BERITA duka datang dari Polres Tulungagung pagi itu. Gatot Soenjoto dan istrinya, Nyonya Hartati, hampir pingsan. Coba saja, anak mereka, Nunung Sutejo, dikabarkan meninggal dunia di Jawa Timur. Jenazahnya masih disimpan di RS Syaiful Anwar, Malang. Hari itu juga, pertengahan Juli lalu, Gatot dan istrinya berangkat ke Malang. Sesampai di kamar jenazah RS Syaiful Anwar, Nyonya Hartati tak kuat menahan tangisnya. Nama anaknya terikat di jempol kaki sesosok tubuh yang tertutup kam. Tapi tangis itu berhenti ketika Hartati membuka kain penutup di bagian wajah anaknya. Ia ragu, itu bukan anaknya. Lalu suami-istri ini mengamati lebih teliti. Bukan. Keduanya penasaran. Satu per satu mayat di kamar itu diperiksanya. Siapa tahu salah pasang label nama. Sudah habis mayat diperiksa, tapi tak juga ditemukan mayat anaknya. Hartati jadi pikir-pikir, siapa tahu anaknya masih hidup. Maka, ia segera memutuskan untuk mengajak suaminya mencari Nunung di tempat kosnya di Malang. Nunung -- ini anak laki, lho -- adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Gajayana Malang. Nunung tak ada. Tapi teman satu kos menyebutkan Nunung sedang belajar di rumah kawannya. Gatot langsung sumringah dan Hartati tak lagi bermata sembap. Harapan yang tadi kuncup kini mekar kembali, seperti lirik lagu pop. Alhamdulillah, Nunung ditemukan segar-bugar di rumah kawannya. Anak ini diperlakukan bagai bocah kembali, dipeluk dan diciumi oleh ayah ibunya. Nunung jadi bingung. Ia malah menangis, dikira akan dibawa pulang ke Tulungagung dan dikawinkan. Setelah diberi tahu apa yang terjadi, Nunung pun kaget. Tapi ia tetap menangis, kali ini terharu. Bertiga lalu berangkat ke rumah sakit, langsung menuju kamar jenazah. Nunung yang segar itu lantas mengurus jenazah Nunung. Nah, ketahuanlah. Nunung palsu itu bernama Donny, teman Nunung asli. Kisahnya, Donny ini memang meminjam motor Nunung, sekalian dengan SIM dan STNK-nya. Ketika kecelakaan itu terjadi -- motor menabrak palang pintu kereta api di Blimbing, Malang -- polisi menemukan SIM dan STNK tadi. Berdasarkan itulah identitas korban ditandai. Polisi tentu tak salah, karena korban yang langsung meninggal itu tak bisa ditanya apa benar punya nama seperti dalam SIM dan STNK. Biarpun dibentak. Berita yang agak mirip atau dicari mirip-miripnya, tentu ada. Misalnya yang melibatkan nama Ki Hadisugito, dalang kondang asal Dukuh Toyan, Kulonprogo, Yogya. Mobil colt yang ditumpangi Hadisugito tabrakan dengan truk di Magelang, akhir Juli lalu. Semua penumpang colt tewas, termasuk Hadisugito. Berita duka itu segera menyebar ke Wonosobo, Pemalang, Semarang, Gunungkidul, Yogyakarta, bahkan sampai Jakarta. Beberapa penggemar wayang kulit dari Purworejo segera melayat ke rumah Ki Hadisugito di Toyan. Ada yang membawa beras, makanan, uang sebagai tanda ikut belasungkawa. Ki Hadisugito yang sedang asyik leyehan menyongsong tamunya dengan gembira. Ia mengira ada yang akan menanggapnya. Tamunya, terbengong-bengong. "Lho, melayat siapa? Yang meninggal Hadisugito, bukan Ki Hadisugito," ujar Pak Dalang. Setelah asal dan usul jelas, semuanya jadi tertawa. Celakanya, esok-esoknya masih saja ada pelayat yang nyasar. Kalau yang menjenguk cuma satu dua orang, Ki Dalang tak repot. "Tapi, selama empat hari berturut-turut, ratusan orang datang ke rumah saya," cerita Ki Hadisugito. "Mereka menduga saya meninggal dalam kecelakaan ketika pulang dari pentas di Semarang." Pena, eh, nama bisa sama, yang membedakan siapa dia di belakangnya. Seperti bulan lalu, di koran terbitan Jakarta, ada ucapan belasungkawa atas meninggalnya Slamet Rahardjo. Banyak yang tersentak. Begitu iklan itu dibaca cermat, dan disebut-sebut usia yang wafat 65 tahun, punya cucu segala, jelaslah bahwa Aktor Slamet Rahardjo sangat jauh dari nama yang dimaksud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini