Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU spanduk terbentang di Jalan Sulawesi, Makassar, dengan huruf yang tebal dan terbaca jelas oleh siapa saja yang melintas: ”Selamat datang putra terbaik Sulsel HM Jusuf Kalla”. Hari itu persis hari keempat Idul Fitri tahun lalu, dan Kalla tiba di Makassar tepat sebulan setelah dia resmi duduk di kursi Wakil Presiden Republik Indonesia. Hari itu, sebagai putra Sulawesi Selatan, dia mudik dengan satu jabatan politik baru.
Dia bukan putra pertama dari Makassar yang menjadi orang nomor dua di republik ini. Sebelumnya, ada B.J. Habibie yang pernah menjadi wakil presiden pada akhir masa kekuasaan Soeharto. Habibie diangkat menjadi presiden, menggantikan Soeharto yang dipaksa turun oleh gerakan mahasiswa. Kalla dalam hal ini boleh sedikit bangga. Dia wakil presiden terpilih hasil pemilu langsung pertama di republik ini.
Berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Kalla merasa langkahnya tepat. Setahun lalu, semasa kampanye pemilihan presiden, ia mengatakan rakyat membutuhkan keamanan dan kenyamanan. Sebagai seorang pensiunan jenderal dan bekas Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, menurut dia, SBY memenuhi kualitas pertama. Sedangkan soal kenyamanan, yang ditafsirkan Kalla sebagai kesejahteraan, adalah urusan dia. ”Kami pasangan yang cocok. Sebagai duet, kami saling menguatkan,” ujarnya saat itu.
Kini, setahun sudah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla berlangsung. Duet itu baru melangkah satu dari lima depa kekuasaan pemerintahan. Tantangan atas pemerintahan baru ini pun tak kecil. Boleh dicatat, baru dua bulan mereka berkuasa sejak dilantik pada 20 Oktober 2004, bencana tsunami menimpa Aceh dan Nias. Kalla mengambil inisiatif mengambil alih wewenang mengatasi Aceh—langkah yang dituding lawan politiknya melangkahi Presiden Yudhoyono.
SIAPAKAH Muhammad Jusuf Kalla? Psikolog Niniek L. Karim dalam kajiannya tentang calon-calon presiden dan wakil presiden Indonesia, menyebut Kalla sebagai seorang yang terbuka pada ide baru, disiplin, efisien, tangkas, dan memiliki kemauan berbaur serta bekerja sama. Menganalisis wawancara, reportase media massa, dan observasi terhadap rekaman audiovisual Jusuf Kalla, Niniek menyimpulkan Jusuf sebagai orang yang ingin memiliki pengaruh terhadap orang lain. Kalla juga realistis dan selalu berusaha mendapatkan hasil konkret dari kegiatannya. Yang menarik, ”Kalla mengandalkan berbagai macam cara untuk mendapat keuntungan, termasuk mengambil untung dari kesalahan orang lain,” tulis Niniek.
Lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 63 tahun silam, Kalla besar dalam tempaan ayahnya, Haji Kalla, seorang pengusaha yang menegakkan bendera dagang NV Hadji Kalla. ”Saya belajar disiplin dari Ayah, dan kesederhanaan dari Ibu,” ujarnya. Ibunya, Athirah, aktif membangun yayasan pendidikan di Makassar.
Masuk Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bakat politiknya muncul saat dia menjadi ketua senat mahasiswa. Setahun kemudian ia menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Makassar (1965-1966). Saat itu aksi mahasiswa menjatuhkan Orde Lama sedang marak. Dia juga pernah menjadi Ketua Umum Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Sulawesi Selatan (1966-1968).
Seorang sahabat lamanya semasa di HMI Makassar, M. Syarifuddin Husain, mengisahkan bahwa Kalla berwatak keras dan tidak pernah mau menyerah. ”Kalau orang lain bisa, kita juga pasti bisa,” kata Husain meniru Kalla waktu dulu.
Alwi Hamu, rekannya yang lain, mengatakan Kalla juga aktif dalam Harian KAMI. Dia sebenarnya tak berbakat jadi wartawan, tapi kemauannya keras. Waktu itu Indonesia lagi gonjang-ganjing, menjelang jatuhnya Soekarno. Gerakan antikomunisme merebak di mana-mana. Alwi mengenang, waktu sidang MPRS digelar di Jakarta, mereka bisa masuk ruang sidang berkat kartu pers Jusuf. ”Sejak itu, Pak Jusuf menjadi wartawan Harian KAMI,” ujarnya. Kalla pernah menulis berapa kali di koran itu, meski tentang hal-hal yang praktis.
Dalam keluarga, Kalla adalah anak kedua. Tapi ia anak laki-laki yang pertama. Itulah sebabnya ia adalah bahu sandaran bagi adik-adiknya. Ia juga jadi andalan keluarga dalam mengembangkan bisnis. Meski demikian, ia bukan orang yang sok sibuk. ”Saya bukan workaholic,” katanya suatu ketika. Ketika masih tinggal di Makassar, selepas jam kantor tidak sulit ditemui Kalla di rumahnya di Jalan Haji Bau 16.
Jusuf terjun total ke dunia bisnis pada 1967. Ketika itu perusahaan yang didirikan pada 1952 itu sedang sulit. Dunia usaha pada awal Orde Baru sedang tak cerah. Beruntung pada 1969 perusahaan keluarga itu ditunjuk sebagai agen pemasaran mobil Toyota di wilayah Sulawesi. Jusuf juga menang tender pengadaan kendaraan untuk kantor Gubernur Sulawesi Selatan.
Tak hanya menguasai perdagangan mobil, Kalla pun merambah ke bisnis kontraktor. Pada 1969 ia mendirikan PT Bumi Karsa, dan kemudian dipercaya membangun Bandara Hasanuddin, Makassar. Setelah itu, Bumi Karsa ikut pula membangun beberapa bandara, seperti Bandara Wolter Monginsidi, Kendari, dan Bandara Frans Kaisiepo, Biak. Ia juga mendapat kontrak untuk pembuatan koridor Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pada 1976, Jusuf mendirikan PT Bukaka Agro, yang bergerak di bidang produksi pakan ternak dan udang.
Meski juragan mobil, Jusuf terhitung pengusaha sederhana. Suatu hari ia pernah menerima surat tanda nomor kendaraan (STNK) mobil dari Mahmud, sopirnya. ”Mobil Toyota Cressida ini sudah sepuluh tahun dipakai, Pak,” kata Mahmud. Ketika melihat STNK itu, Jusuf sadar lalu tertawa. Setelah itu baru ia mengganti mobilnya dengan Toyota terbaru.
l l l
BERGELUT di bisnis, ia juga masuk politik. Pada 1965 ia tercatat sebagai Ketua Pemuda Sekber Golkar Sulawesi Selatan. Pada 1982 ia terpilih menjadi anggota MPR RI Utusan Daerah dari Golkar. Posisinya itu dipertahankan hingga 2001. Bekas sahabatnya di Golkar Sulawesi Selatan, Edi Baramuli, menyebut Kalla sebagai orang yang keras dan kukuh memegang prinsip. ”Sulit dia dipengaruhi, kecuali ada alasan kuat,” ujar Edi.
Tahun 1999, ia dipercaya Presiden Abdurrahman Wahid menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Tapi jabatan itu hanya bertahan enam bulan. Pada 24 April 2000, Gus Dur memecat Kalla serta Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, Laksamana Sukardi. Saat itu Gus Dur mendapat bisikan soal ”penyelewengan” yang dilakukan oleh keduanya. Hingga akhirnya Gus Dur terjungkal, dugaan itu tak kunjung terbukti.
Kabinet berganti, Gus Dur jatuh dan digantikan Mega. Kalla kembali masuk kebinet sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Dalam kabinet ini nama Kalla sempat melejit karena berhasil mendamaikan warga yang bertempur di Poso dan Maluku melalui perjanjian Malino I dan II.
TAK perlu diragukan, Kalla memang seorang pragmatis. Mengaku tak punya guru dalam politik, Kalla lebih menempatkan dirinya sebagai pedagang dan percaya naluri bisnis sebagai jalan penuntunnya berpolitik. ”Saya bukan orang politik,” ujarnya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Tak jarang, dia kerap menyelesaikan masalah politik dengan logika bisnis.
Dalam soal perdamaian RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diprakarsai Kalla, misalnya. Aksa Mahmud, adik ipar JK, suatu hari bertanya, mengapa Kalla setuju butir partai lokal termuat dalam perjanjian Helsinki. Soalnya, kubu oposisi semisal PDI Perjuangan menilai, dengan itu GAM bisa melepaskan diri dari Indonesia.
Kalla dengan enteng menjawab, bahwa perjanjian politik itu sebetulnya tak beda seperti orang mengajukan kredit di bank. Biasanya bank mengajukan banyak syarat. Tapi, bagi pengusaha, syarat bisa jadi nomor dua, yang penting duit sebagai modal awal bisa cair lebih dulu. ”Dalam konteks Aceh, yang penting damai dan tetap bersama Indonesia,” ujar Aksa, mengutip Kalla.
Keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak adalah contoh lainnya. Menurut Edi Baramuli, Kalla tak bakal goyah dengan keputusan itu, meski mahasiswa di jalanan ramai meneriakkan protes. ”Dia yakin dengan cara itu negara bisa lebih baik,” ujar Edi. Memang, sewaktu pemerintahan Abdurrahman Wahid menaikkan bahan bakar minyak pada 2001, Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan justru aktif melakukan kampanye ke media menjelaskan alasan pemerintah mengambil langkah tak populer itu. Menteri lain, saat itu, memilih tiarap.
Dan kini, dengan keyakinan sama, pemerintah menaikkan harga BBM lagi. Tak cuma lawan politik, kawan seiring pun merasakan kenaikan itu sangat kelewatan. Tapi Kalla mantap. Katanya, langkah itu diambil karena pemerintah tak punya daya membayar subsidi akibat lonjakan harga minyak dunia.
Angka kenaikan tahun ini memang dramatis. Dia dengan tenang mengatakan lebih baik menaikkan harga sekaligus daripada bertahap. Soalnya, teriakan mahasiswa di jalanan bisa sekaligus dihadapi dan politik bisa kembali cepat tenang. ”Paling kuat satu minggu mereka protes,” ujar Kalla enteng.
Dia mengatakan protes itu biasa. Yang penting, pemerintah tak menutup mata. Dana kompensasi BBM, kata Kalla, sudah disiapkan pemerintah Rp 32 triliun. Saat ini, kata dia, program subsidi itu baru berjalan 20 persen dari sekitar 60 juta rakyat yang akan dibagikan duit. Saat ini pemerintah menambah jumlah mereka yang mendapat kupon kompensasi BBM sebanyak 15 juta keluarga miskin yang kebagian jatah Rp 100 ribu per bulan. ”Kita pindahkan subsidi itu, dari orang mampu kepada mayoritas rakyat miskin,” ujarnya.
Memang, tak semua kebijakan itu mulus di lapangan. Di pinggiran Jakarta, ada warga terpaksa minum air mentah karena tak kuat beli minyak tanah. Mereka tak mendapat kompensasi karena luput didata oleh petugas. Ada juga yang sampai tewas karena antre kupon kompensasi. Harga merangkak naik, tapi Kalla tenang saja. ”Kita masih bekerja, proses belum selesai,” katanya.
Seorang tokoh politik pendukung rezim SBY-Kalla mengatakan, langkahlangkah Kalla bisa berbahaya secara politik. Dia melihat ada dua hal yang bisa mengancam pemerintahan SBY-Kalla. Pertama, soal negosiasi dengan GAM yang dinilai kelewat batas. Kedua, soal kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak.
Kalla tak gusar. Dia optimistis semua masalah akan menemukan jalan keluar. Sebelum menjadi wakil presiden, dia pernah dua kali menjadi menteri, pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Semua itu mengajarinya soal watak kekuasaan. ”Politik adalah selalu ikut siapa yang menang,” kata Jusuf seperti dikutip Achmad Kalla, adiknya.
Kalla tak sepenuhnya mengikuti asas itu. Kini ia selalu mempersiapkan diri menjadi pemenang. Selama satu tahun, dia seperti tupai yang melompat zig-zag dari ranting ke dahan. Dari pohon ke gedung. Dari menteri ke wakil presiden. Tapi ada baiknya dia mengingat pepatah lama, bahwa sepandai-pandainya tupai melompat, kalau tak awas, bisa jatuh juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo