Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Piala Dunia tak ada diskriminasi. Negara yang ateis, fundamentalis, berpenduduk miskin, kaya, negara bekas jajahan atau adikuasa, komunis atau kapitalis semua punya hak sama untuk berlaga. Negara pemilik senjata nuklir hingga negeri yang bisa dikatakan tak punya tentara pun bertanding dengan semangat seragam: meraih supremasi sepak bola sejagat.
Kesetaraan menjadi lebih bermakna karena pesta empat tahunan itu kini digelar di Afrika Selatan. Ratusan tahun negara itu terkoyak apartheid. Politik diskriminasi ras di sana baru berakhir pada 1994, 12 tahun setelah Tunisia menjadi negara Afrika pertama yang mampu meraih kemenangan dalam putaran final Piala Dunia, mengalahkan Meksiko pada Piala Dunia 1978 di Argentina.
Sepak bola Afrika Selatan bangun cepat. Empat tahun setelah apartheid runtuh, mereka mampu menembus putaran final Piala Dunia-walau tersingkir di putaran pertama. Para pemain asal negeri itu segera mengisi klub-klub elite Eropa. Jika pada 2004 Federasi Sepak Bola Internasional, FIFA, dengan suara bulat menunjuk negara tersebut sebagai penyelenggara, itu merupakan kehormatan yang pantas.
Enam belas tahun setelah membongkar politik diskriminasi, Afrika Selatan berpeluang besar mengatrol perekonomiannya. Proyek infrastruktur Piala Dunia meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara itu. Pemerintah mengucurkan dana hingga Rp 46 triliun, belum termasuk biaya pembangunan Gautrain, sistem kereta cepat yang baru diresmikan pekan lalu. Tujuh puluh ribu tenaga kerja terserap aneka proyek. Jumlah itu belum termasuk proyek swasta, seperti pembangunan hotel tempat pemain dan pengunjung menginap.
Piala Dunia menjadi vitamin bagi Afrika Selatan. Badan statistik negara itu melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun ini mencapai 4,6 persen, melampaui prediksi bank sentral yang 3,7 persen, dan melonjak tajam dibanding rata-rata pertumbuhan 2009 sebesar 1,8 persen. Dengan sedikitnya 500 ribu pengunjung, negara itu diperkirakan bakal meraup Rp 23 triliun dan menyediakan 100 ribu lapangan kerja musiman.
Bagi Benua Afrika, Piala Dunia sangat berarti. Dalam penyelenggaraan pesta sepak bola yang ke-19 ini, kemiskinan masih menjadi isu penting di benua tersebut. Sekitar 72 juta anak-anak di sana belum pernah duduk di bangku sekolah. Buat mengatasi masalah itu, Presiden FIFA Sepp Blatter dan Ratu Rania dari Yordania berkampanye bersama dalam penggalangan dana. Seratusan pemain top sepak bola telah bergabung dengan gerakan tersebut.
Ini gerakan luar biasa, dilakukan oleh negeri yang luar biasa. Nelson Mandela, tokoh utama perlawanan apartheid, menyerukan gerakan pendidikan Afrika. "Pendidikan," katanya, "merupakan senjata paling ampuh buat mengubah dunia." Presiden Jacob Zuma-pernah menjadi kapten tim sepak bola narapidana ketika dia ditahan rezim apartheid di Pulau Robben-pun mengajak para pemimpin dunia bersama-sama membantu anak-anak benua itu.
Di depan Piala Dunia, manusia setara. Sayangnya, tim nasional Indonesia masih termasuk kelas paria. Bukan karena politik apartheid berpindah ke olahraga ini, melainkan karena aneka problem yang mendera. Sistem kompetisi tak kunjung membaik. Lapangan sepak bola terus tergerus, menghilangkan kesempatan memperoleh talenta terbaik. Walhasil, Indonesia dipaksa puas menjadi penikmat pesta sepak bola terbesar itu.
Banyak hal harus dilakukan agar Indonesia bisa menembus "kelas utama" sepak bola internasional. Selain karena persoalan infrastruktur atau sistem kompetisi, prestasi sepak bola ternyata dipengaruhi situasi politik dan perekonomian. Menurut penelitian Goldman Sachs, konsultan keuangan internasional, peringkat FIFA berkorelasi positif dengan growth environment scores, yang diukur antara lain dari skor penegakan hukum, korupsi, stabilitas politik, juga keterbukaan. Lembaga itu menjadikan Brasil, Rusia, India, dan Cina-negara dengan pertumbuhan tercepat-sebagai sampel. Hasilnya, Brasil, juara dunia lima kali, memperoleh skor tertinggi dibanding tiga negara lainnya.
Agak teoretis memang. Dalam kasus Indonesia, korupsi memang harus diberantas, hukum harus tegak, stabilitas politik harus dijaga, walaupun sepak bola kita belum mampu bicara di tingkat dunia. Barangkali keadaan negeri yang lebih baiklah obat untuk memperbaiki persepakbolaan nasional.
Untuk sementara, lupakan dulu sepak bola nasional, lupakan PSSI, mari berpaling ke Afrika, menyaksikan gol-gol indah tercipta. Anda masih boleh bermimpi sekali waktu ada pasukan Merah-Putih ikut berlaga di pentas dunia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo