KOTA Pare-Pare ini dulu juga dikenal sebagai Kota Jantung niaga.
Setelah Ujung Pandang, Pare-Pare memang merupakan jantung
Sulawesi Selatan. Tapi itu dulu, ketika Sulawesi Selatan belum
telanjur pecah dalam lebih dari 20 daerah tingkat dua. Ketika
itu Pare-Pare masih ibu kota Kabupaten yang daerahnya kemudian
terpecah menjadi 4 wilayah tingkat dua. "Karena kita tidak punya
pedalaman, penghasilan kita ya cuma pajak-pajak dan pemasukan
pelabuhan itulah", kata Andi Akrab ketua DPR Pare-Pare.
Soal pajak memajak ini sudah tentu bukan jumlah uang untuk
pembangunan kota. Apa lagi bagi sebuah kotamadya yang pernah
dimanjakan dengan pembangunan hasil Lotlo. "Memelihara bangunan
yang dulu tegak oleh hasil lotto itu saja, sekarang susah",
kata seorang pengusaha di kota itu. Maka tinggal lagi pemasukan
pelabuhan yang kini memang makin maju itu. Hasil-hasil bumi dan
ternak dari pedalaman harus lewat Pare-Pare dalam perjalanan ke
luar pulau. Dan Walikota Pare-Pare tentu saja menarik pajak dari
situ. Yang sampai kini belum jelas pemasukannya adalah
merapatnya secara tetap kapal-kapal pesiar di pelabuhan
Pare-Pare dengan tujuan Tanah Toraja. "Buat sementara para
pemilik restoran itu yang menikmati", kata Djamain SH Hari staf
walikota.
Masih soal turis, keluhan berkisar di bidang hotel. Kota ini
sama sekali tidak punya hotel yang pantas. "Jangan bicara soal
AC dulu, deh", kata seorang pengusaha, "untuk penerangan saja
listrik kita di sini sangat tidak cukup". Walikota Pare-Pare
tidak menyangkal kenyataan ini. Andi Parawangsah, pamongpraja
karir yang menduduki kursi walikota itu bahkan nyaris pessimis
terhadap pengembangan kotanya akibat listrik yang amat tidak
menolong itu. Di Balai Kota Pare-Pare setiap saat bisa
didengarkan keluhan pejabat megenai listrik. Dan sasarannya
adalah SPS, perusahaan daerah yang memonopoli listrik untuk
Pare-Pare serta beberapa kota sekitarnya. "Bagaimana kita bisa
memainkan peranan Singapura ntuk daerah pedalaman jika listrik
seperti ini", kata mereka. "Banyak calon penanam modal untuk
industri ringan mengurungkan niatnya lantaran listrik itu", kata
Walikota Parawangsah.
Tapi pihak MPS bukannya tidak punya jawaban. Dengan amat lancar,
Andi Mappaiwa, kepala MPS Pare-Pare, menguraikan semua yang jadi
hulu-malang kegelapan itu. "Soal macam ini bukan cuma di sini,
tapi bahkan beberapa tempat di Jakarta lampunya seperti api
puntung rokok", katanya menerang jelaskan. Sembari mengeluhkan
alat-alat itu? peninggalan sebelum perang, Mappaiwa yang
mengakui bahwa Pare-Pare masih perlu tambahan 500 kilowatt, ada
pula melemparkan kesalahan pada langganan dan ABRI. "Tunggakan
mereka ikut mempersulit rehabilitasi peralatan", begitu ia
berkata. Mappaiwa ini juga membantah cerita mengenai keengganan
pihaknya menyerahkan perlistrikan Pare-Pare kepada PLN. "Ah, itu
kan permainan tingkat tinggi", kata seorang pejabat di Ujung
Pandang.
Maka sementara permainan itu berlangsung di atas, Pare-Pare
terus menanti dalam getap. Memang tidak semuanya suram, sebab
dari Jakarta sudah datang kepastian mengenai proyek air minum
yang segera dibangun oleh kontraktor asing. Cuma saja aliran air
bersih tentu akan lebih asyik jika ia memasuki rumah-rumah
dengan penerangan yang memadai, atau industri-industri ringan
yang bisa menghidupkan kota. Dalam keadaannya yang kurang pasti
itu, di Pare-Pare kini timbul harapan akan penciutan sejumlah
kabupaten yang kurang produktif. Sebelum itu terjadi, sejumlah
wilayah yang berbatasan dengan Pare-Pare sudah secara terbuka
menyatakan niatnya untuk bergabung. "Itu bukan permintaan kita
kemauan mereka sendiri, dan kita senang aja", kata Parawangsah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini