Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menanti cahaya pln

Listrik di kota pare-pare sangat memprihatinkan. mps, perusahaan daerah yang memonopoli listrik untuk pare-pare dan sekitarnya, membantah keengganannya bergabung dengan pln. (kt)

7 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA Pare-Pare ini dulu juga dikenal sebagai Kota Jantung niaga. Setelah Ujung Pandang, Pare-Pare memang merupakan jantung Sulawesi Selatan. Tapi itu dulu, ketika Sulawesi Selatan belum telanjur pecah dalam lebih dari 20 daerah tingkat dua. Ketika itu Pare-Pare masih ibu kota Kabupaten yang daerahnya kemudian terpecah menjadi 4 wilayah tingkat dua. "Karena kita tidak punya pedalaman, penghasilan kita ya cuma pajak-pajak dan pemasukan pelabuhan itulah", kata Andi Akrab ketua DPR Pare-Pare. Soal pajak memajak ini sudah tentu bukan jumlah uang untuk pembangunan kota. Apa lagi bagi sebuah kotamadya yang pernah dimanjakan dengan pembangunan hasil Lotlo. "Memelihara bangunan yang dulu tegak oleh hasil lotto itu saja, sekarang susah", kata seorang pengusaha di kota itu. Maka tinggal lagi pemasukan pelabuhan yang kini memang makin maju itu. Hasil-hasil bumi dan ternak dari pedalaman harus lewat Pare-Pare dalam perjalanan ke luar pulau. Dan Walikota Pare-Pare tentu saja menarik pajak dari situ. Yang sampai kini belum jelas pemasukannya adalah merapatnya secara tetap kapal-kapal pesiar di pelabuhan Pare-Pare dengan tujuan Tanah Toraja. "Buat sementara para pemilik restoran itu yang menikmati", kata Djamain SH Hari staf walikota. Masih soal turis, keluhan berkisar di bidang hotel. Kota ini sama sekali tidak punya hotel yang pantas. "Jangan bicara soal AC dulu, deh", kata seorang pengusaha, "untuk penerangan saja listrik kita di sini sangat tidak cukup". Walikota Pare-Pare tidak menyangkal kenyataan ini. Andi Parawangsah, pamongpraja karir yang menduduki kursi walikota itu bahkan nyaris pessimis terhadap pengembangan kotanya akibat listrik yang amat tidak menolong itu. Di Balai Kota Pare-Pare setiap saat bisa didengarkan keluhan pejabat megenai listrik. Dan sasarannya adalah SPS, perusahaan daerah yang memonopoli listrik untuk Pare-Pare serta beberapa kota sekitarnya. "Bagaimana kita bisa memainkan peranan Singapura ntuk daerah pedalaman jika listrik seperti ini", kata mereka. "Banyak calon penanam modal untuk industri ringan mengurungkan niatnya lantaran listrik itu", kata Walikota Parawangsah. Tapi pihak MPS bukannya tidak punya jawaban. Dengan amat lancar, Andi Mappaiwa, kepala MPS Pare-Pare, menguraikan semua yang jadi hulu-malang kegelapan itu. "Soal macam ini bukan cuma di sini, tapi bahkan beberapa tempat di Jakarta lampunya seperti api puntung rokok", katanya menerang jelaskan. Sembari mengeluhkan alat-alat itu? peninggalan sebelum perang, Mappaiwa yang mengakui bahwa Pare-Pare masih perlu tambahan 500 kilowatt, ada pula melemparkan kesalahan pada langganan dan ABRI. "Tunggakan mereka ikut mempersulit rehabilitasi peralatan", begitu ia berkata. Mappaiwa ini juga membantah cerita mengenai keengganan pihaknya menyerahkan perlistrikan Pare-Pare kepada PLN. "Ah, itu kan permainan tingkat tinggi", kata seorang pejabat di Ujung Pandang. Maka sementara permainan itu berlangsung di atas, Pare-Pare terus menanti dalam getap. Memang tidak semuanya suram, sebab dari Jakarta sudah datang kepastian mengenai proyek air minum yang segera dibangun oleh kontraktor asing. Cuma saja aliran air bersih tentu akan lebih asyik jika ia memasuki rumah-rumah dengan penerangan yang memadai, atau industri-industri ringan yang bisa menghidupkan kota. Dalam keadaannya yang kurang pasti itu, di Pare-Pare kini timbul harapan akan penciutan sejumlah kabupaten yang kurang produktif. Sebelum itu terjadi, sejumlah wilayah yang berbatasan dengan Pare-Pare sudah secara terbuka menyatakan niatnya untuk bergabung. "Itu bukan permintaan kita kemauan mereka sendiri, dan kita senang aja", kata Parawangsah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus