Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seberapa besar peran Wakil Presiden dalam menyusun Kabinet Indonesia Bersatu? Jika pertanyaan itu dilontarkan kepada Jusuf Kalla, maka jawabannya sederhana: ”Penyusunan kabinet keputusan akhir ada di Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Saya hanya memberi saran dan pertimbangan. Itu saja,” kata Jusuf Kalla kepada Tempo saat dimintai komentar soal penyusunan kabinet pada akhir Oktober tahun lalu.
Prakteknya tidak sesimpel itu. Kerap terjadi tarik-menarik dan perdebatan antara Presiden dan Wakil Presiden dalam memilih figur yang duduk di kabinet. Bahkan peran Jusuf Kalla disebut-sebut cukup besar dalam menentukan siapa yang layak didaulat menjadi pembantu Presiden Yudhoyono.
Itulah yang terjadi menjelang pengumuman anggota kabinet baru pada 20 Oktober 2004. Alotnya proses penentuan menteri membuat pengumuman kabinet yang sedianya dilakukan pukul 19.30 WIB molor sampai pukul 23.30 WIB. Diliputi ketegangan, pengumuman itu sempat mengalami penundaan tiga kali. Jusuf Kalla terlihat keluar-masuk ruangan di Istana Merdeka, tempat pembahasan para kandidat menteri. ”Mengurus RT (rukun tetangga) saja lama, apalagi ini menyusun kabinet,” kata Kalla berkilah.
Di menit-menit terakhir, mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat itu masih mewawancarai beberapa kandidat menteri, baik secara langsung maupun melalui telepon. Figur yang ”disaring” lagi oleh Jusuf Kalla antara lain Purnomo Yusgiantoro, calon Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dia juga sempat menghubungi Rizal Ramli yang namanya masuk nominasi kandidat menteri. ”Sekitar pukul 21.30 (20 Oktober 2004), Jusuf Kalla menelepon saya. Beliau menawarkan jabatan Menteri Perindustrian,” kata Rizal Ramli kepada Tempo, akhir Oktober tahun lalu.
Jusuf Kalla sendiri mengakuinya. Saat itu, katanya, ”Kami masih perlu mengklarifikasi enam menteri yang belum selesai.” Masuk pula dalam deretan calon menteri yang sempat dihubungi Kalla adalah M.S. Ka’ban (Menteri Kehutanan), Siti Fadilah Supari (Menteri Kesehatan), dan Alwi Shihab (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat).
Ada sejumlah menteri yang memang dijagokan Kalla. Masuknya Aburizal Bakrie sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, misalnya, disebut-sebut atas perjuangan Jusuf Kalla. Sebab, sebelumnya beredar kabar Menko Perekonomian pilihan Yudhoyono adalah Purnomo Yusgiantoro.
Menurut sumber Tempo, Jusuf Kalla tidak mungkin mencoret nama Aburizal. ”Ical berjasa menyokong JK dalam kampanye pemilu presiden lalu,” kata sumber itu. Sebagai jalan tengah, akhirnya Purnomo Yusgiantoro digeser ke posisi Menteri ESDM.
Lain lagi versi Jusuf Kalla. Menurut dia, sejak awal Yudhoyono sudah menyebut nama Ical. Bahwa pilihan akhirnya jatuh kepada Aburizal Bakrie, kata Kalla, lebih didasari bahwa Menko Perekonomian harus seorang praktisi. Alasannya, di masa mendatang pemerintah akan lebih menggerakkan sektor riil. ”Karena itu, Menkonya harus berangkat dari dunia riil,” kata Kalla.
Perbedaan pendapat antara Kalla dan Yudhoyono juga membuat tercoretnya nama Rizal Ramli. Sebelumnya, mantan Kepala Bulog ini diplot untuk posisi menteri bidang ekonomi. Rizal bahkan sudah dipanggil Yudhoyono ke Cikeas untuk wawancara sebagai kandidat menteri. ”Pak Bambang menawarkan jabatan Menteri Keuangan atau Menteri Badan Usaha Milik Negara,” kata Rizal Ramli.
Rupanya sang Wakil Presiden memiliki pandangan lain. Apalagi, kabarnya, ada sejumlah menteri di bidang ekonomi yang akan mundur jika Rizal masuk kabinet. ”Ada banyak SMS yang berisi: akan ada menteri mundur, termasuk Sri Mulyani (Ketua Bappenas) dan Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan),” kata Rizal Ramli.
Selama ini Rizal dikenal sebagai ekonom yang tidak sreg dengan kehadiran International Monetary Fund (IMF). Sementara itu, Sri Mulyani berada di kubu sebaliknya. Rizal sendiri mengaku sempat ditawari posisi lain, yakni Menteri Perindustrian, tapi ditolaknya. ”Saya tidak mau menjadi menteri hanya sebagai pajangan saja,” katanya.
Kubu pro dan kontra IMF itulah membuat nama Rizal Ramli akhirnya tersisih. ”Seorang Menkeu harus netral dan konservatif. Jadi, kami cari orang moderat; bukan Sri Mulyani dan bukan Rizal Ramli,” kata Kalla. Dalam pikiran Kalla, orang itu adalah Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan dan Sugiharto sebagai Menteri BUMN.
Tampilnya Sugiharto disebut terkait dengan jasa PT Medco Energi—Sugiharto adalah Direktur Keuangan Medco—menyokong pasangan Yudhoyono-Kalla selama masa kampanye pemilihan presiden. Namun, hal ini dibantah Kalla. ”No... zero. Tidak ada itu. Sugi yang paling cocok karena pikirannya korporasi,” katanya. Sugiharto sendiri akhirnya digolongkan sebagai menteri yang berasal dari Partai Persatuan Pembangunan.
Menteri lain yang diduga masuk karena sokongan Jusuf Kalla adalah Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Nama mantan Kepala Pusat Data dan Penelitian Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita itu masuk di menit-menit terakhir menjelang kabinet diumumkan. ”Saya panggil dan wawancarai Siti pada jam 7 malam,” kata Kalla. Pilihan itu jatuh karena beberapa hal. Selain untuk memenuhi kuota empat perempuan dalam kabinet, kata Kalla, Siti punya logika yang baik dan jujur.
Sebenarnya, calon kuat Menteri Kesehatan waktu itu adalah Farid Husain, orang dekat Kalla. Farid tercatat pernah membantu Kalla dalam membangun perdamaian di Poso dan Ambon. Terakhir, Farid juga ikut terlibat aktif dalam melahirkan perjanjian damai antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
”Sampai jam 7 malam itu, masih nama saya (sebagai Menteri Kesehatan),” kata Farid. Nama Farid akhirnya tercoret karena Yudhoyono-Kalla, sesuai dengan janji mereka dalam kampanye, harus menempatkan empat wanita dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Pada malam itu sudah tiga wanita yang di plot menjadi menteri, masing-masing Menteri Pemberdayaan Perempuan (Meutia Farida Hatta), Menteri Perdagangan (Elka Mari Pangestu), dan Kepala Bappenas (Sri Mulyani). Akhirnya, pilihan jatuh ke Siti Fadilah Supari yang diangkat sebagai Menteri Kesehatan. Farid sendiri kini menjadi Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan di Departemen Kesehatan.
Penempatan Hamid Awaludin sebagai Menteri Hukum dan HAM juga tidak bisa dilepaskan dari peran Jusuf Kalla. Alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar itu dikenal sebagai ”orangnya” Jusuf Kalla. Hubungan keduanya terjalin sejak Hamid masih aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Makassar—dulu Ujungpandang). Saat itu, Hamid sering terlibat diskusi dengan Kalla yang juga pembina HMI Makassar.
Hubungan itu berlanjut. Ketika Kalla—kala itu Menko Kesra—ditugaskan untuk mendamaikan kerusuhan di Ambon dan Poso, Hamidi direkrut sebagai anggota timnya. Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum itu juga diajak Kalla ketika merintis perundingan damai antara RI dan GAM.
Sumber Tempo yang dekat dengan kalangan Istana pernah membisikkan bahwa Yudhoyono sempat mencoret nama Hamid dari jajaran calon menteri. Doktor ilmu hukum itu akhirnya masuk kembali setelah Jusuf Kalla gigih memperjuangkannya. ”Orang pertama ahli hukum dari Makassar yang dikenal Jusuf Kalla, ya Hamid itu,” kata sumber Tempo tersebut sambil berkelakar.
Pencoretan nama Hamid dari daftar menteri dibantah Jusuf Kalla. Sudah lama, kata Kalla, Yudhoyono mengenal Hamid. Tentu saja ada faktor lain yang tidak kalah penting kenapa Kalla terpikat oleh Hamid. ”Dia orang Makassar. Masak, tidak ada satu pun orang Makassar (menjadi menteri),” katanya.
Dengan proses seperti itulah akhirnya Kabinet Indonesia Bersatu yang terdiri dari 34 menteri dan dua pejabat setingkat menteri tersusun. Dari jumlah itu, memang tidak semuanya atas saran Jusuf Kalla. Sebagian dari nama-nama menteri merupakan usulan partai politik yang menyokong pasangan Yudhoyono-Kalla. Presiden Yudhoyono sendiri juga cukup dominan dalam menentukan susunan kabinet. Hanya, dibanding dengan era sebelumnya, peran wakil presiden kali ini tampak lebih besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo