Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Repotnya Merangkul Kawan Lama

PDI Perjuangan berniat merangkul kembali kader nasionalis untuk memperkuat gerbong Mega memenangi pemilu presiden. Tapi lebih banyak yang menolaknya.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramah-tamah ?banteng-banteng tua? di rumah Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sutjipto di Jalan Denpasar Raya, Kuningan, Jakarta, Jumat malam lalu seolah berubah menjadi reuni Partai Nasional Indonesia. Suasananya gayeng, tapi serius dan penuh semangat. Tampak di antaranya John Lumingkewas, yang kini bergabung di PNI Marhaenisme pimpinan Sukmawati Soekarnoputri, dan Soenarko, yang memperkuat Partai Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarnoputri. ?Meski sudah pada sepuh, semangat mereka masih seperti banteng ketaton,? kata Sutjipto. Ada 17 tokoh yang bertemu malam itu. Pertemuan ini tentu saja bukan kumpul-kumpul melepas rindu belaka. Agenda pertemuannya, menurut Sutjipto, hanya ada satu, yakni ikut serta memenangkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden putaran kedua nanti. Selain prihatin atas perolehan suara Mega yang hanya 26,29 persen pada putaran pertama, mereka khawatir sejarah akan berulang jika Mega kalah. ?Jika tidak kita dukung, nasib kaum nasionalis akan kembali seperti di masa Orde Baru dulu,? kata John sebagaimana dikutip Sutjipto. Meskipun masih tetap bertengger di peringkat kedua, perolehan suara kandidat presiden dan wakil presiden dari PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, memang jauh dari target. ?Mesin politik partai memang belum berjalan optimal,? kata Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Pramono Anung seusai rapat evaluasi di Mega Center pada Selasa pekan lalu. Untuk menghidupkan kembali mekanisme partai, Sabtu hingga Ahad lalu mereka menggelar rapat kerja nasional di markas Banteng Gemuk di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Untuk memperkuat gerbong Mega, tokoh-tokoh PDI Perjuangan pun semakin rajin menggalang dukungan dari berbagai partai dan kelompok masyarakat, seperti Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, dan warga Nahdlatul Ulama. Beberapa tokoh nasionalis yang kini berkibar di partai lain serta kawan-kawan lama yang tidak aktif lagi di PDI Perjuangan sudah dihubungi. ?Kita ingin nglumpukke balung pisah (mengumpulkan tulang berserakan),? kata Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno. Berbagai langkah pendekatan terus dilakukan. Untuk tugas ini, para anggota senior PDI Perjuangan-lah yang diutus. ?Tugas melobi ini memang tugas para pinisepuh,? kata Soetardjo pula. Selain Soetardjo dan Sutjipto, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPR Panda Nababan kebagian tugas melobi. Ia diutus mendekati saudara-saudara perempuan Mega, Rachmawati dan Sukmawati. ?Sukma sudah oke. Kalau Rachma, belum ketemu,? ujar Panda. Pendekatan kepada bekas anggota PDI Perjuangan, kader PNI, dan mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia juga dilakukan. Misalnya kepada mantan Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR Sophan Sophiaan, Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan Eros Djarot, mantan anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR Meilono Suwondo, dan bahkan kandidat wakil presiden dari Partai Amanat Nasional, Siswono Yudho Husodo. Untuk mendekati Siswono, Mega telah mengutus adik bungsunya, Guruh Sukarno Putra, buat merayu calon wakil presiden yang telah tereliminasi itu. Sekretaris Militer Mayjen TNI Hasanuddin pun sudah mengontak Siswono untuk mengalokasikan waktu yang pas. ?Setahu saya, dia sudah dijadwalkan bertemu di Teuku Umar,? kata Meilono, adik Siswono. Tapi, kabarnya, Siswono belum menganggukkan kepala. Tampaknya, ia masih menimbang rasa kepada Amien Rais, yang masih kecewa berat terhadap hasil perolehan suaranya yang terpuruk. Penulis pidato dan bekas kepercayaan Mega, Eros Djarot, juga sudah diajak bergabung kembali ke kandang banteng bermoncong putih. Tentu saja konstituen Eros dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan diharapkan pula bergabung secara berbondong-bondong. Tapi Eros mengaku sudah kapok bersekutu dengan Mega. Sebab, menurut dia, perilaku politik Mega dan PDI Perjuangan tidak berubah. ?Untuk apa bergabung lagi? Itu sudah masa lalu,? ujarnya. Menurut Eros, apa yang dilakukan PDI Perjuangan dan Mega dengan jargon menyatukan warga nasionalis itu sia-sia karena hanya sekadar alat kampanye untuk menggalang solidaritas semu. Toh, apa yang digembar-gemborkan Mega hanya sekadar nasionalisme simbolis. Sebab, hingga kini, pemerintah Mega menolerir kapitalisme. ?Kami hanya akan bergabung pada nasionalis tulen,? ujarnya. Namun ia membantah kemungkinan bakal bergabung ke kubu Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun Meilono mengaku belum memutuskan apakah akan kembali bergabung dengan Mega atau mendukung Yudhoyono dalam pemilihan presiden putaran kedua mendatang. Menilik pengalamannya di bawah kepemimpinan Mega, ia menilai kemungkinan untuk kembali mendukung putri Bung Karno itu sudah tak ada lagi. Tapi, untuk menyeberang ke kubu Yudhoyono, ia pun keberatan. ?Saya sudah malas lagi berpolitik. Capek. Jadi, mungkin tidak akan ke mana-mana,? katanya. Sementara itu, Sukmawati, yang menurut Panda telah setuju memperkuat barisan Mega, saat dikonfirmasi ternyata mengelak berkomentar. ?Saya no comment saja,? ujarnya berkali-kali. Adapun Rachmawati membenarkan bahwa Panda telah berupaya menghubunginya. ?Dia sudah menelepon lewat anak saya, Rommy dan Marhaendra,? ujar Rachma. Tapi Rachma mengaku sama sekali tak berminat untuk bergabung. ?No, thank-lah,? katanya. Ia pun membebaskan anggota partainya memilih presiden sesuai dengan hati nurani. Tampaknya, hingga kini, baru banteng-banteng gaek PNI dan bekas Ketua Dewan Pengurus Daerah PDI Perjuangan Jakarta, Tarmidi Suhardjo, yang menyambut baik seruan Mega. Menurut Sutjipto, para kader PNI tua telah dua kali berkumpul di rumahnya. Romantisisme masa lalu tampaknya lebih melatarbelakangi keinginan mereka untuk mendukung putri sang Proklamator. Akan halnya Tarmidi, ia membenarkan bahwa dirinya sudah dipanggil Mega ke rumah kediaman Mega di Teuku Umar pekan lalu. ?Karena dipanggil, ya, saya menghadap,? ujar Tarmidi. Ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Pelopor Jakarta itu pun mengaku telah siap mendukung Mega. Padahal, dua tahun lalu, ia telah dipecat karena mbalelo ketika Mega memerintahkan agar PDIP Jakarta mendu-kung Sutiyoso dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun ia mengaku tak menyimpan dendam kepada Mega. ?Dari ujung rambut sampai ujung kaki, saya masih PDI Perjuangan,? ujarnya. Meski Tarmidi mendukung Mega, anehnya, tokoh Partai Pelopor yang lain mendukung Yudhoyono. Bekas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Perjuangan, Sukowaluyo Mintohardjo, menilai, pendekatan kepada para bekas tokoh nasionalis dan PDI Perjuangan sebenarnya tidak terlalu efektif. Sebab, yang terjadi kemudian hanya pengumpulan elite politik. Padahal, untuk memperkuat dukungan rakyat kepada Mega dalam pemilu presiden langsung ini, yang penting adalah bagaimana menyentuh lapisan akar rumput. Memang upaya pendekatan kepada elite ada saja gunanya. Namun, jika para elite politik itu sama sekali sudah tak berakar di hati rakyat, hasilnya akan sama saja. Perolehan suara Mega tidak akan terdongkrak. ?Saat ini yang penting bagaimana kita melobi rakyat bawah dari hati ke hati dengan jaringan yang kuat,? ujar Sukowaluyo. Repotnya, mesin politik PDI Perjuangan yang diharapkan dapat mendekati rakyat hingga ke bawah, menurut Sukowaluyo, telah melempem. Karena itu, Sukowaluyo dan kawan-kawan yang telah tersingkir dari pengurus pusat PDI Perjuangan berencana membentuk task force penyelamat Mega di luar struktur tim sukses Mega. Sebab, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR itu, tim-tim sukses Mega, yang terdiri atas tim Mega for President, Tim Kampanye Mega-Hasyim, dan Mega Center, telah terbukti gagal dalam pemilu putaran pertama. ?Task force ini kami bentuk karena rasa tanggung jawab kami kepada partai,? ujarnya. Kubu Mega tampaknya memang harus lebih membumi lagi. Hanibal W.Y. Wijayanta, Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus