Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA bisa saja terus berlari menyelamatkan diri. Tanah mengisap kakinya yang kecil di tengah bumi yang bergoyang akibat gempa di Palu Barat, Sulawesi Tengah, pada 28 September 2018 malam. Ia, Abdul Basir, dengan mata kepalanya sendiri melihat puluhan rumah satu kompleks di Perumahan Nasional Balaroa lenyap seketika, tersedot ke dalam tanah.
Laki-laki 29 tahun ini segera berlari menghindari kejadian yang seumur-umur baru dia saksikan itu. Tapi sebuah suara yang memanggil namanya membuat ayunan kakinya berhenti. Dalam gelap itu—listrik mati begitu gempa 7,4 magnitudo tersebut mengguncang Palu—ia melihat teman masa kecilnya terseret arus lumpur.
Gempa mendorong likuefaksi. Air di dalam tanah merembes ke mana-mana menjadi lumpur yang menyedot apa pun benda yang ada di atasnya. Setelah itu, lumpur mengalir ke tempat yang lebih rendah. Menyingkirkan kengerian di depan matanya, Basir menarik lengan kawan itu. Mereka berlari ke dataran yang lebih tinggi.
Hari itu, galaba menyelimuti Sulawesi Tengah. Lebih dari 2.100 nyawa melayang akibat gempa yang disusul tsunami, lalu likuefaksi. Bencana di provinsi itu menjadi yang terburuk di Indonesia tahun ini. Sebulan sebelumnya, lindu juga menghantam Lombok di Nusa Tenggara Barat, melenyapkan lebih dari 560 nyawa.
Sangat mungkin jumlah korban lebih besar lagi andai tak ada orang-orang seperti Abdul Basir. Di tengah bencana, mereka bertaruh nyawa demi menyelamatkan sesama. Ketika sedang mencari ibunya, Basir menyelamatkan tetangganya sekeluarga yang terjebak dalam reruntuhan rumah mereka.
Warga di sekitar permukiman yang rusak akibat likuefaksi di Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, 27 November 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ada juga yang sampai kehilangan nyawa, seperti Anthonius Gunawan Agung, petugas air traffic controller Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu. Di tengah gempa, ketika semua orang berlari menyelamatkan diri, pemuda 21 tahun itu tetap memandu pesawat Batik Air ID6231 yang membawa 146 penumpang hingga berhasil lepas landas dari bumi yang diguncang gempa. Lindu lalu merobohkan menara pengawas udara itu dan menewaskan Anthonius seketika.
Pembaca, di tengah duka dalam bencana, selalu saja ada mereka yang tampil menjadi pahlawan. Tergerak oleh kemanusiaan, mereka menolong sesama kendati membahayakan jiwa sendiri. Tanpa orang seperti Basir atau Anthonius, korban dalam bencana mungkin lebih banyak lagi.
Dengan alasan-alasan itu, kami mencoba menangkap sisi lain dari sebuah tragedi. Kami ingin mencatat mereka yang, seperti disebut Toto Sudarto Bachtiar dalam puisi “Pahlawan Tak Dikenal”, “tidak ingat bilamana dia datang, tidak tahu untuk siapa dia datang”. Mereka orang yang tanpa pamrih menjadi pahlawan di tengah kekacauan.
Kami memilih lima orang pahlawan dalam edisi khusus Tokoh Tempo 2018 ini—tidak hanya untuk menghargai mereka, tapi sekaligus membuat kisah mereka menyala dan tak dilupakan. Keberanian dan kesetiaan mereka bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Apalagi kepulauan Nusantara yang kita tinggali ini berada dalam “cincin api” yang rentan digoyang gempa dan tsunami.
Untuk memilih mereka, kami menetapkan kriteria sederhana sebelum para reporter berangkat ke tiga lokasi: Lombok, Palu, dan Banten. Mereka yang kami pilih adalah penduduk sipil, yang menolong bukan karena tugas yang melekat pada pekerjaannya sehari-hari. Mereka yang kami cari adalah orang yang menolong karena murni rasa kemanusiaan dan kepedulian. Setelah itu adalah cerita.
Kami tak menentukan secara rigid cerita kepahlawanan itu. Mereka yang melakukan penyelamatan itu bisa tak menjalankannya secara fisik, tapi melakukan tindakan lain yang berguna bagi banyak orang. Misalnya para aktivis radio amatir yang membuka komunikasi lokasi bencana dengan dunia luar sehingga bantuan bisa segera disalurkan.
Sebelum menerjunkan tim ke lapangan, kami bertanya kepada sejumlah lembaga untuk mencari kandidat awal. Misalnya dari organisasi Palang Merah Indonesia dan Aksi Cepat Tanggap, yang selalu hadir setiap kali bencana terjadi. Kami juga menemui Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, serta menghubungi wartawan lokal yang menjadi saksi mata sekaligus korban dalam bencana itu. Dari mereka, kami mendapat sejumlah narasumber serta calon kandidat.
Ada tiga jurnalis, dua fotografer, dan dua videografer yang menjaring kandidat di Lombok dan Palu. Di lokasi itu, kami menemui tokoh-tokoh masyarakat untuk mendapat informasi tambahan. Dari mereka, para jurnalis ini mendengar banyak cerita heroik. Cerita-cerita tersebut lalu diverifikasi kepada banyak orang: mereka yang ditolong, mereka yang melihat, atau mereka yang mendengar cerita yang sama.
Tak semua kisah sesuai dengan cerita sumber-sumber awal. Sejumlah kandidat kami coret karena kisahnya tak bisa diverifikasi. Di Palu, misalnya, kami mendengar ada seorang laki-laki yang nyaris buta menyelamatkan dua anak-anak dan seorang perempuan. Kepala dusun tempat dia tinggal membenarkan cerita itu. Tapi, ketika dicek lebih jauh, perempuan yang disebut ditolong itu meninggal karena luka parah.
Para kandidat yang masuk daftar kami bahas di tim internal di kantor Tempo di Jakarta. Dari belasan nama yang disetorkan para reporter di lapangan, kami memilih empat kandidat, setelah ada verifikasi lanjutan dengan mengecek ceritanya lebih jauh. Empat tokoh itu adalah Muhammad Abdul Aziz dari Lombok Utara, Abdul Basir dari Palu Barat, Amir Said Mustafa dari Sigi, dan Shirley Chowindra dari Palu.
Setelah nama-nama itu terpilih, reporter Tempo mendatangi kembali mereka. Tapi ada yang menolak ceritanya di-publikasikan dengan alasan tak ingin mencari nama di tengah bencana. Wartawan kami -mencoba meyakinkan bahwa cerita mereka dikisahkan untuk menginspirasi banyak orang.
Sepekan sebelum edisi ini terbit, tsunami menerpa Banten dan Lampung. Kami memutuskan mengirim satu reporter lain untuk mencari satu-dua kandidat tokoh yang berperan di sana. Dengan waktu yang terbatas, kami memilih Epi Sahepi, Kepala Dusun Sumber Jaya, yang berdiri di barisan terdepan membantu para korban sekaligus melindungi daerahnya dari para penjarah.
Tentu saja kehadiran mereka tak menihilkan peran para relawan, petugas, dan banyak organisasi yang terjun menolong korban. Mereka adalah pahlawan sesungguhnya. Dengan waktu yang terbatas, pencarian kami juga mungkin tak sempurna. Kami yakin masih banyak orang yang bertindak serupa di pelosok lain yang tak bisa kami jangkau. Dari mereka, kita bisa belajar apa artinya menjadi manusia.
EDISI KHUSUS TOKOH TEMPO 2018
Penanggung jawab: Bagja Hidayat
Pemimpin proyek: Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono
Penulis: Angelina Anjar, Erwan Hermawan, Mahardika Satria Hadi, Riky Ferdianto, Stefanus Pramono
Penyumbang bahan: Abdul Latif Apriaman (Lombok), Devy Ernis (Banten)
Penyunting: Anton Aprianto, Anton Septian, Bagja Hidayat, Iwan Kurniawan, Nurdin Kalim
Fotografer: Muhammad Hidayat, Rully Kesuma, Taufan Rengganis
Periset foto: Ratih Purnama
Editor bahasa: Iyan Bastian, Uu Suhardi
Desainer: Djunaedi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo