Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Turun Tangan Menjaga Keamanan

Penjarahan marak seusai terjangan tsunami di Selat Sunda, Banten. Kepala Dusun Sumber Jaya merancang sistem pengamanan harta benda warganya.

28 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Epi Sahepi. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA pemuda menggendong karung berukuran besar di pundak mereka. Langkah kaki ketiga orang itu melompat lincah di antara reruntuhan bangunan yang hancur diterjang tsunami tak jauh dari warung Haji Ene, yang berjarak sekitar 100 meter dari bibir Pantai Sumur, Pandeglang, Banten. Gerak-gerik mereka mencurigakan. ”Saat saya sapa, mereka malah kabur,” ujar Epi Sahepi, 38 tahun, Kepala Dusun Sumber Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang.

Epi, yang tengah ditemani rekannya, Mamat Rohmatulloh, berniat mengejar ketiga pemuda itu. Tapi langkah mereka kalah cepat. Puing bangunan yang masih terserak di sepanjang jalan menghadang langkah mereka. Ketiga pemuda itu keburu kabur ke arah bibir pantai setelah meninggalkan tiga karung yang mereka bawa. Karung tersebut berisi rokok dan barang berharga lain dari warung kelontong yang nilainya jutaan rupiah.

Epi Sahepi menyalurkan bantuan yang datang kepada warganya di kawasan Sumur, Pandeglang, Banten, 27 Desember lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis

Kejadian sore itu makin meyakinkan Epi atas kabar yang beredar di antara warga kampungnya yang menjadi korban tsunami. Hari itu sejumlah warga mengaku kehilangan barang berharga milik mereka. Penyebabnya bukan sapuan ombak tsunami, melainkan ulah para penjarah. Tak jelas siapa mereka, seperti tiga pemuda yang kepergok Epi dan Mamat. ”Saya pastikan mereka bukan warga kami,” katanya.

Ini bukan kejadian pertama. Penjarahan diduga mulai merebak malam hari tak lama setelah tsunami menerjang Dusun Sumber Jaya, Sabtu dua pekan lalu. Hasanah, 50 tahun, salah satu -korbannya. Perhiasan emas seberat 40 gram dan uang Rp 5 juta yang ia simpan dalam dompet tergeletak di lantai kamar rumahnya. ”Barang-barang itu sebelumnya saya simpan dalam lemari,” ujarnya.

Hasanah mengaku baru mengetahui kejadian itu pada Ahad siang, sehari setelah bah datang. Ia dan keluarganya tak berani menengok keadaan rumahnya seusai tsunami. Sebab, kondisi Dusun Sumber Jaya ibarat kota hantu malam itu. Jaringan listrik terputus. Seluruh jalan tak berfungsi terhadang puing bangunan dan lumpur. Hasanah memilih tinggal di pengungsian darurat di atas perbukitan. ”Enggak mungkin ke bawah malam itu. Khawatir ada tsunami susulan,” katanya.

Kondisi yang serba mencekam itu rupanya dimanfaatkan penjarah. Di tengah kesulitan para korban, mereka datang melancarkan aksi. Kabar maraknya penjarahan membuat Epi dan sejumlah warga dusun memilih berjaga di sebuah warung, tak jauh dari masjid dusun. Sesekali mereka menyebar ke beberapa titik hunian untuk memantau pengamanan sambil mencari korban yang masih terperangkap.


 

Kondisi yang serba mencekam itu rupanya dimanfaatkan penjarah. Di tengah kesulitan para korban, mereka datang melancarkan aksi. Kabar maraknya penjarahan membuat Epi dan sejumlah warga dusun memilih berjaga di sebuah warung, tak jauh dari masjid dusun. Sesekali mereka menyebar ke beberapa titik hunian untuk memantau pengamanan sambil mencari korban yang masih terperangkap.

 


 

Epi dan sejumlah rekannya bahkan sempat mengamankan beberapa barang berharga, seperti tabung gas ”melon” tak bertuan yang diniatkan dipakai untuk dapur umum. Barang-barang tersebut dikumpulkan di teras warung yang hingga kini menjadi posko darurat. Tapi sial tak dapat ditolak. Saat mereka sedang memantau wilayah, tabung gas tersebut malah ikut jadi sasaran para penjarah.

Mamat, yang setia menemani Epi sejak hari pertama musibah, sempat memergoki aksi seorang perempuan muda. Perempuan itu datang seorang diri menjelang magrib sambil membawa sebuah karung. Wajah perempuan itu terbilang asing baginya. Saat ditanya hendak ke mana, ibu itu mengaku mau berbelanja. Penjelasan tersebut terasa janggal karena tak satu pun warung yang buka saat itu. ”Makanya dia saya suruh pulang,” kata -Mamat.

Keadaan super-semrawut itu mendorong Epi merancang pengamanan ekstra. Posko darurat yang menjadi tempat penyimpanan barang sejak itu selalu dijaga secara bergantian. Ia juga meminta Komandan Pos Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Kecamatan Sumur, Pembantu Letnan Satu Budi Santoso, membantu penjagaan. Posko tersebut selalu dijaga siang dan malam.

Epi sengaja menjadikan warung itu sebagai posko darurat dengan alasan taktis. Sebab, warung yang hanya berjarak 100 meter dari bibir pantai itu berada di jalan utama. Gerak-gerik para penjarah relatif bisa termonitor dengan mudah dari tempat tersebut. Warung milik Haji Oyok itu juga terhitung luas, mampu menyimpan barang-barang, termasuk bantuan donasi, setara dengan muatan sepuluh truk engkol.

Setidaknya dua jam sekali Epi dan warga Dusun Sumber Jaya berkeliling ke area-area bangunan yang masih tegak berdiri. Fokus pengamanan wilayah tertuju pada kios-kios pedagang tak jauh dari masjid dusun. Kontrol secara berkala itu mesti ia lakukan karena akses menuju Pantai Sumur bisa dijangkau dari sejumlah ruas ”jalan tikus” yang berada di utara dan selatan pantai.

Menurut Epi, rokok sitaan hasil jarahan dan barang berharga lain sebagian sudah dikembalikan kepada pemiliknya. Sebagian yang lain masih teronggok di posko darurat karena pemiliknya belum juga turun menengok keadaan rumah. Tak jelas juga di mana keberadaan mereka. Ia dan sejumlah warga dusun belum berniat mencari para pemilik barang tersebut. ”Nanti, kalau mereka terlihat, baru kami kembalikan,” ucapnya.

Sejak mengurus pengamanan kampung, waktu Epi nyaris tak banyak tersalurkan untuk keluarganya sendiri. Ia cukup bersyukur istri dan ketiga anaknya terurus dengan baik di rumah saudaranya di Dusun Kopi, yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Dusun Sumber Jaya. Perhatian untuk urusan rumah tangganya hanya ia luangkan di malam hari, selepas berjaga. Itu pun setelah ia memastikan ada orang lain berjaga di posko darurat.

Menurut Epi, pengamanan kampung relatif mudah selepas hari ketiga musibah. Sebab, para pemilik rumah sudah banyak yang menengok keadaan rumah mereka dan -menyelamatkan barang-barang yang tersisa. Upaya penyelamatan barang-barang berharga juga ikut terbantu oleh relawan yang mulai berdatangan untuk menyingkirkan puing bangunan. ”Tapi sebagian masih ada yang tertimbun,” ujarnya.

Ahmad Kholid, adik kandung Hasanah, salah satunya. Ia mengaku belum bisa menjangkau barang-barang berharga miliknya hingga hari keempat musibah. Lemari rumahnya masih tertimbun material atap bangunan. Upaya -menyingkirkan material itu bukan perkara mudah. Mesin backhoe belum bisa diandalkan akibat ruas jalan yang sempit dan terhadang bangunan lain. ”Di lemari itu saya nyimpen uang hampir Rp 5 juta,” -katanya.

Musibah yang dialami Kholid belakangan merembet kepada relawan. Ia mengaku geram ketika mengetahui sejumlah pemuda datang menggunakan mobil bak terbuka pada hari -ketiga musibah. Saat itu mereka terlihat mengangkut sejumlah material bangunan, seperti papan dan genting, dari rumahnya. Para pemuda itu mengaku relawan. ”Padahal barang-barang itu masih akan saya gunakan. Semestinya disingkirkan saja, bukan diambil,” ujarnya.

Jarak rumah Kholid sekitar 100 meter dari lokasi posko darurat. Lokasinya mudah terlihat. Ia cukup bersyukur dengan inisiatif warga setempat yang rela menjaga wilayah -perkampungan di tengah musibah. Ia sendiri hanya bisa -sesekali melihat kondisi rumah dan perkampungan sekitar karena harus mengurus keluarga intinya di wilayah pengungsian.

Kondisi keamanan yang perlahan membaik membuat Epi memfokuskan upaya rehabilitasi untuk urusan distribusi bantuan sejak hari keempat. Bantuan bahan kebutuhan pokok dan pakaian ia salurkan kepada warganya yang kebetulan melintas di sekitar area dusun. Ia mengaku belum bisa menjangkau kondisi warganya yang tersebar di belasan titik pengungsian. ”Fokus jaga kampung dulu,” katanya.

Warga mencari barang-barang yang tersisa pasca-tsunami di kawasan Sumur, Pandeglang, Banten, 26 Desember lalu. TEMPO/M Taufan Rengganis

Agar bantuan tersalurkan secara adil, Epi mendata warganya yang datang untuk mengetahui lokasi permukiman mereka, termasuk bantuan apa saja yang sudah atau belum mereka peroleh. Menurut dia, urusan pembagian logistik bukan perkara mudah karena bisa memantik persoalan baru. ”Salah ngasih bisa jadi obrolan panjang. Tapi itu bisa dipahami karena kondisi para korban belum stabil,” ujarnya.

Dusun Sumber Jaya adalah lokasi yang terhitung cukup parah terkena dampak tsunami di pesisir barat Banten akibat runtuhan material Gunung Anak Krakatau. Ratusan rumah luluh-lantak. Bantuan dari pemerintah dan relawan belum bisa diandalkan hingga hari kedua kejadian. Akses terdekat dari Tanjung Lesung tak bisa dilalui akibat terhadang pohon tumbang dan jembatan rusak.

Warga Dusun Sumber Jaya praktis hanya bisa mengandalkan kemampuan mereka sendiri. Untuk bertahan hidup, mereka harus mengais makanan, seperti mi instan yang terserak. Epi mengaku bisa menoleransi tindakan warganya untuk urusan ini. Yang penting, kata dia, makanan itu tidak untuk ditimbun. ”Selagi belum ada bantuan, mereka bisa memakan itu,” ucapnya. ”Asal jangan menjarah.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus