PAMERAN seni lukis Indonesia di forum internasional jarang berlangsung. Pada 1953, Kusnadi pernah memilih dan membawa lukisan para pelukis Indonesia ke Bienalle Sao Paolo, Brasil. Namun, kegiatan penting itu tak berlanjut. Alasannya, terhadang kesulitan dana. Dengan berbagai upaya, sembari menyodok ongkos dari sana-sini, seni lukis kita tetap berusaha kiprah. Pada 1971 dan 1979 tampil di New Delhi. Pada 1979 di Tokyo dan 1981 di Bangladesh. Lalu, sambil memperhitungkan pameran berkala Seni Lukis ASEAN -- dengan usaha menghadirkan lukisan-lukisan di antara yang terbaik itu -- pada 1985 kita muncul di Fukuoka, Jepang. Sekarang pameran serupa tampil pula di John A. Burns Hall, East-West Center, Honolulu. Kesempatan muncul di sana termasuk langka. EWC, lembaga pendidikan, latihan, dan penelitian yang didirikan pada 1960. Di situ, sekitar 200 ahli bertemu, bicara berbagai soal, di antaranya masalah kebudayaan. Lembaga di Hawaii itu, selain dibiayai Kongres Amerika Serikat, juga dapat dukungan finansial dari 20 negara. Anggotanya 25.000 orang, berasal dan seluruh kawasan Asia Pasifik dan Amerika. Pameran di Honolulu itu berlangsung sejak 15 Agustus hingga 14 Oktober mcndatang. Ini mungkin pameran seni lukis Indonesia pertama yang agak lama di luar negeri. Biasanya pameran semacam itu -- apalagi di mancanegara dan jarang terjadi -- tak lebih dari dua minggu. Lukisan-lukisan sebagai wakil Indonesia yang ditampilkan di sana dipilih dari koleksi Museum Neka, Ubud. Kenapa tidak diseleksi langsung dari yang ada sekarang? Jusuf Wanandi, pengusaha dan kolektor lukisan -- yang juga bercokol di East-West Center -- mengatakan, koleksi dari Museum Neka di Bali itu diharapkan memang mewakili dunia seni lukis Indonesia, karena lengkap serta kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan. Katanya, malah lukisan-lukisan koleksi Museum Neka siap gotong. Artinya, semua sudah dikemas dcngan baik dan tinggal dipajang. Pameran ini dibagi dalam dua bagian. Pertama, menampakkan peta kekuatan seni lukis Indonesia masa lalu dan mutakhir. Kedua, menampilkan potensi lingkungan dan budaya Indonesia, khususnya Bali, yang sanggup menghadiahkan nama akbar dan inspirasi besar pelukis-pelukis di mancanegara. Singkat kata: semua terbalut dalam frame seni lukis negeri ini. Lukisan yang dipamerkan itu diseleksi dan dikoordinasikan oleh Benji Bennington dan Garret Kam. Mereka menghadirkan karya kontemporer Affandi, Dullah, Abdul Azis, Nyoman Gunarsa, Srihadi, Widayat. Sedangkan dari yang masih melekat pada tradisional Bali terpilih karya Dewa Putu Bedil, Made Budi, Made Nyana, Nyoman Lesu, Ida Bagus Rai, Made Sinteg, I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made Wija, dan Ketut Soki. Dari Museum Neka dipilih untuk dihadirkan ke sana adalah karya W.G. Hofker, Rudolf Bonnet, Donald Friend, Theo Meir, Paul Nagano, Arie Smit. Mereka merupakan pelukis asing yang pernah hidup di Bali, menggali ilham di Bali, menstimulasi pembaruan seni dan memanifestasikan seni lukis tentang Bali. Dengan begitu, panorama seni lukis Indonesia yang ditampilkan punya atmosfer lain, selain terasa meniupkan udara promosi negeri Indonesia. Atau, lagi-lagi Bali. "Dan semua tahu, Bali adalah negeri yang sangat mengesankan masyarakat dunia. Dari Bali, seni lukis Indonesia kita perkenalkan," kata Suteja Neka, pemilik lukisan-lukisan yang dipamerkan itu. Untuk publik mancanegara, pergelaran ini punya dua ujung tombak. Jika tak tertawan dengan gemuruh kreatif seni lukisnya yang asli, orang boleh tergetar pada manifestasi pelukis-pelukis asing tentang Indonesia. Pada karya-karya Hofker, misalnya. Ia menampilkan kelembutan permainan crayon, yang disorongkan secara akademis. Sudut pandangannya atas panorama Bali terasa unik, dengan seting serta bloking komposisinya yang diatur. Goresannya menyuguhkan kelembutan yang tiada tara, dengan pengaturan gelap terang yang amat rasional, dan dengan balutan warna terakotanya yang khas. Lukisan-lukisan pelukis Belanda yang pernah bermukim di Bali tahun 1938 sampai 1944 ini umumnya tercipta di atas kertas. Pada pameran ini, dua lukisan crayonnya, Pura di Campuan dan sesaji di Pura, dihadirkan. Karya Hofker punya nilai ilustratif tinggi dan pernah digunakannya untuk ilustrasi buku Bali as seen by Willem Hofker, yang diterbitkan Omniboek di Den Haag, 1978. Hofker meninggal pada 1981. Juga ada yang menarik dari Donald Friend, pelukis kelahiran Sydney, Australia. Ia hidup di Bali tahun 1966 sampai 1980. Karya-karya Friend berinti pada spontanitas garis, yang tampak dijalankan nalurinya ketika menangkap obyek-obyeknya di Bali. Unsur-unsur ketergesaan ketika menggubah bentuk muncul sebagai keunikan. Sehingga, karyanya, yang dibuat di atas kertas dengan gouache seperti dalam Layar Wayang Kulit, jujur dan polos. Hadirnya lukisan yang dibuat seolah "asal jadi" seperti itu pernah mengguncangkan pemikiran pembaruan seni lukis Bali. Contohnya pada karya Theo Meier, Sesajen untuk Dewi Sri. Lukisannya juga menyiratkan keinginannya meninggalkan tapak-tapak kuas pada kanvas, denan kekusaman warna primer. Theo, yang lahir di Swisspada 1908, baru pergi dari Bali pada 1961, setelah hidup di pulau itu 20 tahun. Pameran juga menawarkan yang serba klasik. Ini dibawa oleh seni lukis Bali "mazhab" Kamasan, awal abad ke-20. Kontrasitas bentuk penciptaan ini jelas menarik. Sebuah imbasan sejarah kreativitas dicoba dialirkan. Dan di tengah semua itu, pergelaran menyajikan pula demonstrasi melukis Nyoman Lesug, pelukis tradisional yang dianggap terkuat dalam pantarannya, akhir-akhir ini. Lesug memperagakan proses awal dan akhir ia melukis. Di samping dia, Nyoman Gunarsa mendemonstrasikan penciptaan seni lukis modernnya yang ekspresionistis. Neka sendiri juga mengadakan presentasi melalui slide Art of Bali. Agus Dermawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini