Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beringin yang Terabaikan

Sibuk sebagai wakil presiden, Jusuf Kalla alpa membina jaringannya di daerah. Akbar Tandjung dan Agung Laksono bisa muncul menjadi pesaing.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUSUF KALLA memang layak digelari Super-Wakil Presiden. Pria berkumis tipis ini lincah luar biasa. Dalam hitungan bulan dia sudah melakukan banyak hal. Saat tsunami melanda Aceh, ia cepat bergerak. Kalla mendorong berbagai lembaga nasional dan internasional mengirimkan bantuan ke wilayah yang dihantam musibah dahsyat itu. Dia juga yang kemudian mengupayakan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka di sana.

Tak hanya mengurusi Aceh, Kalla juga rajin melawat ke luar negeri, antara lain ke Cina dan Afrika Selatan buat menjajaki kerja sama ekonomi. Ketika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pun, ia juga cukup aktif memberi penjelasan kepada publik.

Namun, sebagai Ketua Umum Partai Golkar, Jusuf Kalla dinilai sebaliknya. Sejumlah pengurus daerah partai berlambang beringin ini memandang orang Makassar ini tidak selincah ketua umum sebelumnya. Untuk urusan memperhatikan daerah, misalnya, ia kalah jauh dibanding Akbar Tandjung. Dulu, hampir setiap dua pekan Akbar turun ke daerah-daerah. Bulan Ramadan juga selalu dipakai sang Ketua Umum untuk mendatangi para kader di daerah. Kalla kurang melakukan hal itu.

Kalla juga dikenal amat hati-hati mengguyurkan duit ke daerah. Contohnya, pada pemilihan kepala daerah beberapa waktu lalu. Dewan Pengurus Pusat Golkar hanya mengucurkan Rp 50 juta untuk bantuan pengurus daerah dalam perang memperebutkan kursi kepala daerah. Jumlah ini dinilai terlalu sedikit. Soalnya, di zaman Akbar, bantuan menghadapi ”perang” semacam ini minimal Rp 250 juta.

Minimnya amunisi inilah yang dianggap sebagai penyebab jebloknya suara Golkar dalam merebut kursi bupati di sejumlah daerah seperti yang ditargetkan. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, Golkar hanya berhasil menang di satu kabupaten dari enam kabupaten yang menggelar pemilihan kepala daerah.

Dana untuk kegiatan partai pun sekarang mengecil. Inilah yang dikeluhkan oleh H. Rusdi, Ketua DPD Partai Golkar Kabupaten Bogor.”Dana yang dikucurkan itu tidak cukup untuk membiayai kegiatan partai,” katanya. Sepengetahuan Rusdi, dana untuk tingkat pusat dipatok Rp 21 juta per kegiatan. ”Kalau untuk tingkat provinsi dan kabupaten tentu saja lebih kecil,” ujarnya. Memang, kata Rusdi, sejak zaman Akbar, daerah sudah diminta untuk mencari dana sendiri. “Tapi, ini kan bukan hal mudah,” ujarnya.

Jarangnya Kalla bertandang ke daerah membuat banyak orang dekat Kalla waswas. Mereka khawatir sang Ketua Umum akan gagal membangun dan memperkuat jaringannya di lapis bawah. Ini bisa membuat posisinya di panggung politik bakal rapuh. Ibarat istana pasir, hanya terlihat indah dan kukuh di luar, tapi sebenarnya rentan gempuran dari arah mana pun.

Di tubuh Golkar sendiri, kekuatan yang mengancam kelompok Kalla sudah makin terlihat. Salah satunya adalah ”barisan Akbar Tandjung”. Akbar dikalahkan Kalla dalam kongres Golkar di Bali tahun lalu. Ada yang memprediksi bahwa tak mustahil Akbar akan comeback untuk merebut posisi nomor satu di partai ini pada 2008.

Kendati tak lagi memiliki posisi penting di Golkar, Akbar hingga kini tetap menjadi rujukan dan ”guru” sejumlah kader partai di pusat maupun di daerah. Sebagai bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Akbar dinilai telah berhasil membina jaringannya di daerah. Cukup banyak kader Golkar di daerah yang berlatar belakang HMI yang dibesarkan oleh Akbar. Jaringan Akbar dikenal sangat kuat, terutama di Jawa Tengah, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan.

Akbar juga memiliki kader-kader binaan di Jakarta yang dinilai sangat setia, seperti Mahadi Sinambela, Bomer Pasaribu, Ade Komaruddin. Mereka juga memiliki akar yang kuat di daerah. Bahkan boleh dibilang sebagian besar anggota Fraksi Partai Golkar di DPR dibesarkan oleh Akbar. ”Jadi, mereka, paling tidak, berutang budi pada Akbar,” ujar seorang tokoh Golkar di DPR, menggambarkan potensi kekuatan Akbar.

Kendati mengakui binaan Akbar berserakan di mana-mana, Mahadi Sinambela tak bisa memberi jaminan para kader Akbar itu setia kepada Akbar. ”Soal kesetiaan itu sulit mengukurnya,” ujar Mahadi. Rupanya ia masih teringat kekalahan Akbar pada kongres Golkar di masa silam. Kala itu, sejumlah binaan Akbar melakukan ”pengkhianatan” dalam pemilihan ketua umum. ”Banyak kader binaan Akbar yang kini mengejar kepentingan pribadi,” katanya.

Mahadi dan sejumlah tokoh Golkar hingga kini masih kerap mengadakan pertemuan rutin di rumah Akbar di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta. Biasanya pertemuan itu dilakukan pada Jumat sore dan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Terkadang pertemuan dilakukan pula di kantor Akbar Tandjung Institute di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. ”Dia ingin tetap menjaga komunikasi dengan teman-teman lamanya,” ujar Mahadi.

Pada pertemuan semacam itu biasanya mereka mendiskusikan kondisi Golkar. Apakah Akbar pasti akan bertarung kembali untuk merebut posisi puncak Golkar? Menurut Mahadi, kemungkinan itu ada. ”Ibaratnya sekarang dia sedang latihan terus di tempat, menjaga stamina. Kalau tiba saatnya berkompetisi, sudah siap,” kata Mahadi.

Selain Akbar, ada pula kekuatan lain yang, diam-diam juga membayangi Kalla. Itulah Ketua DPR Agung Laksono dan barisannya. Bertumpu pada dukungan Kosgoro dan MKGR, dua organisasi pendiri partai Golkar, Agung disebut-sebut mendapat dukungan pula dari kader Golkar yang berlatar belakang Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Agung juga lebih kerap bertemu dengan kader-kader Golkar di daerah ketimbang Kalla. Sejumlah tokoh Golkar dari daerah pun lebih gampang menjumpai Agung di Jakarta ketimbang menemui Kalla. Soalnya, untuk menemui Wakil Presiden mesti melewati protokoler berlapis. Para kader Golkar dari daerah yang gagal menemui Kalla biasanya mampir ke DPR dan diterima oleh Agung.

Dengan posisinya sebagai Ketua DPR dan Wakil Ketua Umum Golkar, tak bisa dipungkiri bahwa Agung akan menjadi pesaing berat Kalla. ”Saya kira, secara politik, kekuatan Jusuf Kalla dengan Agung Laksono cuma beda satu spasi,” kata Zainal Bintang, kader Partai Golkar. ”Salah ketik, bisa tertukar posisi mereka,” ujarnya, berseloroh.

Kekuatan lain dalam peta politik Golkar adalah barisan TNI. Kekuatan TNI diwakili oleh Letnan Jenderal (Purn.) Sumarsono yang menjabat Sekretaris Jenderal Golkar. Namun, Indra Bambang Utoyo, Ketua Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia, pesimistis kelompok TNI akan menjadi pesaing Kalla. ”Pengangkatan Sumarsono itu lebih pada faktor sejarah saja,” ujarnya.

Menurut Indra, di era pascareformasi, kekuatan TNI di tubuh Golkar sudah terpecah-belah. Para anggota Golkar berlatar belakang TNI tidak lagi mewakili kepentingan keluarga besar TNI, melainkan kepentingan politik praktis mereka belaka. ”Ditekennya perjanjian Indonesia-GAM di Helsinki dan kenaikan bahan bakar minyak menunjukkan bahwa pengaruh TNI di Golkar sudah lemah,” kata Indra.

Begitulah kondisi Golkar setahun di bawah Jusuf Kalla. Mungkin sudah saatnya sang Ketua Umum lebih sering menengok para kadernya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus