Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Makassar, Dua Politik

Tak semua elemen politik di Makassar tunduk kepada Jusuf Kalla. Inilah peta bumi politik-ekonomi Makassar setelah Kalla menjadi wapres.

13 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekisruhan ini meletus di siang bolong. Cuma belasan depa dari rumah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jalan Haji Bau 16, Kota Makassar. Api membara dari ban bekas. Untung aparat siaga memadamkan sebelum asap menggelapkan mata. Entah siapa yang memulai, perang batu pun meletus. Seribuan orang itu sempat kocar-kacir, tapi cepat kembali berhimpun. Tiga jam mengurung kediaman sang Wakil Presiden, massa bubar menjelang petang.

Ibnu Hadjar, sang komandan aksi, sempat mengirim ancaman. Jika nekat menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), ”Kami akan menduduki rumah Jusuf Kalla tiga hari tiga malam.” Dengan suara melengking, ia juga mengklaim bahwa rumah sang Wakil Presiden disegel mahasiswa.

Massa yang berjubel akhir September itu berasal dari berbagai kampus di Sulawesi Selatan. Entah kenapa, daerah asal Wakil Presiden itu menjadi titik paling mendidih dalam reli unjuk rasa menolak kenaikan harga minyak. Dan rumah Jusuf Kalla jadi sasaran empuk. Sejumlah mahasiswa bahkan nekat memanjat pagar rumah sebelum akhirnya dihalau petugas.

Aparat keamanan yang datang ke situ geleng-geleng kepala. Komandan Kodim 1408, Letnan Kolonel A.M. Putranto, bertanya-tanya penuh heran kepada pemimpin aksi massa itu, ”Masa, kalian yang warga Sulawesi Selatan tidak bangga dengan Jusuf Kalla sebagai putra daerah. Saya saja yang bukan warga sini sangat bangga dengan beliau.”

Sang Komandan Kodim boleh saja heran tujuh keliling. Para mahasiswa toh tak peduli. Hari itu, aksi menjalar ke seantero Kota Makassar: kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Selatan, kantor Pertamina, dan kantor pemerintah lainnya. Kenaikan harga BBM, yang disebut-sebut dibidani oleh Jusuf Kalla, justru mendapat perlawanan sengit di kampung halamannya sendiri.

Saat rumahnya dikurung mahasiswa, sang Wakil Presiden sedang berada di Cape Town, Afrika Selatan, menghadiri penyerahan penghargaan tertinggi negara Afrika Selatan untuk Syeikh Yusuf A.L. Makassari, pejuang negeri itu asal Sulawesi. Terbang jauh ke negeri Nelson Mandela ini, Kalla mengajak serta sejumlah pimpinan aktivis organisasi mahasiswa dari Makassar. Toh, demo tetap marak. Tapi Kalla tak terlalu peduli pada demo-demo itu. ”Di Makassar itu, apa saja didemo,” katanya kepada Tempo yang menemuinya di kediamannya, Senin pekan lalu.

Tapi sejumlah sumber menuturkan bahwa meriahnya unjuk rasa mencerminkan peta politik di wilayah itu. Politik Makassar tak bisa diwakili cuma oleh seorang Jusuf Kalla. Malah, di kampung halamannya itu, lawan politik Kalla tak bisa dianggap remeh. Seorang akademisi di Makassar menuturkan kepada Tempo, lawan politik Jusuf Kalla di Ujung Pandang sesungguhnya tak begitu besar, tapi aksi mereka mudah memikat orang ramai. Sebabnya? ”Mereka main tembak langsung kalau demo. Khas Makassar,” kata sumber ini.

Di Universitas Hasanuddin, Makassar, misalnya, Hamid Awaludin, orang dekat Jusuf Kalla, kerap menjadi bidikan para pengunjuk rasa. Ketika kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyeret nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) itu, Hamid jadi bulanbulanan. Sejumlah spanduk berukuran jumbo bertaburan di sekitar kampus itu. Isinya serempak: Hamid mundur. Spanduk itu baru lengser jelang Ramadan.

Entah kenapa nama Hamid Awaludin kerap diseret-seret dalam setiap aksi mahasiswa di Makassar. Nama sang Menteri rupanya seksi untuk dijadikan sasaran. Padahal Hamid adalah alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Ada yang menuding Profesor Ahmad Ali, calon jaksa agung versi pasangan Mega-Hasyim, berada di balik sejumlah aksi yang memojokkan Hamid Awaludin dan Jusuf Kalla. Ahmad Ali dan sejumlah akademisi di Makassar disebut-sebut kurang akur dengan Hamid.

Kepada Tempo, sang profesor membantah keras. Mengenal peta politik di Hasanuddin saja tidak, ”Bagaimana saya menggerakkan mahasiswa,” kata Ahmad Ali. Belakangan ini, kata Ahmad Ali, dirinya lebih sering berada di Jakarta dan Bali ketimbang di Makassar.

Sumber Tempo di Makassar menuturkan, selain kurang akur dengan sejumlah akademisi, sang Wakil Presiden juga berseberangan dengan sejumlah tokoh tua seperti Basri Palaguna, Ahmad Arnold Baramuli, Andi Odang, Andi Sose, dan sejumlah politisi senior lainnya. Ketika pemilihan presiden berlangsung, para politisi tua itu sekuat tenaga menyokong paket Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi ketimbang mendukung Jusuf Kalla, putra asli Sulawesi Selatan itu. Para tokoh tua mendukung Mega, ”Bukan karena senang dengan Mega, tapi karena tak suka dengan Jusuf Kalla,” kata sumber ini. Kini, lanjutnya, tak ada kekuatan pengendali politik di Makassar.

Barisan Jusuf Kalla menguasai sekitar sepertiga kekuatan di DPRD Sulawesi Selatan. Jadi, kata Edi Baramuli, ”Paling tidak, kekuatan Jusuf Kalla 33 persen.” Dari 10 pemerintahan daerah di Sulawesi Selatan, separuhnya dipimpin orang Golkar. Jadi kira-kira dukungan pemerintahan 50 persen. Artinya, cukup banyak juga yang tidak dikendalikan oleh Kalla. Itu di sektor politik.

Sumber Tempo menuturkan bahwa persaingan juga terjadi di sektor ekonomi. Ketika pemilihan presiden berlangsung, sejumlah pengusaha sekuat tenaga menyokong paket Mega-Hasyim pada putaran terakhir. Begitu paket Susilo-Kalla yang menang, para pengusaha itu kalang kabut.

Sumber Tempo tersebut punya kisah lucu tentang kekalutan itu. Saat terakhir perhitungan suara, si sumber bertemu dengan seorang pengusaha senior dari Sulawesi Selatan di sebuah restoran di Jakarta. Sembari menikmati menu restoran, mereka menunggu hasil akhir perhitungan suara. Begitu mengetahui Susilo-Kalla dipastikan menang, si pengusaha sontak menepuk jidatnya, ”Mati sudah saya ini.” Ketika ditanya apa maksudnya, saudagar yang telah lama berbisnis di Makassar ini cuma menjawab, ”Habis sudah saya.”

Makassar memang dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak saudagar. Ada keluarga Jusuf Kalla yang menguasai sektor komunikasi, kontraktor, dan otomotif. Keluarga Baramuli yang menguasai bisnis perikanan. Keluarga Andi Sose di sektor pembiayaan. Dan keluarga Aksa Mahmud yang menguasai industri semen. Di luar itu, masih banyak keluarga pengusaha lainnya. Dari seluruh bisnis yang ada di Sulawesi, ”Keluarga Kalla menguasai sekitar 35 hingga 40 persen,” kata Edi Baramuli, adik Ahmad Arnold Baramuli, veteran politisi Golkar.

Mungkin karena menguasai porsi yang banyak, ada pula yang menuding keluarga Kalla memainkan trik monopoli dalam berdagang. Sejumlah pengusaha pun cemas monopoli itu kian berkibar setelah Kalla lolos menjadi wakil presiden. Menurut Edi Baramuli, Mungkin karena keluarga Kalla terjun ke berbagai bisnis, ada yang menuduh keluarga Kalla melakukan monopoli. ”Tapi saya kira Pak Kalla tidak monopoli,” kata Edi, yang mengaku pernah mengalami pahit getir menjadi pedagang beras bersama Jusuf Kalla.

Edi Baramuli mengakui pesaing bisnis keluarga Kalla adalah para kontraktor. Sejumlah pengusaha kontraktor, kata Edi, cemburu ketika tiba-tiba Grup Kalla mendapat proyek perluasan Bandara Hasanuddin beberapa waktu lalu. Halim Kalla, adik Jusuf Kalla yang paling buntut, membantah bahwa pihaknya memonopoli usaha bisnis di Sulawesi. ”Sebagai Ketua Kadin, saya juga ingin anggota saya dapat proyek,” kata Halim, yang menjabat Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Sulawesi Selatan.

Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, Jusuf Kalla menjawab soal proyek perluasan Bandara Hasanuddin itu. ”Coba tunjukkan perusahaan mana di Makassar yang punya peralatan berat yang lengkap seperti Bukaka,” katanya. Edi Baramuli mengakui, ”Wajar saja Grup Kalla dapat karena hanya dia yang punya alat-alat berat dan punya tenaga ahli.”

Persaingan bisnis di Makassar memang cukup sengit. Tapi Aksa Mahmud, adik ipar Jusuf Kalla, justru bersyukur, ”Persaingan sengit itulah yang membuat orang Makassar berpikiran maju,” tuturnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus