TANAMAN langka mungkin tak musnah bila dikeramatkan? Contohnya pohon jati di Desa Jatimulyo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Batangnya mirip kayu jati (Tectona grandis), tetapl daunnya seperti kebanyakan pohon kluwih atau Artocarpus communis. Rudjiman, Kepala Laboratorium Dindrologi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, memetik daun dan ranting pohon tersebut untuk ditelitinya. "Sepintas saja dilihat, pohon itu terasa aneh," tutur alumnus Universitas Pertanian Wageningen Belanda itu. Lima tahun silam ia sudah mendapat kabar tentang pohon itu dari seorang yang berasal dari Jatimulyo, kemudian jadi pegawai di fakultasnya. Karena kesibukan dan keburu menimba ilmu ke Belanda, hingga ia meraih doktor tahun lalu, informasi itu terabaikan. Baru Mei lalu Rudjiman datang ke Jatimulyo -- sekitar 25 km tenggara Yogya. Setelah melihat sendiri, ia tak berani bicara sembarangan. Dari pelbagai literatur yang pernah dipelajarinya, ia belum menemukan jawaban mengenai pohon aneh tadi. Kemudian, melalui surat, ia menghubungi bekas dosennya di Belanda. Awal Agustus lalu datang balasan berikut fotokopi indeks Kewensis dan indeks Londinensis, daftar semua jenis pohon jati yang pernah ditemukan, hingga jenis terbaru. Tetapi jenis pohon itu belum masuk dalam daftar tadi. Memang ganjil. Ciri jati itu tak ada persamaannya dengan jenis jati lain yang pernah ditemukan dan dipublikasikan. Koleksi ilmiah rupanya belum menyentuh pohon yang tumbuh di perbukitan Gunungkidul yang tandus itu. Sementara belum ada nama ilmiahnya, jati-kluwih ia golongkan ke dalam keluarga dekat Tectona grandis. Pohon aneh itu memiliki ciri, antara lain batangnya lepas, cabangnya pendek tetapi banyak. Jadi, bukan seperti pohon jati yang berbatang lepas dan cabangnya panjang. Daun jati-kluwih itu bertoreh mirip daun kluwih. "Kalau diusap, daunnya terasa lebih halus dibandingkan daun jati biasa," tutur Rudjiman. Sedangkan buahnya hijau lonjong, menyerupai belimbing wuluh, namun tidak mirip buah jati yang berwarna cokelat muda dan bentuknya agak bulat. Daun jati-kluwih itu, seperti kebanyakan pohon jati biasa, kalau sedang musim diserang ulat juga jadi makanan empuk binatang itu. Penduduk di Desa Jatimulyo menyebut pohon itu tetap dengan nama jati-kluwih. Tumbuh di tepi jalan yang membelah desa itu, pohon tersebut terus bertahan hidup, sehingga botaniwan seperti Rudjiman, 44 tahun, berkesempatan menelitinya. Lingkaran batang bawah pohon hanya bisa ditangkup dengan tiga pasang tangan orang dewasa. Kira-kira diameternya 1,25 meter. Berapa umur pohon itu tak jelas, karena belum dilakukan penggergajian pada batangnya, sebagai cara untuk mengetahui lingkaran tahunnya. Tapi melihat wujud luar batangnya saja, usianya diperkirakan lebih dari seabad. "Sejak kakek saya masih kecil, pohon itu sudah ada," tutur Nyonya Wongso, 70 tahun. Dia seorang di antara pemilik tanah yang ditumbuhi pohon jati itu. Banyak orang kota, misalnya dari Jakarta, Bandung, Semarang, yang tirakatan di bawah pohon rindang yang tingginya sekitar 14 meter itu. "Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, rata-rata tidak kurang dari 10 orang bersemadi di situ," tutur Kasiman. Ia anak Wongso, seorang warga di sana yang katanya sudah turun-temurun menjadi "juru kunci" sang pohon. Karena sudah lama dikeramatkan, maka tak pelak bila orang yang beduyun-duyun hadir di bawah pohon itu ingin tuahnya. Ada yang minta naik pangkat, enteng jodoh, lulus ujian. Tapi kebanyakan, menurut Kasiman, mereka minta petunjuk nomor KSOB. "Kalau nasib lagi baik, permintaannya tentu makbul," tambah Kasiman. Entah dilebih-lebihkan, Kasiman masih menyimpan cerita tentang keberhasilan orang yang pernah tirakatan di situ. Misalnya, ada seorang wanita dari Yogyakarta, enam tahun silam, permintaannya makbul dengan memenangkan Undian Harapan. Membalas kaulnya yang berhasil itu, kemudian ia memplester dengan semen tanah di sekitarnya. Sedangkan penduduk setempat bergotong royong memagari sang pohon dengan menumpukkan batu-batu. Soal macam apa pohon itu, agaknya tak ada orang yang pusing. Mereka malah tak peduli bahwa jenisnya belum ada duanya di tempat lain. Mereka juga tak bermaksud menebangnya. Walau demikian, Dr. Rudjiman sudah memberi aba-aba. Ia khawatir jati-kluwih itu suatu ketika dimusnahkan. "Secara lisan kami sudah memperoleh jaminan. Bupati Bantul berjanji mau ikut menjaganya," katanya. Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Yogyakarta juga sudah diberi tahu. Ia prihatin melihat "kesehatan" pohon itu. Sebab, di atas akar-akarnya yang menonjol itu banyak ditaruh sesaji, termasuk membakar kemenyan, yang berakibat pangkal batangnya akan berlubang. Hal itu bisa mematikan anak jati-kluwih yang kini cuma ada empat batang. Syahdan, perkara keramat-mengeramat itu ada baiknya juga. Dengan demikian, orang tak berani sembarangan menghabisi riwayatnya. Konon, penduduk setempat juga tak berani memanfaatkan ranting-ranting yang patah, daun, ataupun buahnya. Takut kualat. Jati-kluwih itu malah jadi perlambang keadaan desa itu. Sebab, masih ada masyarakat yang percaya, misalnya ada batang patah, maka pemimpin di desa itu akan diganti atau pindah. Jika ranting-ranting juga patah, maka staf-staf di kantor kepala desa bakal diganti. Mereka pun percaya bahwa jati-kluwih itu peninggalan Sunan Kalijaga. Sementara itu, Rudjiman, yang masih penasaran karena belum menemui fakta ilmiahnya, meminta pada seorang mahasiswa pascasarjana di Fakultas Kehutanan UGM untuk meneliti anatomi kayu pohon tersebut. Ia bahkan merencanakan penelitian yang menyangkut kromosomnya. "Tapi diperlukan persemaiannya terlebih dulu," katanya. Berarti masih menunggu awal tahun depan, sewaktu musim buah jati-kluwih datang. Suhardjo Hs. & Aries Margono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini