Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan Putri Anisa menjelang Piala Dunia meningkat. Ibu dua anak ini menerima semakin banyak pesanan membuat kaus. ”Ada kafe yang memesan kaus bertema tim nasional Jerman dan Brasil untuk karyawannya,” kata perempuan 27 tahun ini. Padahal sehari-hari ibu rumah tangga ini hanya membuat kaus lucu untuk anak-anak. ”Lumayanlah, rezeki Piala Dunia,” ujar perempuan berjilbab ini.
Rezeki Piala Dunia tak semata dinikmati Putri. Entitas bisnis berbagai level menenggak nikmatnya bisnis dari perhelatan pesta sepak bola terbesar di planet bumi ini. Mereka antara lain pedagang jadwal Piala Dunia di persimpangan jalan raya, pedagang kaus tim nasional di Tanah Abang, hingga perusahaan raksasa sekelas PT Electronic City Entertainment (ECE) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia.
PT Electronic City Entertainment adalah perusahaan yang memegang lisensi resmi penyiaran Piala Dunia di Indonesia. Ini pertama kalinya perusahaan nonpenyiaran berhasil memperoleh lisensi. Sebelumnya, Piala Dunia 2006 dibeli SCTV, 2002 dipegang RCTI, dan pada 1998 oleh RCTI dan SCTV. ”Kami sudah lama mengincar lisensi penyiaran Piala Dunia,” ujar Direktur Komersial ECE, Fery Wiraatmadja.
Lisensi penyiaran adalah satu dari empat lisensi Piala Dunia yang dijual FIFA atau federasi sepak bola internasional. Tiga lainnya adalah lisensi pembuatan merchandise yang dikuasai Global Brand, lisensi new media dipegang PT Asean Multimedia Interactive Network, dan lisensi hospitality di tangan Ticket Station. Para pemegang lisensi berusaha mengecerkan hak menguasai itu guna menggelembungkan laba.
Global Brand, misalnya, menjual hak mendistribusikan berbagai pernik Piala Dunia kepada PT Indomarco Prismatama, yang menaungi jaringan minimarket Indomaret (lihat ”Zukami dari Afrika Kidul”). Electronic City menjual dan bekerja sama dengan RCTI dan GlobalTV untuk menyiarkan langsung pertandingan dari Afrika Selatan. Selain mengharuskan RCTI membayar, pola kerja samanya berupa pembagian pendapatan iklan. ”Tentu bagian kami lebih besar,” kata Fery.
Selain menjual hak siar ke televisi terestrial seperti RCTI dan GlobalTV, Electronic City mengecerkan hak penyiaran lainnya. Untuk siaran berbasis satelit kepada Matrix, dan penyiaran audio atau radio kepada MNC Networks. Sedangkan izin public viewing dijual ke berbagai entitas bisnis yang mengadakan nonton bareng Piala Dunia. ”Pokoknya, semua nonton bareng yang berbau komersial harus membeli izin dari kami. Saat ini sudah ada 1.300 yang mendapat izin,” kata Fery.
PT Grand Indonesia, yang mengoperasikan Grand Indonesia Jakarta, adalah salah satu yang membeli izin menyelenggarakan nonton bareng. Menurut Manajer Humas Grand Indonesia, Teges P. Soraya, pembelian izin itu bekerja sama dengan para penyewa mitranya, terutama yang bergerak di bidang food and beverages. ”Kami ingin tenant bisa menyelenggarakan nonton bareng. Soalnya pertandingannya masih pada jam buka mall,” ujar Teges.
ECE bersikap tegas dalam hal izin yang harus diperoleh penyelenggara nonton bareng komersial. Selain membuat pengumuman di media massa, ECE menyebar ”intel” untuk memantau tempat-tempat nonton bareng yang tidak mengantongi izin. ”Kami sudah menyebarnya di 33 kota besar,” kata Chief Operating Officer ECE, Ernita Tanti. ECE siap memperkarakan pihak yang melanggar aturan lisensi eksklusif tersebut guna meminimalkan potensi kebocoran pendapatan.
Mengecerkan izin dari lisensi yang dibeli secara eksklusif merupakan hal yang wajar, mengingat besarnya fulus yang dikeluarkan ECE untuk membeli lisensi itu. ”Kami membayar lebih dari setengah triliun rupiah,” kata Fery, yang pada awalnya tidak ingin menyebut nilai atau harga lisensinya. Nilai ini jauh lebih besar daripada Piala Dunia sebelumnya. Pada 2006 SCTV membelinya seharga US$ 10 juta (sekitar Rp 100 miliar), dan pada 2002 RCTI harus mengeluarkan US$ 5 juta.
Jalan panjang harus ditempuh ECE untuk mendapatkan lisensi penyiaran tersebut. Ketertarikan ECE membeli siaran eksklusif dimulai sejak 2006. Ketika itu mereka membidik lisensi siaran langsung Liga Premier Inggris, tapi kalah. Berikutnya mereka mengarahkan minat ke Piala Eropa 2008 dan masih gagal. Ketika FIFA membuka penawaran lisensi penyiaran Piala Dunia, ECE memastikan ikut.
Pesaing ECE dari Indonesia juga memasukkan tawaran. ”Ada sekitar enam perusahaan pesaing kami,” kata Fery. Ia mengaku tidak mengetahui siapa saja pesaingnya karena penawaran dilakukan tertutup. Pemberitahuan pemenang diterima ECE melalui surat elektronik sekitar Mei 2007. Pesta merayakan kemenangan digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Penandatanganan kerja sama baru dilakukan pada 27 Juli 2007.
Menurut Fery, ECE bisa menang tender karena duit dan kredibilitas perusahaan. ”Kami menyerahkan pohon grup bisnis. Terpilih karena grup kami punya bisnis penyiaran,” ujarnya merujuk pada JakTV. Selain itu, ECE menyewa agen di Eropa yang bisa melobi FIFA yang berkantor di Zurich, Swiss.
Pada awalnya Electronic City sempat ragu mengikuti bidding lisensi Piala Dunia. ”Kami kaget. Kok, gede banget, sampai lima kali lipat dibanding harga 2006,” kata dia. Namun, setelah berembuk keras, keputusan final pun diambil. ”Tidak ada sejarahnya, penyiaran Piala Dunia merugi,” kata dia.
Senior Manager Produksi SCTV Roni Kusuma mengakui hal tersebut. Pada penyelenggaraan siaran langsung Piala Dunia 2006, SCTV membukukan laba. ”Masih ada untung lumayanlah,” kata Roni, yang enggan membocorkan besaran keuntungan. Peningkatannya jelas berasal dari iklan. Hasil riset The Nielsen Company Indonesia menunjukkan belanja iklan meningkat signifikan. Belanja iklan selama Piala Dunia pada Juni 2006 Rp 2,9 triliun, sebulan sebelumnya Rp 2,5 triliun.
Geliat ekonomi efek Piala Dunia tak hanya di tingkat korporasi. Sektor informal seperti Putri Anisa juga menikmati. Menurut survei Nielsen, penjualan produk konsumsi seperti camilan, minuman ringan, minuman suplemen (energy drink), kopi, dan rokok akan turut meningkat. ”Bisa sampai 31 persen,” kata Steve Mitchell, Managing Director Nielsen.
Helmi, salah satu pedagang kelontong di Kebayoran Lama, Jakarta, mengatakan peningkatan penjualan kopi dan camilan di warungnya bisa meningkat dua kali lipat. ”Banyak yang begadang, banyak acara nonton bareng,” kata pria 35 tahun itu. Untuk itu, ia telah mempersiapkan warungnya dengan membeli lebih banyak stok dagangan.
Menurut survei Nielsen pada 2006, beberapa produk yang penjualannya meningkat adalah kacang (72 persen), rokok (37 persen), minuman penambah energi (35 persen), makanan ringan (28 persen), dan minuman ringan (19 persen).
Di balik derasnya arus uang selama Piala Dunia, ada sisi lain yang dibidik para pemegang lisensi, yakni menaikkan pamor. Menurut Roni Kusuma, keuntungan uang bukanlah yang utama. ”Yang penting adalah persepsi brand kami di masyarakat,” katanya.
Fery membenarkan apa yang dikatakan Roni. Electronic City, kata dia, juga membutuhkan ajang untuk lebih mengenalkan perusahaannya kepada masyarakat luas. Sebelumnya, Electronic City bergerak pada bidang hiburan panggung, seperti mengadakan konser Linkin Park, Craig David, dan Beyonce Knowles. Film Denias, Senandung di Atas Awan juga merupakan salah satu karya yang dipromotori ECE, bekerja sama dengan Alenia Production.
Pengalaman pertama memegang lisensi siaran Piala Dunia ini tak disia-siakan ECE. Berbagai hal baru dikreasi demi mencetak reputasi. Di antaranya 665 jam siaran, 1.300 acara nonton bareng, mengadakan soccer revolution di 1.000 sekolah, dan menyebar 100 kios merchandise. ”Kami juga ingin Piala Dunia dinikmati secara luas,” ujar Ernita Tanti.
Tito Sianipar, Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo