Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berjibaku Dalam Lumpur

Ia menyelamatkan seorang bocah dan puluhan orang yang terseret lumpur likuefaksi.

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Amir Said Mustafa. TEMPO/Rully Kesuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMPA 7,4 magnitudo di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, mengguncang rumah Amir Said Mustafa di Dusun I Desa Langaleso pada 28 September 2018 malam. Pada pukul 18.00 Waktu Indonesia Tengah itu, Amir sedang mengoprek perangkat radio amatir di lantai dua. Sedangkan istri dan dua anaknya berada di lantai bawah hendak melakukan salat magrib.

Dengan kaki limbung, Amir turun menjemput istri dan anak-anaknya. Desa Langaleso berada 26 kilometer dari pusat gempa itu, tapi Amir merasakan rumahnya seperti sedang diaduk. “Biasanya gempa itu goyang ke kiri dan kanan,” kata laki-laki 50 tahun ini pada akhir November lalu. “Waktu itu seperti naik-turun.”

Mereka berempat berkumpul di halaman. Mereka melihat atap rumah itu bergoyang seperti hendak roboh. Tetangga mereka juga berhamburan ke luar rumah, menjerit dan menangis. Para ibu memeluk anak-anaknya dengan tubuh gemetar. Selama empat menit, horor itu mengubah malam yang biasanya sunyi menjadi riuh, lalu gelap karena listrik seketika terputus.

Dalam pekat ketakutan itu, dari arah Dusun II dan III, yang -letaknya lebih tinggi, Amir melihat banyak orang berhamburan -berlari. Padahal gempa sudah reda. Bumi masih bergoyang, tapi tak lagi sehebat sebelumnya. Amir bertanya kepada mereka yang tiba lebih dulu. “Pohon kelapa berjalan,” kata satu orang. Amir tak mengerti.

Amir Said Mustafa menggendong Alvaro di kawasan pengungsian korban bencana di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. TEMPO/Rully Kesuma

Ia lari menerjang arus orang-orang yang turun. Begitu sampai di lapangan desa, ia melihat lumpur sudah menggenang. Senter kecil di tangannya ia sorotkan ke mana-mana. “Benar, pohon kelapa berjalan sendiri,” ujarnya. Likuefaksi setelah gempa membuat -pohon dan rumah berjalan akibat tanah di bawahnya menjadi lumpur karena air di dalam tanah merembes teraduk guncangan lindu.

Amir balik badan. Tanpa menghiraukan pertanyaan istri dan anak-anaknya, ia naik ke lantai dua dan menyambar peralatan radio. Sebelum listrik mati, ia tengah mengisi baterai radio itu. Amir adalah anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI), perkumpulan radio amatir yang memakai jaringan modulasi frekuensi (FM). Ia mengabarkan apa yang dia rasakan dan dia lihat beberapa menit sebelumnya.

Di gelombang udara itu, anggota RAPI bersahut-sahutan me-ngabarkan gempa di mana-mana. Tak hanya di Sigi, tapi juga di Donggala dan Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, yang jaraknya 56 kilometer ke arah tenggara dari dusun Amir. Ketika ia menyebut “banjir lumpur”, anggota RAPI lain malah menertawainya. “Jangan memperkeruh suasana,” kata mereka.

Anggota RAPI lain mengingatkan Amir agar tak menyebarkan berita bohong yang akan menambah suasana panik karena di Palu rumah-rumah penduduk hanyut diterjang tsunami. “Saya bilang, desa kami diterjang banjir lumpur, bukan air tsunami,” ujar Amir.

Mendapat keraguan dari kawan-kawannya sesama anggota RAPI di Sigi dan Palu, Amir turun dari lantai dua. Ia melihat tetangganya sudah berkumpul dan saling berkabar soal banjir lumpur di Dusun II dan III itu. Dari warga kedua dusun yang turun, didapat kabar bahwa masih banyak penduduk terjebak di rumah mereka. Setelah berembuk sebentar, Amir dan tetangganya memutuskan naik ke dua dusun itu mencari mereka yang tak bisa keluar dari kampung.

Bermodalkan senter dalam gulita yang sempurna, Amir dan dua tetangga serta seorang anggota Bintara Pembina Desa naik ke dusun yang sudah -berubah menjadi lautan lumpur itu. Rumah berserakan tak lagi di tempatnya. Pohon-pohon roboh. Lumpur mengalir pelan.

“Om, tolong, Om....” Tiba-tiba terdengar suara lirih dari kejauhan. Waktu itu pukul empat pagi. Amir dan Syafruddin, anggota Babinsa itu, saling pandang. Syafruddin mengaku mendengar suara kambing mengembik, sementara Amir—sambil menyorot-nyorotkan senter—memastikan itu suara manusia.

Berjarak 15 meter, di atas batang pohon pisang, Amir lihat seorang anak kecil sedang memeluk lutut dengan badan penuh lumpur. Suaranya kian parau. Ia kedinginan. “Ini ada anak kecil,” Amir berteriak. Ia menghambur diikuti Syafruddin dan dua tetangganya.


 

"Om, tolong, Om...." Tiba-tiba terdengar suara lirih dari kejauhan. Waktu itu pukul empat pagi. Amir dan Syafruddin, anggota Babinsa itu, saling pandang. Syafruddin mengaku mendengar suara kambing mengembik, sementara Amir–sambil menyorot-nyorotkan senter–memastikan itu suara manusia.

 


 

Lokasi tempat mereka berdiri dan anak itu terpisah sungai lumpur yang pekat. Tanpa berpikir panjang, Amir nyebur. Rupanya, lumpur itu dalam, setinggi lehernya. Ia gelagapan. Amir kembali naik ditarik para tetangganya. Hanya menyisakan celana dalam, Amir berenang menjemput anak itu.

Butuh 10 menit untuk sampai ke seberang. Amir memeluk anak itu. “Kamu selamat, Nak. Kamu selamat!” ujar Amir. “Siapa namamu?” tanya Amir. “Alvaro,” jawab anak itu lirih. Ia kian menggigil.

Amir membawanya ke masjid desa Ar-Rahman. Di sana, orang Dusun II dan III, dan dari desa lain, berkumpul. Masjid menjadi tempat evakuasi karena tak terkena likuefaksi seperti wilayah lain, yang dilaporkan ambrol akibat gempa.

Menurut Amir, tak ada raut ketakutan di wajar Alvaro. Ia takjub melihat mental kuat anak itu. Alvaro hanya tak kuat menahan dingin akibat lumpur dan hujan. Lukanya juga sedikit. Setiba di masjid, anak itu meminta kaus baru dan helikopter mainan. “Saya suruh orang mencari kaus,” ujar Amir. Ia kembali ke Dusun II dan III setelah memastikan Alvaro dijaga warga desa.

Dari cerita orang di masjid, kata Syafruddin, warga -kampung banyak yang meninggal akibat terseret lumpur sejauh empat kilometer. Beberapa selamat. Salah satunya nenek Alvaro. Ketika dievakuasi ke masjid, badannya penuh luka. Ia dilarikan ke rumah sakit, tapi meninggal dua hari kemudian.

Keluarga Alvaro tinggal di satu rumah. Mereka terpisah ketika gempa mengguncang disusul banjir lumpur. Rumah mereka di Desa Jono Oge terseret. Yesephine Novaria Putri, ibu Alvaro, termasuk yang selamat. “Di rumah hanya ada nenek, Alvaro, dan Monica, kakaknya,” ujarnya. Ketika -terjadi gempa, Yesephine sedang bekerja di rumah sakit sebagai tenaga administrasi, sementara suaminya bertugas di desa lain sebagai karyawan swasta.

Berdasarkan data kantor Desa Jono Oge, 28 orang meninggal dan yang hilang setidaknya 36 orang. Sebanyak 4.000 orang mengungsi, -termasuk keluarga Alvaro, karena rumahnya rusak. Di desa ini, sekitar 60 persen rumah penduduk ambrol. Sedangkan jumlah mereka yang meninggal di Sigi mencapai 188 orang.

Berbeda dengan di Palu, korban paling banyak di Sigi akibat tersedot tanah yang jadi lumpur. Selama tiga hari, Amir dan Syafruddin mengevakuasi 77 orang yang terseret lumpur. Sedangkan 57 orang lain hanya bisa diangkat jenazahnya. “Persisnya saya tak ingat berapa orang yang selamat atau diangkut jenazahnya,” kata Amir, yang sehari-hari bekerja serabutan.

Karena aktif mengevakuasi jenazah dan menolong para korban, Amir menjadi semacam koordinator tak resmi. Tetangga dan warga desa lain yang bergabung menjadi relawan menuruti apa kata Amir ketika berkoordinasi mendirikan dapur umum dan tenda pengungsian di halaman rumah penduduk yang tak -terkena lumpur. “Dia yang mengatur,” ujar Adrian, pengurus masjid Ar-Rahman. “Ke mana-mana dia selalu bawa handy talky.”

Radio tangan itu dipakai Amir untuk mendengarkan informasi penanganan bencana di daerah lain. Ia juga memakainya untuk mengabarkan apa yang dia temukan, termasuk kebutuhan logistik. Soalnya, tiga hari setelah gempa, pengungsi kian banyak datang ke Dusun I, sementara bantuan makanan tak lagi cukup. Amir minta dikirimi beras dan bahan makanan lain dari Pos Madani, pos pengungsian yang lebih besar, di desa sebelah.

Ia bersama anggota RAPI terus mendata korban meninggal dan mencarinya. Ia memandikan jenazah korban yang meninggal tapi tak diketahui identitasnya, lalu menguburkannya di permakaman desa. Semua korban meninggal dia dokumentasikan dan hasilnya dia unggah ke Facebook dengan harapan ada keluarga yang mengenalinya. Jitu. Warga desa lain yang melihat Facebook Amir mengenali ciri-ciri jenazah, lalu datang ke Dusun I untuk melihat kuburnya dan memberikan nama pada nisan.

Menurut Syafruddin, korban likuefaksi paling banyak ditemukan di Dusun III karena dusun itu paling masif kerusakannya. Tidak semua korban merupakan penduduk desa itu. Ada beberapa siswa SMA 2 Palu yang tengah mengikuti kegiatan di Gereja Padmos Indonesia. Beberapa siswa itu belum ditemukan hingga kini karena gereja tersebut terseret tiga kilometer. Rumah Alvaro tak jauh dari gereja. Sekarang rumah itu sudah rata dengan tanah.

Amir (kiri) di reruntuhan bekas bencana alam di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. TEMPO/Rully Kesuma

Amir tak lagi melihat anak tersebut di masjid setelah ia tinggalkan malam itu. Orang-orang mengabarkan ada keluarga yang mengambil dan membawanya ke pengungsian di desa lain. “Saya masih ingat wajahnya,” kata Amir.

Dua bulan setelah gempa, Tempo bertemu dengan Amir di rumahnya. Ketika diberi tahu bahwa Alvaro tinggal di pengungsian Desa Sidera—setengah jam naik sepeda motor dari Langaleso—Amir mengatakan ingin ikut. Setelah memeriksa beberapa tempat mengungsi, Amir melihat Alvaro sedang bermain di sebuah tenda. “Alvaro!” Amir berteriak. Anak itu menatapnya dan menghambur memeluknya. “Masih ingat Om?” tanyanya.

“Mana helikopternya, Om?”

Amir kian erat memeluk tubuh anak empat tahun itu. Air matanya tumpah.

Yesephine keluar dari tenda dan berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Amir. “Ini keajaiban Tuhan,” katanya, juga dengan linangan air mata. Dalam pertemuan itu, Amir baru tahu, nama lengkap anak yang ditolongnya adalah Manuel Alvaro Gavriel Kapele.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus