DENGAN hati berbunga-bunga, malam itu Sarjo, 18, menuju ke rumah sang pacar, Siti Rokhayah, di Desa Petimuan, Kedungreja, sekitar 70 kilo di sebelah barat Cilacap. Begitu sampai di rumah sederhana ditepian Kali Citanduy itu, hati Sarjo seperti dibakar. Ia melihat Siti sedang berduaan diranjang dengan Bandu alias Subandi, 17. Ia tambah bengong ketika tak lama kemudian datang Rasmin, 19, yang juga mengaku pacar Siti. Dan kemudian datang lagi Tulus, 20.Lalu Tarno, 18. Semua pemuda itu memang tampan menawan, untuk ukuran desa. Siti Rokhayah memang cukup dikenal di kampung itu. Ia bukan gadis jelita atau janda kembang yang bisa membuat lelaki lupa daratan ataupun lautan. Siti, yang selalu minta dipanggil "Non" itu - jangan kaget - adalah ibu empat anak, dan nenek 11 cucu. Dengan usia 61 tahun, kulitnya sudah bak kulit jeruk purut, keriput. Rambutnya sudah putih semua. Tapi bagi Sarjo dan kawan-kawan, Non agaknya adalah kekasih yang baik dan menawan. Maka, malam itu Sarjo, yang merasa dikhianati, dengan tegas berkata,"Saya ini pacar Non apa bukan?" Sebagai jawaban Non Siti, kata Sarjo, terkekeh-kekeh lalu menyuruh kelima pacarnya datang esok hannya. Tanpa membantah, kelima pemuda yang kasmaran itu muncul pada waktu yang dijanjikan, 8 April lalu. Non lalu mengumumkan keputusan yang cukup bijaksana: siapa yang ingin menjadi kekasih abadi harus mengadu kekuatan - berkelahi. "Yang menang nanti bakal jadi kekasih Non," katanya ketika itu. Tapi diam-diam rupanya Non condong untuk memilih Bandu, jejaka yang selain paling muda juga paling tampan. Esok harinya, sembari mengisap rokok klembak menyan sebesar jempol kaki, yang baunya konon bisa mengundang setan, Nenek Siti mewasiti pacar-pacarnya yang adu jotos. "Kalau yang dipukul jatuh, Nenek bertepuk tangan sambil tertawa," kata Nanang, 7, dan temannya, Suryana, yang sempat menyaksikan perang tanding itu dari balik rumpun pohon pisang. Sayembara itu, menurut Non Siti, berakhir seri. Tulus, Tarno, Rasmin, dan Sarjo dinyatakan kalah semua. Pemenangnya? SiNenek ternyata menentukan Bandu, yang tak ikut turun ke gelanggang, sebagai pemenang. Alasan Non Siti, "Dia yang paling kuat." Tak jelas maksudnya. Anehnya, keempat pemuda yang lain tidak memprotes. "Saya seperti kena guna-guna," tutur Sarjo, petani, yang suka menolong membawakan barang dagangan Siti. Nenek Siti, yang sejak tiga tahun lalu tinggal di Petimuan, memang dikenal sebagai pedagang kelontong. Ia biasa pergi berdagang ke pasar di Kecamatan Sidareja, Gandrungmangu, atau Kawunganten. Meski sudah tua, ia selalu tampak bersemangat muda. Ia gemar memakai kaca mata hitam dan selalu menyelipkan keris di balik celana panjangnya, yang kemudian dibalut kain kebaya." Lagaknya seperti perawan belasan tahun,"tutur Wahidin, pamong desa. Tapi ia mengaku kaget karena sebelumnya tak mengetahui "kegiatan" Non sudah begitu jauh. Sarjo mengaku baru tiga bulan menjadi pacar sang nenek, gara-gara sering dimintai tolong itu. Sebagai kuli angkut, ia sering diberi Rp 1.000 berikut makan dan minum serta rokok. Karena, bila pulang dari pasar sudah malam, ia sering diajak menginap dirumah Nenek. Menjelang tidur, katanya Non sering bercerita tentang pengalamannya berhubungan seks dengan suaminya dulu. "Saya jadi terangsang,"katanya. Nenek Siti, yang berasal dari Ciamis, Jawa Barat, mengaku gemar bermain cinta dengan perjaka tingting, "Karena saya ingin muda kembali." Tentang kelima pacarnya, dikatakan bahwa ia mengasihi semuanya, "Soalnya semuanya tampan." Sayembara, katanya kepada Slamet Subagyo dari TEMPO, terpaksa diadakan karena Rasmin dan kawan-kawan meminta agar Non memilih satu di antara mereka. Sedangkan, "Untuk memutuskan hubungan dengan cara halus, saya tidak tega." Namun, ketika ditanya dengan resep apa dia bisa memikat dan menggaet perjaka tampan, Non Siti membelalakkan matanya. "Itu rahasia saya," serunya marah. Diduga, nenek yang gemar memelihara ayam jago itu memakai ilmu pelet atau guna-guna. Sarjo, misalnya, kini heran setengah mati mengapa dulu itu ia mau saja menuruti kata-kata Nenek Siti tanpa membantah. Dari segi materi, ia merasa tak pernah dimanjakan karena Non memang tidak kaya. "Ia tidak punya apa-apa kecuali barang dagangannya itu," katanya. Kini ia merasa jijik dan benci mengenang pengalamannya dengan Non. "Dia sudah mempermainkan kami. Saya malu sekali dan kalau ingat rasa-rasanya saya ingin mencekik leher nenek itu," katanya lagi. Wahidin pun masih bertanya-tanya tentang kejadian itu. "Gadis di desa ini cantik-cantik, masih perawan lagi. Kok yang diperebutkan nenek-nenek," katanya. Nyonya Rasti, ibu Bandu, juga geleng kepala. "Saya malu, kok anak saya sampai pacaran sama nenek gila itu. Apa tidak ada gadis lagi,"katanya. Kini Bandu, anaknya yang ketiga, diungsikan ke rumah kakaknya di Cirebon. Siti sendiri, sejak dua pekan lalu, tak pernah kelihatan lagi di rumahnya. Ia pergi, entah kemana. Barangkali ia sedang bersiap-siap membuat sayembara baru di tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini