Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berjuang Membela Nama Beken

Dua lusin partai politik akan bertanding dalam Pemilu 2004. Sebagian besar di antaranya adalah partai baru yang belum punya pengalaman mengikuti pesta demokrasi itu. Target mereka dua: mengisi kursi parlemen dan mencari tiket untuk bisa mengusung jago mereka ke kancah pemilihan presiden. Nama-nama beken pun diusung. Ada Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), ekonom Sjahrir (Partai Perhimpunan Indonesia Baru), Siti Hardijanti Rukmana (Partai Karya Peduli Bangsa), dan sejumlah calon lain. Duit memang bisa dicari, tapi bisakah mereka menyaingi para calon "kakap"—misalnya Megawati, Amien Rais, Hamzah Haz—yang partainya lebih dulu ada dan lebih punya pengalaman mengikuti pemilu?

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Yoseph Dahlan Ibrahim, 50 tahun, tahu bagaimana harus memilih partai politik. Pada Pemilu 1999 lalu, ia tak berpartai. Ia ikut memilih dalam pemilu, tapi tak bergabung dalam partai mana pun. Ia memang bukan politikus. Yoseph mengaku latar belakang pekerjaan adalah di bidang hiburan.

Ketika dua tahun lalu Perhimpunan Indonesia Baru—cikal bakal Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB)—didirikan, ia tertarik. Ia melihat ketua perhimpunan itu, Dr. Sjahrir, sebagai tokoh yang "berbeda". "Dia aktivis, pernah dipenjara. Dia mau mengubah keadaan yang tidak baik. Dia tidak ada beban karena dia bukan produk Orde Baru. Dia punya semangat dan komitmen," kata Yoseph.

Ketika perhimpunan itu berubah menjadi partai pada 2002 lalu, Yoseph makin kesengsem. Ia mencari Sjahrir ke Jakarta sekadar untuk berdiskusi. Cinta Yoseph semakin memuncak. Ia menyatakan diri bergabung dan langsung memimpin deklarasi PPIB untuk wilayah Jawa Barat.

Yoseph kini adalah Ketua PPIB di tanah Pasundan itu. Pasca-deklarasi, ia bergerilya. Yoseph membuka cabang PPIB di 25 kabupaten dan kota madya di Jawa Barat. Tim verifikasi partai politik Komisi Pemilihan Umum (KPU) lalu mengetuk palu bahwa di provinsi itu PPIB memenuhi syarat keanggotaan. Partai pimpinan bekas aktivis Malari 1974 itu juga dinyatakan sah ikut pemilu.

Sjahrir boleh bangga dengan apa yang dilakukan Yoseph dan pengurus partai lainnya di berbagai provinsi. Untuk bisa lolos verifikasi KPU, perjuangan tak mudah. Undang-Undang Pemilu mematok syarat, setiap partai politik mesti memiliki cabang di minimal dua pertiga jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Di tiap provinsi, mereka harus punya cabang lagi di setidaknya dua pertiga jumlah kabupaten dan kota madya. Di level bawah, mereka harus punya minimal 1.000 pendukung.

Dua lusin partai lolos ujian KPU. Sebagian kecil di antaranya adalah partai-partai lama yang sudah lebih dulu ikut Pemilu 1999, seperti PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang. Sisanya adalah partai yang bersalin rupa karena tak memenuhi syarat minimal perolehan suara Pemilu 1999 (electoral threshold) dan partai baru seperti PPIB. Secara kuantitatif, jumlah partai baru ini lebih banyak dari dua kategori yang lain.

Bagaimana partai anyar ini bersaing dengan partai lama yang relatif lebih mapan? Inilah soalnya. Berbeda dengan Pemilu 1999, pada Pemilu 2004 partai politik berjuang untuk membidik dua sasaran: merebut kursi parlemen dan mendapatkan tiket untuk ikut dalam pemilihan presiden langsung. Jika dalam pemilu legislatif mereka mendapat suara kurang dari 3 persen, mereka harus melupakan niatan untuk mengusung calon presiden dari kandang sendiri.

Padahal tiap partai kini sudah mengelus jagonya sendiri-sendiri. Dari barisan partai baru, misalnya, PPIB mengusung Sjahrir, Partai Demokrat mengunggulkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Karya Peduli Bangsa mencalonkan putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana. Partai lain juga menyimpan unggulan.

Nama beken bermunculan, disokong oleh partai baru yang belum teruji di kancah pemilu. Akankah mereka tergilas oleh para senior yang di atas kertas lebih berpengalaman? Atau mereka justru punya jurus rahasia?

Mari kita ambil satu contoh yang akan dihadapi partai-partai itu, yakni masalah dana. Seorang calon presiden Partai Golkar pernah bercerita. Katanya, untuk melakukan kunjungan ke pelosok Indonesia dari barat sampai ke timur, dibutuhkan duit setidaknyaRp 4 miliar. Uang itu untuk biaya tiket pesawat, jamuan makan, mengundang wartawan, dan pernak-pernik biaya lainnya. Untuk bisa memasarkan wajah seorang calon presiden, dibutuhkan setidaknya empat putaran kunjungan semacam itu. Total dibutuhkan dana segar Rp 16 miliar.

Untuk membiayai operasional cabang partai, lain lagi. Besarnya biaya memang bervariasi. Ada cabang yang boros sehingga membutuhkan dana hingga Rp 10 juta sebulan, ada juga yang hanya butuh Rp 1 juta-2 juta. Jika sebuah partai memiliki cabang sekitar 250 buah (dua pertiga dari jumlah kabupaten yang ada di Indonesia), diperlukan uang Rp 250 juta hingga Rp 2,5 miliar per bulan. Ia baru biaya operasional sehari-hari, belum lagi biaya pembuatan kaus, umbul-umbul, kartu anggota partai, dan lain-lain.

Yoseph yakin bahwa partainya bisa mengatasi semua persoalan. Duit, katanya, diperoleh dari iuran anggota. Di Bali, PPIB disokong oleh sejumlah pengusaha (lihat Partai 'Kecil' untuk Bung Besar). Soal pendukung, pengelola partai itu berjuang merangkul pengurus partai lain yang tak lulus verifikasi. Bahkan Yoseph mengaku sudah menggaet kalangan artis untuk meramaikan pemilu. "Penyanyi Obbie Mesakh sudah gabung dengan kami," kata Yoseph.

Lain partai Bung Sjahrir, lain pula partai Cendana. Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), yang didirikan bekas Menteri Penerangan R. Hartono, hakulyakin bisa melalui pemilu dengan gemilang. Mengusung Mbak Tutut sebagai calon presiden, "Kami enggak pernah sepi dari orang yang datang untuk mengambil formulir anggota," kata Udin Kuswara, Ketua PKPB Jawa Barat. Di tanah Priangan saja, kata Udin, "Anggota kami sudah 500 ribu orang."

Seperti disampaikan Ketua PKPB, R. Hartono, partainya memang memanfaatkan romantisme era Orde Baru sebagai daya pikat. Katanya, yang alergi terhadap Orde Baru cuma orang kota. "Di pelosok-pelosok, rakyat rindu suasana masa lalu yang aman," ujarnya (lihat Partai Rindu Soeharto).

Partai ini membidik pemilih Golkar lama sebagai konstituen. Kata Hartono, Golkar "asli" sudah diubah oleh Akbar Tandjung. Karenanya, pengurus partai ini sebagian besar adalah pengurus Golkar di era Orde Baru dulu, plus purnawirawan TNI, kelompok yang masih punya ikatan emosional dengan Hartono yang memang purnawiran jenderal. "Di zaman Pak Harto dulu, Golkar mampu meraih 70 persen suara. Sekarang cuma 20 persen dukungan. Nah, 50 persen suara yang hilang inilah sasaran yang hendak kita garap," kata Adam Abraham, Ketua PKPB Yogyakarta.

Banyak kegiatan PKPB nanti akan mengingatkan orang pada zaman Orde Baru. Di antaranya adalah menghidupkan kembali kegiatan Kirab Remaja—acara gerak jalan nasional yang dulu dimotori Mbak Tutut.

Soal dana? Pengurus partai tutup mulut. Sampai sekarang (Keluarga Cendana) belum ngasih. Tunggu saja, mudah-mudahan diwujudkan," kata Hartono.

Partai Demokrat lain lagi. Mengusung Susilo Bambang Yudhoyono, tak sampai enam bulan partai ini telah memiliki 31 cabang di tingkat provinsi dan 414 cabang di tingkat kabupaten. Diketuai oleh Subur Budhisantoso, guru besar UI, partai ini menggaet kalangan kampus, mahasiswa, dan profesional. Di Jawa Tengah, Partai Demokrat menggaet pengusaha. Soal dana, seperti partai lain, pengurus Partai Demokrat mengaku semua hasil iuran anggota.

Partai baru, tokoh mentereng. Dalam Pemilu 2004, mereka mungkin bisa menyingkirkan tokoh lama. Tapi, boleh jadi justru sebaliknya yang terjadi: mereka terjungkal karena tak mendapat tiket pemilu presiden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus