DALAM masa pasca-migas dewasa ini, makin dirasakan perlunya sistem keuangan yang dapat meningkatkan mobilisasi tabungan dalam negeri dan sekaligus menurunkan tingkat suku bunga. Dewasa ini, anggaran negara tidak mungkin lagi memberikan subsidi bagi lembaga keuangan seperti di masa lalu. Hanya dengan lembaga keuangan yang efisien, terdapat kemungkinan untuk mewujudkan berbagai sasaran yang ingin dicapai dalam Pelita V mendatang. Selain dapat menawarkan tingkat suku bunga yang rendah, lembaga keuangan juga dituntut untuk dapat menawarkan berbagai jasa yang memperlancar transaksi keuangan masyarakat dengan mutu yang prima dan dengan biaya yang relatif rendah. Dalam mengejar target tingkat laju pertumbuhan ekonomi 5% setahun selama Pelita V itu, pemerintah akan menekankan pada peningkatan penggunaan kapasitas barang modal terpasang yang telah ada. Namun, restrukturalisasi, rehabilitasi, pemeliharaan, dan pengoperasiannya tetap memerlukan investasi tambahan yang cukup besar. Tingkat suku bunga yang tinggi dewasa ini telah menyebabkan mahalnya biaya investasi tambahan yang diperlukan untuk dapat mengejar sasaran tingkat laju pertumbuhan tersebut. Tanpa adanya peningkatan tabungan dalam negeri dan nilai ekspor, tidak akan ada kemungkinan untuk menurunkan tingkat Debt Service Ratio (DSR) dari 35% sekarang ini menjadi 25% pada akhir Pelita V. Untuk dapat melunasi pembayaran utang luar negeri, diperlukan peningkatan tabungan dalam negeri. Karena utang tersebut dalam valuta asing, pembayaran utang juga memerlukan peningkatan ekspor. Sementara itu, pemerataan tidak akan mungkin diwujudkan jika tidak terbuka kesempatan bagi pengusaha, petani, dan pedagang kecil untuk memperoleh kredit, dengan tingkat suku bunga yang dapat mereka jangkau, dari lembaga keuangan formal. Karena berbagai bentuk perlindungan diskriminatif yang diberikan, khususnya pada bank-bank milik negara, sistem keuangan kita yang ada dewasa ini sangat tidak sehat. Sistem tersebut didominasi oleh sektor perbankan yang merupakan sumber utama pembelanjaan usaha. Inti sektor perbankan tersebut adalah delapan bank pemerintah (termasuk BI), khususnya lima bank umum milik negara. Sebagai kesatuan, bank-bank negara ini menduduki posisi monopoli dalam perkreditan dan menduduki posisi monopsonis dalam hal dana. Kedudukan monopoli bank-bank negara berkaitan erat dengan sistem perkreditan di masa lalu, yang didasarkan pada sistem pagu kredit selektif, dan subsidi tingkat suku bunga. Walaupun jumlah sudah jauh berkurang, kredit program seperti ini masih cukup besar setelah Deregulasi 1 Juni 1983. Sampai saat ini, uang minyak dan dana pinjaman serta bantuan luar negeri merupakan bahan bakar penggerak motor pembangunan nasional kita. Kedua jenis bahan bakar tersebut masuk pada kopor pemerintah dan kemudian disalurkan ke dalam perekonomian nasional hanya melalui bank-bank negara. Bank-bank negara merupakan penyalur utama kredit program yang dananya dijamin oleh BI dan risikonya ditanggung oleh negara. Akibatnya, lebih dari 70 persen aktiva perbankan dikuasai oleh bank-bank negara. Sisanya dibagi masing-masing separuh oleh kurang lebih 70 bank swasta nasional (termasuk 27 BPD) dan oleh 10 kantor cabang bank asing (termasuk Bank Perdania, yang merupakan bank patungan). Sebaliknya, hanya bank-bank negara yang berhak melayani transaksi keuangan lembaga-lembaga negara maupun BUMN. Dengan adanya hak-hak istimewa seperti ini, dan dengan jaringan kantor cabang yang lebih luas, kelompok bank negara menjadi monopsonis dalam hal mobilisasi dana. Ternyata, hak monopsonis dalam hal mobilisasi dana yang diberikan kepada kelompok bank negara juga tidak mencegah terjadinya pelarian modal ke luar negeri. Karena pembelanjaan kredit mereka sudah dijamin oleh BI dan risikonya ditanggung oleh negara, sebagian besar dana yang mereka mobilisasikan menjadi kelebihan cadangan di atas jumlah yang diprlukan (excess reserves). Karena terbatasnya pasar antarbank dan investasi di dalam negeri sebagian besar kelebihan cadangan tersebut mereka tempatkan dalam berbagai bentuk aktiva luar negeri. Penempatan dalam aktiva luar negeri seperti ini merupakan pelarian modal. Besarnya pelarian modal seperti ini juga ditunjukkan oleh cukup besarnya porsi sumber pendapatan bank-bank negara dari keuntungan transaksi valuta asing yang dimuat dalam neraca yang dipublikasikan dalam media massa. Untuk dapat meningkatkan efisiensi sistem perbankan tersebut, struktur yang kurang sehat dewasa ini perlu dirombak. Sasaran pokok peningkatan efisiensi tersebut adalah untuk dapat menurunkan biaya dana, biaya intermediasi, serta risiko kredit macet industri perbankan. Kedudukan monopoli kelompok bank negara dalam pasar perkreditan dan posisi monopsonis dalam hal sumber dana perlu dikoreksi. Pada gilirannya, koreksi tersebut memerlukan deregulasi dalam hal perizinan, perkreditan, dan pendanaan agar persamgan pasar yang sehat dapat diciptakan. Persaingan yang sehat dapat tercipta jika diskriminasi dapat dihilangkan dan BI dapat menjadi bank sentral yang adil bagi semua bank, termasuk bagi bank swasta maupun bagi bank-bank sekunder. Falsafah pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan bank-bank negara perlu dirombak, modal perbankan perlu diperkukuh pengawasan oleh BI perlu diperketat, sedangkan operasi dan pembukuannya perlu dibuat menjadi lebih terbuka bagi masyarakat luas. Penguatan modal bank hanya dapat ditingkatkan melalui merger saja. Sementara itu, pengembangan perbankan yang dapat melayani koperasi, petani, nelayan, pengusaha, dan rakyat kecil perlu memperoleh perhatian khusus. Adanya lembaga perkreditan rakyat yang lebih efislen memungkinkan tercapainya sasaran pemerataan dan perwujudan Pasal 33 UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari. BRI, yang merupakan pemegang hak monopoli untuk mengembangkan dan membina bank-bank sekunder, ternyata kurang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Kupedes dan Simpedesnya baru dapat melayani golongan menengah dan atas di daerah pedesaan. Sementara itu, lembaga keuangan koperasi (seperti Bukopin) perlu memperkukuh diri dan memusatkan perhatiannya pada penguatan modal usaha koperasi, sebelum bertindak sebagai jagoan membantu bank dan usaha-usaha nonkoperasi dengan menggunakan sumber daya koperasi. Jika bank swasta nasional, bank-bank sekunder pada BPD di Bali dapat memobilisasi dana dari penabung kecil dan sekaligus menyalurkan kredit pada golongan nasabah itu, kenapa bank-bank lain dan di daerah lain tidak bisa? * Dosen pada Fakultas Ekonomi UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini