INDARMAN alias Tjan Sin, 37, akhirnya divonis bebas. Majelis Hakim pimpinan Soeradi dari Pengadilan Negeri Surabaya mengatakan, pekan lalu, bahwa ia tidak terbukti menyuruh membakar tokonya sendiri untuk mendapatkan santunan asuransi. Dengan begitu, klaim yang sudah dibayarkan Derusahaan asuransi PT Anrar Malayan Bali, sebesar Rp127,5 juta, tak mungkin ditarik kembali. Bahkan Indarman, yang menderita polio itu,bisa menuntut uang Rp 102,5 juta lagi, karena Toko Suka Maju, miliknya, diasuransikan Rp 230 juta. Selain Indarman, yang juga divonis bebas adalah Sujiantoalias Yanto, 23. Semula, ia didakwa sebagai pelaksana pembakaran, bersama-sama dengan Bejo Susanto, alias Bogang. Yanto bisa lolos karena punya alibi kuat. Sebaliknya Bejo, 32, dihukum 15 bulan penjara. Ia, menurut Majelis Hakim, terbukti membakar Toko Suka Maju di Jalan Kramat Gantung, Surabaya, pada malam Natal 1982 lalu. Bukan karena disuruh oleh Indarman, seperti tuduhan Jaksa, tapi karena ia kesal kepada Indarman yang sering menyuruhnya menagih utang. Akhir perkara pembakaran toko itu, ma utak mau, mengundang tanda tanya. "Itu permainan kelas tinggi," komentar sebuah sumber di Kejaksaan Negeri Surabaya. Sejak semula, perkara tadi memang seperti ada apa apanya. Yanto, misalnya, mulanya diyakini polisi sebagai penyundut. Soalnya, ketika polisi Surabaya sibuk menyidik kasus terbakarnya Toko Suka Maju, tiba-tiba saja ia muncul dan memberi pengakuan. Ia, konon mengaku menyulutkan korek api, setelah Bejo menyiramkan bensin. Dalam sidang, Yanto, yang pernah bekerjadi toko itu, ternyata berbalik. Bagaimana mungkin ia membakar toko, katanya, sebab pada tanggal 25 Desember 1982 itu ia berada di LP Cipinang - karena suatu tindak pidana di Jakarta. Ia ditahan, kemudian menjala-ni hukuman selama 3 bulan 10 hari. Pada 23 November-31 Desember 1982, ia ditempat-kan di LP Cipinang, dan pada 31 Desember 1982-2 April 1983 di LP Pemuda di Tange- rang. Keterangannya itu dikuatkan saksi dari Kejaksaan Tinggi dan Kepala LP Cipinang dijakarta, yang menyatakan bahwa pada saat peristiwa kebakaran terjadi, Yanto tetap ber-ada dalam penjara. Karena alibi ini, yang tak terbantah, Jaksa menuntutnya bebas - se-perti vonis yang kemudian dijatuhkan hakim. Kepada TEMPO, Yanto mengaku, tak tahu menahu soal kebakaran di toko bekas tem-patnya bekerja dulu. Sekali waktu, katanya,begitu ia pulang ke rumahnya di Surabaya setelah bebas dari LP Tangerang, ia didatangi oknum polisi. Mereka itu, katanya, mengajak bekerja sama. Yanto, yang sedang menganggur dan butuh uang, segera menerima tawaran itu. Ternyata kemudian, katanya, "Saya terperangkap sindikat pembakaran toko." Bagaimana sampai ia terperangkap dan siapa yang disebutnya "sindikat" ia tak mau menjelaskan. Hanya, katanya, ia pernah diberi uang Rp 100.000 oleh pemeriksa, Letnan Satu Polisi Mudji Walujo, dan disuruh membagi dua dengan Bejo. Mudji tak membantah adanya uang Rp100.000 itu. Tapi, katanya, itu bukan uang dari koceknya sendiri agar Yanto dan Bejo mau meneken begitu saja lembaran berita acara yang sudah dibuat. Uang tadi, katanya,berasal dan Indarman yang disampaikan lewat saudaranya bernama Setiawan. Indarman memberikan uang itu dengan alasan kemanusiaan - kebetulan waktu itu menjelang Lebaran. Keterangan Mudji itu dikuatkan dua rekannya anggota polisi yang juga menjadi saksi Yanto dan Bejo membantah. "Tidak ada Indarman, tidak ada Setiawan. Sore itu kantor polisi sepi, dan saya menerima uang langsung dari Pak Mudji," kata Yanto. Ia dan Bejo mengaku menerima pemberian tanpa memikirkan akibat yang bisa timbul, "Karena waktu itu memang lagi butuh uang." Polisi tentu saja tak enak dituding ikut main dalam perkara itu. "Bejo itu korak,gali. Dan Yanto, tahu sendiri 'kan? Dia pernah dihukum. Apa omongan orang macam begitu bisa dipercaya?" kata sumber di kepolisian Surabaya. Bejo, menurut sumber TEMPO, memang sudah beberapa kali terlibat tindak kejahatan. Dan oleh Indarman, dia sering dimintai tolong menagih utang kepada relasinya yang suka menunggak. Sekali waktu ketika ia disuruh menagih lagi, dia ngambek. Soalnya, kata Bejo ketika ia menjadi saksi dalam perkara Indarman, pemilik toko itu ingkar janji. Ia tidak diberi uang jasa sebesar yang dijanjikan. oleh karena Itulah, katanya, ia melampiaskan sakit hatinya dengan jalan membakar toko. Anehnya, beberapa hari kemudian, ketika ia diajukan sebagai terdakwa, ia mungkir. Ia mencoba memberikan alibi. ketika kebakaran terjadi, ia tengah dirawat di Rumah Sakit Karang menjangan. Tangannya digips karena patah. Padahal kepada polisidengan gamblang ia mengaku membakar toko karena disuruh Indarman dengan janji akan diberi Imbalan sebuah rumah dan sepeda motor. Karena keterangannya yang berubah-ubah itu, hakim menilai ia telah berbohong untuk menutupi perbuatannya. Hakim pun memberinya ganjaran 15 bulan - 5bulan lebih besar daripada tuntutan jaksa. Tapi, yang menarik,adalah bebasnya Indarman, yang oleh jaksa dituntut 20 bulan. Ia bebas karena tak ada saksi yang memberatkan dan barang bukti yang mengarah kepadanya. Jaksa Zaenal pun mengakui hal itu. Tapi, katanya, "Gawat kalau biru itu hanya dinilai sebagai biru. Nanti banyak bajingan yang lolos." Salah seorang saksi itU ialah Jawas. Petugas polisi itu, yang mengaku sedang piket saat kebakaran terjadi, melihat ada sehuah jeriken penyok berisi spiritus, ketika ia memeriksa lokasi kebakaran. Kesaksiannya itu disangsikan. Sebab, bagaimana ia bisa memastikan soal spiritus - dan bukan bensin misalnya - padahal bahan bakar itu tak bersisa? Tapi, siapa sebenarnya "bajingan" yangbisa mengeduk untung dari perkara ini tak mudah diketahui. Kasus yang menyangkut urusan santunan asuransi umumnya me-mang ruwet. Apalagi bila kasus itu kasus kebakaran. Barang bukti biasanya sangat su-lit dicari karena turut musnah bersama toko atau pasar yang habis dimakan api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini