Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALUN-ALUN depan Katedral Berlin. Termometer menunjuk suhu belasan derajat Celsius. Banyak orang terpana menyaksikan kecantikan bangunan di jantung kota itu. Rumput bak permadani hijau terdampar. Di kiri dan kanan, pohon linden dan mapel berdaun hijau segar bergoyang.
Dalam embusan angin September, seorang gadis belasan tahun berpakaian dekil terus bergerak. Ia menyapa setiap orang yang sengaja ia temui. Bekalnya dua pertanyaan. Pertama, apakah orang yang ia temui bisa berbahasa Inggris. Kedua, apa pun jawabannya, ia meminta uang receh. ”Give me penny for food,” katanya.
Ia tidak sendiri. Ia berkawan dengan perempuan 40-an tahun berkerudung, mungkin ibunya. Seorang lagi bocah laki-laki sepuluh tahunan. Ia berusaha ramah ketika menjumpai orang. Adapun perempuan berhidung mancung dan berkulit mirip perempuan Mesir malah kurang ajar jika orang yang ia sapa tak memberinya uang. Tak segan, ia memaki atau memukulkan kertas bertulisan bahasa Inggris di tangannya kepada orang yang menolaknya.
Hanya sekilometer dari gereja Katolik terbesar di ibu kota Jerman itu, berdiri gerbang Brandenburg, yang menjadi tujuan utama wisata Berlin. Brandenburg adalah pintu utama masuk Berlin tempo dulu, yang dibangun pada 1788-1791. Selain sering menjadi tempat demonstran, Brandenburg tempat favorit para pengamen. Pergilah ke sana, Anda akan menjumpai berbagai anak muda bermain gitar, akordion, dan harmonika.
Siang itu tiga anak muda, di trotoar jalan di depan taman Kedutaan Besar Amerika Serikat, menari patah-patah. Mereka memutar keras lagu Michael Jackson. Satu per satu menunjukkan kepiawaian memutar tubuh dengan satu tangan. ”Money, money, money,” kata Lukas Wetzner, nama salah satu anak muda itu, sembari menengadahkan topi hitam ke arah penonton. ”Kami butuh makan.”
Di sudut lain, sepasang lelaki dan perempuan, berpakaian ala tentara, melumuri seluruh tubuh mereka dengan cat warna perak kehitaman. Mereka berdiri mematung. Tatapan mata mereka menghadap gerbang Brandenburg. Dalam waktu tertentu, mereka mengubah posisi tangan atau kakinya. Di depan mereka ada kotak kaleng, mengharap orang yang berempati kepada mereka melempar uang.
Hanya tiga meter di belakang mereka, sepasang remaja lain berseragam mirip tentara Amerika Serikat. Mereka seperti ingin menggambarkan Berlin semasa Perang Dingin, ketika Amerika Serikat menguasai salah satu bagian Kota Berlin. Lagi-lagi, kaleng mirip celengan jariah musala ada di depan mereka.
Potret pengemis dan anak-anak muda yang mencari uang dengan keterampilan seadanya di Brandenburg itu menampakkan sisi tersembunyi Berlin. Kemiskinan masih terasa, terutama di sejumlah kawasan bekas Jerman Timur. Karena itu, beberapa tempat di sana tidak direkomendasikan untuk turis karena tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Dari hampir 3,5 juta penduduk Berlin, 16 persennya tak bekerja. Pendatang di Berlin tidak hanya dari Turki. Imigran di Berlin datang dari 100 negara lebih. Diperkirakan dari Polandia saja ada 60 ribu imigran.
Para imigran ini di satu sisi memperkaya Berlin sebagai kota metropolitan dan kota multibudaya. Tapi di sisi lain persoalan sosial muncul. Kebanyakan pendatang tak mampu berbahasa Jerman dan berpendidikan buruk. Padahal kemampuan berbahasa Jerman adalah wajib.
Berlin, menurut juru bicara Partai Uni Kristen Demokratik Negara Bagian Berlin, Christian Goiny, kini berusaha keras menghapus sebutan sebagai kota yang seksi tapi miskin. Salah satunya, Berlin terus membangun dan tampil menarik di hadapan investor. Sony, Samsung, dan KIA pun dipersilakan merambah Berlin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo