribusi pasar tahun kemarin (Januari sampai dengan
Nopember) terkumpul Rp 12.916.870, sedang retribusi terminal bis
dan taksi Rp 12.786.585 dan sebagainya sehingga total jenderai
Rp 38.284.807. Ini berarti kurane sedikit saja dari target yang
dikejar Rp 39.025.000. Yang tentu saja akan terlampaui bila
hasil retribusi liburan Desember telah dilaporkan oleh Pejabat
Walikota Sugiman. Itu semua tak termasuk hasil kolam renang yang
sedang ditingkatkan tadi.
Rumah Murah
Tak aneh bila Salatiga ternyata mampu membangun monumen
perjuangan dengan biaya Rp 2.500.000. Monumen berujud patung 3
pahlawan untuk mengenang Brigjen Anumerta Soediarto kelahiran
Demak, Laksamana Anumerta Jos Sudarso dan Marsekal Muda Udara
Anumerta Agustinus Adisoetjipto, kedua-duanya kelahiran
Salatiga. Cuma sayang tak tampak dari jalan raya utama. karena
terletak di depan kantor Walikota yang jauh dari jalan raya.
Ada kebolehan lain dari kota Salatiga selama di bawah Sugiman.
Yakni punya poyek pembangunan 30 rumah rakyat. Rumah
berukuran 6 x 9 m di atas tanah 15 x 20 meter dengan harga Kp
700.000 itu boleh dibeli dengan angsuran selama 7 bulan @ Rp
100.000. Proyek perumahan rakyat ini dimungkinkan berkat adanya
tanah seluas 21.000 meter persegi bekas milik De Canisius
Stichting (berkedudukan di Yogyakarta) yang telah dijadikan
tanah negara. Rumah-rumah ini semula dikerjakan DPU Kodya
Salatiga. Tapi ada keseretan. Karena para pengangsur kurang
mampu memenuhi kewajiban melunasinya sampai bulan Juni lalu.
Maka dimintalah pihak swasta PT Muriaco untuk campur tangan.
Inipun tersendat-sendat. Karena ternyata sang PT pun tak mampu
memenuhi janjinya menyelesaikan pembangunan rumah-rumah itu.
Meskipun harga rumah sudah dinaikkan jadi Rp 850.000. Tapi
akhirnya dengan susah payah DPU berhasil menyelesaikan 13
rumah,para calon sendiri menyelesaikan 9 rumah (baru 75%) dan
PT Muriaco Semarang sendiri cuma 8 rumah (baru selesai 70O).
Dan keadaan ini tentu saja mengundang "kericuhan" lain.
Misalnya, seperti lazimnya terjadi di mana-mana, calon pemilik
akan mengoper ke lain calon.
Tentu saja tak hanya itu. Sebagai tindak lanjut pernyataan DPRD
Kodya Salatiga 1 Januari 1972 yang menetapkan Salatiga sebagai
kota pariwisata dan pendidikan, Salatiga juga repot
menggali-gali potensi dan membina prasarananya. Udara kota yang
sejuk, terletak di persimpangan jalan ke kota-kota Semarang,
Sala, Magelang dan Yogyakarta, menyebabkan Salatiga berambisi
jadi kota pariwisata. Sedangkan adanya IKIP Kristen Satya
Wacana, IKIP Muhammadiyah dan IAIN Walisongo, 44 buah STK, 50
SD, 20 SMP dan sebuah Taman Tani milik Yayasan Katolik yang
mencetak kader petani dan peternak, diandalkan Salatiga buat
menunjang sebutan kota pendidikan. Lalu adanya pabrik tekstil
Dumatex dan menurut rencana akan dibangun satu lagi, Timatex,
yang bisa menyerap tenaga 1400 dan akan mulai berproduksi tahun
ini, membikin Salatiga tak malu-malu ingin disebut kota
industri. Alhasil semua itu agaknya cukup berarti untuk
diandalkan agar boleh tetap sebagai kotamadya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini