Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beringin di Simpang Jalan

Elite Partai Golkar cenderung merapat ke Mega. Sulit menjamin akar rumput.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELANGKAH mantap menuju Masjid Baiturrahman di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jumat pekan lalu, wajah Akbar Tanjung tampak ceria. Senyum mengembang di bibir Ketua Umum Partai Golkar itu. Padahal Wiranto, calon presiden dari Partai Golkar, sedang merenungi kekalahannya. Hingga pekan ketiga setelah pemilu presiden putaran pertama, perolehan suaranya tak beranjak dari urutan ketiga.

?Masa, sedih terus, sih? Nanti malah stres,? kata Akbar kepada TEMPO, yang mengiringi langkahnya dari kantornya di lantai tiga gedung Nusantara III hingga ke masjid. Beberapa fungsionaris Partai Golkar juga bersikap realistis, bahkan mulai menegakkan kepala. ?Toh, untuk membentuk pemerintahan yang kuat, siapa pun presidennya harus mengajak Golkar berkoalisi,? kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Rully Chairul Azwar.

Keyakinan para fungsionaris Partai Golkar bukan tanpa sebab. Dalam pemilu legislatif 5 April lalu, mereka mendulang 24,48 juta suara atau 21,58 persen pemilih. Golkar meraih 128 kursi di DPR, sementara PDI Perjuangan hanya mendapat 109 kursi, dan Partai Demokrat, basis Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan cuma memperoleh 57 kursi. Sadar posisi mereka sangat strategis, para kader Golkar mulai rajin membina hubungan ke kubu dua pesaing yang bakal melaju ke putaran kedua.

Anggota Fraksi Partai Golkar di DPR, Ade Komaruddin dan Mahadi Sinambela, misalnya, sering merapat ke Mega Center. Sedangkan Marzuki Darusman dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Golkar Fahmi Idris lebih cenderung ke SBY. ?Tapi itu bukan penugasan. Naluri alami saja,? kata Akbar sambil mengulum senyum. Tak bertepuk sebelah tangan, kubu Megawati dan Yudhoyono pun giat melobi para petinggi dan kader potensial Golkar.

Setelah dua pekan lalu Akbar sempat bertemu sejenak dengan suami Presiden, Taufiq Kiemas, seusai salat Jumat di Senayan, awal pekan lalu ia dikabarkan berjumpa dengan Mega di Bali. Namun Akbar membantah. ?Kami memang sama-sama berlibur ke Bali, tapi tidak bertemu,? katanya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Sutjipto mengaku tak tahu pula soal pertemuan Akbar dan Mega.

Sutjipto hanya membenarkan bahwa partainya terus mendekati fungsionaris Partai Golkar. ?Saya sudah bertemu dengan orang-orang Pak Akbar,? katanya. Kubu Yudhoyono tak ketinggalan. ?Tim Pak Jusuf Kalla yang jalan,? kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Max Sopacua kepada Agung Rulianto dari TEMPO. Maklumlah, sebagai kader Golkar, Jusuf Kalla masih berpengaruh di Kawasan Timur Indonesia.

Meski sama-sama memulai pendekatan, model lobi kedua kubu tentulah berbeda. Kubu Mega melakukan pendekatan secara organisatoris, sementara kubu SBY lebih bersifat individual dan cenderung mengabaikan partai. Dukungan masyarakat kepada figur Yudhoyono, bukan kepada Partai Demokrat, pada pemilu presiden putaran pertama menjadi pola. ?Padahal, bagi Golkar, kepentingan dan kelangsungan partai sangat penting,? kata Hajrianto Y. Tohari, anggota Fraksi Golkar di DPR.

Karena alasan kepentingan partai itulah, menurut Hajrianto, elite Golkar cenderung akan bekerja sama dengan Mega. Perhitungan bahwa masa pemerintahan Mega hanya tinggal satu periode juga menjadi tolok ukur. Sebab, menurut Pasal 7 UUD 1945 hasil amendemen, presiden hanya boleh menjabat dua periode. ?Kalau mendukung Yudhoyono, kita bisa menunggu dua periode lagi,? ujarnya.

Tapi Marzuki Darusman mengingatkan, Partai Golkar harus tetap mewaspadai kecenderungan pilihan di tingkat akar rumput. Sebab, ia melihat adanya kecenderungan kader Golkar di bawah lebih merasa sreg kepada Yudhoyono ketimbang kepada Mega. Hajrianto mengakuinya. ?Beberapa kader Golkar di daerah memang lebih berharap kita mendukung Yudhoyono,? ujarnya.

Dengan sistem pemilihan presiden langsung, suara pemilih Golkar pada pemilu legislatif tak bisa dijamin memilih satu kandidat saja. Karena itu, ?Partai Golkar harus mendukung siapa pun yang dipilih rakyat,? kata Marzuki. Keputusan resmi memang baru dikeluarkan setelah 26 Juli, sebagai tenggat penghitungan suara manual. Tapi, Akbar memastikan, Partai Golkar tak akan melibatkan Wiranto dalam pembicaraan koalisi. ?Itu kewenangan partai,? katanya.

Hanibal W.Y. Wijayanta


Capres dan CawapresPutaran IJika Pemilih Wiranto-Salahuddin BergabungPrediksi Putaran II
SBY-Jusuf Kalla33,59+22,20%55,79
Mega-Hasyim26,29%+22,20%48,49
Wiranto-Salahuddin22,20%  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus