LIMA JAMAN PERWUJUDAN INTEGRASI WAJAR
Siauw Giok Tjhan
Teratai, Jakarta-Amsterdam, 1981, 441 hal.
SETELAH kurang lebih limabelas tahun menghilang dari kehidupan
politik Indonesia, bekas ketua umum Baperki (Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) muncul lagi --dengan
sebuah buku setebal 441 halaman. Agaknya, di antara tapol yang
dianggap terlibat G30S, barulah Siauw sendiri yang menandai
kehadiran kembalinya dengan menerbitkan sebuah buku politik.
Buku yang bersifat memoar ini ditulis 1975 sampai 1978, semasa
tahanannya diubah menjadi tahanan rumah, kemudian tahanan kota.
Naskah disempurnakan lagi sewaktu ia di negeri Belanda untuk
berobat setelah pembebasannya 1978 (hal. ii). Bagian-bagian
terakhirnya menunjukkan bahwa naskahnya masih dikerjakan sampai
pertengahan 1981.
Siauw lahir di Surabaya, 23 Maret 1914. Setelah Iylus HBS di
kota yang sama ia bekerja pada surat kabar Mata Hari dan aktif
dalam Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Setelah proklamasi
kemerdekaan diangkat menjadi anggota Komite Nasional Daerah
Malang, kemudian Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), awal
1946. Dalam Kabinet Amir Syarifuddin I dan 11 (194748) menjabat
Menteri Negara untuk Urusan Peranakan.
Ia diduga anggota PKI gelap sebelum Perang Dunia II. Dalam
peristiwa Madiun ia ditahan, kemudian dibebaskan lagi menjelang
Aksi Militer II. Siauw ikut dalam Konperensi Meja Bundar (KMB)
sebagai wakil golongan minoritas keturunan Cina -- dalam RIS ia
menduduki kursi wakil golongan itu. Ia tetap duduk dalam DPR dan
MPRS sampai dibebastugaskan, 1965.
Kecuali di bidang politik, ia juga melibatkan diri dalam
penerbitan pers. Antara lain Liberty (Malang, 1946), Pemuda,
Sunday Courier (akarta, 1950), Republik (bulanan, Surabaya,
1950, yang kemudian dijadikan harian terompet Baperki). Pernah
juga menjadi direktur Harian Rakyat (1950-1953).
Ia, yang ikut mndirikan Baperki, 1954, menjabat ketua umumnya
sampai dibubarkannya ormas itu.
Bab pertama buku ini lebih bersifat otobiografis. Suatu sketsa
tentang keluarga, lingkungan, pendidikan dan sentuhan pertama
Siauw dengan dunia politik di Surabaya. Bab-bab selanjutnya
menggambarkan aliran dan gerakan politik golongan Peranakan
Cina, dan keadaan sosial ekonomi golongan ini--terutama di
Surabaya yang dikenal Siauw dengan baik.
Bagian yang berkisah tentang KMB dan RIS memang banyak
mengungkapkan informasi dan catatan yang belum pernah dibukukan.
Tentu saja rangkaian peristiwa yang dipaparkan tak dapat lepas
dari warna pandangannya sendiri.
Sesuatu yang diharapkan pembaca dari Siauw, sebagai tokoh
pendiri dan Ketua Umum Baperki, bahwa buku ini akan
mengungkapkan banyak ikhwal intern ormas itu, ternyata tak
terpenuhi. Misalnya bagaimana Baperki menjadi "progresif
revolusioner" pada masa itu. Kemudian menjauh atau keluarnya
tokoh keturunan Cina seperti Khoe Woen Sioe, P.K. Ojong dan Ko
Kwat Oen karena Baperki makin condong ke kiri.
Uraian Siauw tentang Baperki lebih bersifat pembelaan
eksistensinya sebagai ormas yang membela minoritas keturunan
Cina terhadap apa yang disebutnya diskriminasi rasial, tekanan
dan perlakuan tak adil. Tetapi tidak menyertakan suatu
penyelesaian baru. Yang berkali-kali diajukan tak lain: variasi
dari tema "integrasi wajar" yang dianut Baperki dulu, minus
slogan-slogan Manipol Usdeknya (lihat pamflet Baperki Madju
Terus, Pantang Mundur, Jakarta, 1963).
Di samping itu penulis tentu tak lupa mengungkapkan
kejengkelannya terhadap golongan asimilasionis dengan
berulangkali mengejek soal "ganti nama", "kawin campuran",
"asimilasi ekonomi". Bahkan ia menuduh "sementara tokoh
asimilasionis LPKB" mengadakan gerakan melarang agama Kong Hu
Cu, dan penganjur larangan itu orang Katolik (hal. 326). Dia pun
tetap mengingkari bahwa Baperki mendukung komunis dan
menghendaki terbentuknya masyarakat komunis.
Salah satu dalil Siauw yang sering didengungkan Baperki ialah,
penyelesaian masalah minoritas dan hapusnya praktek diskriminasi
rasial dapat dicapai dengan tercapainya masyarakat adil dan
makmur (sosialis): "Dengan berakhirnya sistem manusia menindas
manusia akan berakhir juga bergeloranya napsu dan usaha untuk
mencari-cari alasan buat mengadakan diskriminasi rasial dengan
menindas golongan kecil yang didiskriminasi itu" (Surat kiriman
Siauw kepada Star Weekly, 2 April 1960).
Kacamata Positif
Pandangannya tentang G30S khas mencerminkan visi politiknya
"Para jenderal yang berhasil merebut kekuasaan menyatakan bahwa
perubahan telah terjadi secara konstitusional. Artinya Bung
Karno disuruh minggir berdasarkan keputusan MPRS yang menuntut
memurnikan UUD 1945 itu. Tetapi tidak pernah dijelaskan oleh
para jenderal bahwa MPKS yang membenarkan usul para jenderal -
untuk memaksa Bung Karno minggir, bukan MPRS lama, melainkan
MPRS yang diperbarui sesuai dengan keinginan para jenderal, jadi
didahului lagi dengan tindakan-tindakan yang tidak
konstitusional untuk menggerakkan ke jalan para mahasiswa dan
pasukan-pasukan tak beruniform untuk berdemonstrasi dan
melakukan perbuatan-perbuatan tidak demokratis mendekati teror
dengan pembakaran-pembakaran gedung-gedung dan rumah-rumah
tokoh-tokoh PKI . . . "
Pandangan seperti itu tentu saja tidak memberi harapan bahwa dia
akan melihat pemerintah Orde Baru dengan kacamata positif.
Kecintaannya kepada tokoh Sukarno dan golongan "progresif
revolusioner", kekecewaan dan kedongkolannya kepada lahirnya
Orde Baru yang membuatnya meringkuk dalam tahanan 13 tahun,
menghasilkan kecaman penuh sinisme.
Diduga Siauw Giok Tjhan anggota PKI yang tak berkartu anggota.
Dia sendiri selalu menolak keras tuduhan itu, sejak dahulu. Yang
jelas, apakah ia seorang anggota rahasia, seorang
cryptocommunist, fellow-traveller atau pendukung gelap,
politiknya selalu sejalan dengan paham PKI. Dalam bukunya ini
rasa simpati kepada PKI tak disembunyikan. "PKI telah
dimusnahkan. Sejarah nanti akan membuktikan apakah setelah
mengalami red drive yang dahsyat itu PKI dapat tumbuh kembali
dalam perjuangan membebaskan rakyat Indonesia dari pada
kemiskinan dan penindasan". (hal. 297).
Suatu hal yang agak ganjil pada buku ini ialah penempatan indeks
di bagian depan buku, setelah kata pengantar dan daftar isi.
Sampul terbuat dari karton tipis, bergambar sarung batik
Pekalongan bermotif kupu-kupu dan bungabungaan berwarna. Gambar
ini diulang lagi pada halaman judul, tetapi hanya dengan warna
merah. Jenis kain ini dulu dikembangkan dan dikenakan oleh
wanita Cina.
Siswadhi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini