Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak di Tanah Rencong

Di Aceh, Kalla menancapkan prestasi, juga kontroversi. Soal GAM, ia dituduh tak nasionalis. Soal tsunami, ia dituding melangkahi wewenang presiden.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini berawal pada Mei 2003. Upaya gencatan senjata melalui perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (COHA) untuk mendamaikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia gagal. Presiden Megawati Soekarnoputri lalu mengontak Jusuf Kalla—ketika itu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Mega ingin perundingan baru guna menyudahi ”tumpahnya darah dan air mata di Aceh”—seperti janji politiknya.

Mega tidak asal menunjuk Kalla. Saudagar asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu sudah dikenal sebagai tokoh sentral di balik kesepakatan damai Ambon dan Poso, Sulawesi Tengah.

Daeng Ucu’—demikian orang Makassar memanggil Kalla—pun bekerja. Awalnya informal. Farid Husein dan Hamid Awaludin, orang kepercayaan Kalla dalam membangun dialog damai di Ambon dan Poso, kembali direkrut. Kala itu Farid adalah Deputi Menko Kesra, sementara Hamid masih anggota Komisi Pemilihan Umum.

Tugas pun dibagi. Farid membuka dialog dengan petinggi GAM di Swiss. Mula-mula dia berkenalan dengan Mahyudin, orang Aceh, di Jakarta. Melalui Mahyudin, Farid mulai mendekati satu per satu pentolan GAM, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Pada saat yang sama, Hamid bergerak. Tugasnya mengemban misi mengajukan tawaran kompensasi ekonomi bagi anggota GAM yang mau turun gunung dan menyerahkan senjata. Gagasan kompensasi muncul setelah melihat laporan yang menyebutkan kekuatan GAM kian terjepit oleh operasi militer di Aceh saat itu. Hingga tahun 2003 berakhir, upaya itu belum membuahkan hasil.

Memasuki masa kampanye, disusul pemilu, intensitas lobi tim Kalla berkurang. Tapi setelah pemilu usai, Kalla—terpilih menjadi wakil presiden—memerintahkan timnya tancap gas. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga memberi mandat kepada Jusuf Kalla.

Anggota tim pun bertambah. Mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh—ketika itu menjadi tertuduh kasus mark up pembelian helikopter—dan pengusaha terkenal asal Aceh, Rusli Bintang, masuk dalam tim itu.

Melalui Puteh dan Rusli, pada Oktober-Desember 2004, terjadi sejumlah pertemuan tim Kalla dengan M. Daud Syah dan Harun Yusuf, utusan Panglima GAM Muzakkir Manaf. Bahkan saat Puteh mendekam di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta, jasanya masih dipakai membantu agenda penting itu. Crisis Group Indonesia mencatat, dalam masa itu Puteh pernah bertemu Kalla di istana presiden, Jakarta. Kalla mengakui peran puteh tersebut. Meski Puteh dipinjam dari penjara, ”Itu atas izin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata Kalla.

Pada 31 Oktober 2004, perundingan di Batam dan Malaysia dengan Daud dan Harun digelar. Hasilnya, sembilan kesepakatan yang intinya kompensasi ekonomi, antara lain uang sebanyak Rp 60 miliar untuk GAM dan dua pesawat Boeing 737-700 untuk Aceh. Sebagai imbalannya, GAM turun gunung dan menyerahkan 900 pucuk senjata.

Agar jalan lebih mulus, pada awal Desember 2004 Rusli bersama Daud dan Harun menemui juru runding GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, di penjara Keudah, Banda Aceh. Upaya ini dilakukan bersamaan dengan langkah merintis dialog dengan para petinggi GAM di luar negeri.

Kepada Sofyan, Bintang menawarkan tiga hektare kebun sawit siap panen kepada setiap anggota gerilyawan GAM yang bersedia turun gunung. Dan bagi yang menyerahkan senjata, akan diberikan tambahan dua hektare. Tapi Sofyan menampik. ”Kebijakan politik itu wewenang para petinggi GAM di Swedia. Silakan berhubungan ke sana,” kata Sofyan.

Sialnya, bersamaan dengan itu, kesepakatan Malaysia bocor. Beberapa tokoh GAM lain di Aceh kaget dan meminta penjelasan para pemimpin mereka di Swedia. Swedia menjawab tak tahu-menahu. Mereka pun mengaku tak pernah mengangkat Daud dan Harun sebagai juru runding. Apa boleh buat, kesepakatan Malaysia pun kandas.

Hingga saat itu Kalla masih berada di belakang layar. Setiap kali ditanya wartawan, selalu menjawab tidak tahu. Menurut Farid, Kalla hanya satu kali bertemu dengan orang GAM, yakni pada tahun 2003. Itu pun kebetulan. Farid tengah berada di Belanda untuk bertemu tokoh GAM di sana ketika Kalla datang untuk sebuah urusan. ”Saya coba ajak Pak Kalla, dan dia mau,” ujar Farid.

Kegagalan kesepakatan Malaysia tak membuat gerak tim Kalla terhenti. Sebab, pada saat yang sama, upaya dialog politik dengan Swedia yang dirintis Farid justru kian terbuka. Kuncinya adalah Juha Christensen, seorang pebisnis Finlandia. Dia pernah tinggal lima tahun di Makassar menemani istrinya—seorang ahli bahasa—yang melakukan riset di sana. Mengaku mengenal tokoh-tokoh GAM di Swedia, Juha menemui Farid dan menawarkan menjadi perantara untuk bertemu pimpinan GAM.

Pucuk dicinta ulam tiba, tawaran Juha diamini Kalla. Atas persetujuan Kalla, pada Februari 2004 Farid terbang ke Finlandia. Awalnya gagal. Tokoh GAM Swedia menolak bertemu. Tak kehabisan akal, Juha mengajak Farid menemui Ketua Crisis Management Initiative (CMI), mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.

Sebenarnya, atas prakarsa Ahtisaari, GAM sepakat untuk mulai berunding dengan pemerintah Indonesia pada akhir Desember 2004. Namun, niat ini tertunda karena gempa bumi dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004.

Januari 2005 perundingan resmi pertama antara delegasi Indonesia dan GAM akhirnya berlangsung di Helsinki, Finlandia. Pertemuan ini kemudian diikuti perundingan putaran selanjutnya. Hamid Awaludin, yang telah dilantik menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, menjadi ketua delegasi Indonesia.

Ada cerita mengenai ”kepiawaian” Kalla di sini. Suatu ketika, di saat membahas isi perjanjian, sempat terjadi ketidaksesuaian. Delegasi GAM menolak bicara soal Negara Kesatuan Republik Indonesia, sementara Indonesia tak hendak menyinggung soal kemerdekaan Aceh. Kalla memberikan masukan. ”Saya bilang itu tak masalah. Yang penting dikatakan kita hidup bersama, dalam otonomi khusus,” ujar Kalla. Usulnya diterima.

Puncak upaya panjang yang dirintis Kalla terjadi pada 15 Agustus lalu, saat delegasi Indonesia dan GAM menandatangani kesepakatan damai. Lalu, apa yang didapat Kalla dari upaya mengakhiri konflik sejak 1976 yang telah mengorbankan lebih dari 12 ribu jiwa itu? Pujian dan juga kritik. Beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkan kesepakatan Helsinki. Katanya, itu tidak sah karena dirumuskan tanpa lebih dahulu mendapat persetujuan DPR. Yang lebih tajam datang dari Permadi, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dia menuduh Kalla melakukan internasionalisasi masalah Aceh.

Reaksi Kalla? Dia malah mengutip pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati saat masih menjabat presiden—bahwa ia tak ingin darah dan air mata tumpah lagi di Aceh. ”Kalau tak mau menumpahkan darah dan air mata, ya, harus berunding, dong.”

Bukan cuma soal perdamaian Kalla memetik kontroversi. Saat Negeri Jeumpa itu dilanda tsunami, Kalla mengambil inisiatif. Beberapa jam setelah kejadian, dia memerintahkan beberapa menteri langsung berangkat ke Tanah Rencong untuk mengkoordinasikan bantuan. Besoknya, dia sendiri tiba di Aceh.

Pada 30 Desember Kalla meneken Surat Keputusan No. 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Penanggulangan Bencana Gempa dan Tsunami. Maksudnya agar upaya penanggulangan bencana di Aceh berlangsung cepat. Namun surat itu justru menuai kritik. Kalla dituduh melampaui wewenangnya. Ini membuat Kalla berang. ”Soal Aceh, kita tidak bisa taat prosedur,” ujarnya kepada Tempo beberapa waktu lalu. ”Kalau untuk membeli biskuit harus melalui tender, orang Aceh akan telanjur mati.”

Kalla mengaku, setiap membuat keputusan penting soal Aceh, dia selalu berkomunikasi dengan Presiden. Pada kesempatan lain, Yudhoyono membenarkan pernyataan itu. ”Saya kira tidak ada presiden dan wapres yang telepon-teleponan seperti kami. Mulai dari pukul lima subuh sampai sebelas malam,” kata Kalla.

Namun, tidak semua cerita sepak terjang Kalla di Aceh menyenangkan. Kalla sempat dihubung-hubungkan dengan pengadaan 300 perahu motor sumbangan pemerintah Kuwait untuk nelayan Aceh. Sayangnya, karena bentuk dan ukuran tidak sesuai dengan kondisi laut di Aceh, para nelayan belum bisa menggunakannya. Padahal, perahu itu harganya US$ 2.500 (Rp 25 juta) per buah—harga yang mahal untuk ukuran nelayan di Aceh. Menurut Human Hamid, penasihat Panglima Laut Aceh, perahu itu dibuat oleh kerabat Kalla yang mendapat proyek tanpa tender. Kalla membantah tuduhan itu. ”Itu cuma isu. Masa, wakil presiden ngurusin perahu seperti itu,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus