Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jason Butar Butar berlari kecil mengitari lapangan Sasana Tinju Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bulungan, Jakarta. Sesekali ia melakukan skipping. Bukannya memakai pakaian yang nyaman untuk berolahraga di siang hari bolong itu, ia malah menutup tubuhnya dengan jaket tebal lengan panjang.
"Berat badan saya belum masuk," kata petinju 24 tahun itu dengan wajah penuh keringat. Jason sedang berusaha menurunkan berat badannya agar bisa bertarung di kelas bulu 57 kilogram. Saat itu beratnya masih 60 kilogram. Padahal waktu bertarung tinggal empat hari. "Ah, sehari paling jadi."
Jason, juga petinju Indonesia pada umumnya, sering menganggap sepele hal yang sesungguhnya vital. Menurunkan berat badan dalam waktu singkat sangat berisiko dan bisa membuat petinju kekurangan cairan saat bertanding. Peluang terkena perdarahan atau gegar otak pun jadi berlipat.
Bukannya mereka tak mengerti akan risiko tersebut. Namun, lantaran tak ada dokter yang mendampingi dan mengawasi para petinju ini saat berlatih atau akan naik ring, mereka abai akan kondisi tubuh. Dan akibatnya fatal: pecahnya pembuluh darah otak. Inilah penyebab utama kematian petinju di Indonesia.
Petinju terakhir yang hilang nyawa setelah bertarung adalah Tubagus Setia Sakti, 17 tahun. Ia mengalami cedera otak hebat saat tampil dalam Kejuaraan Tinju Nasional kelas terbang junior 49 kilogram versi Komisi Tinju Profesional Indonesia, Januari lalu. Nyawanya tak tertolong setelah ia dilarikan ke rumah sakit.
Tubagus menjadi petinju ke-30 yang tewas setelah menjalani pertarungan dalam sejarah olahraga tinju Indonesia. Dan dia adalah petinju Indonesia ketiga dalam kurun kurang dari setahun yang mengembuskan napas terakhir setelah mendapat perawatan intensif.
Kejadian ini membuat Badan Tinju Dunia (WBC) menjatuhkan sanksi untuk kedua kalinya kepada Indonesia pada awal Maret lalu. Indonesia pernah menerima sanksi serupa pada 2004. Akibatnya, para petinju Indonesia tak bisa tampil di berbagai arena tinju di bawah naungan WBC, termasuk di Orient and Pacific Boxing Federation (OPBF), badan tinju paling bergengsi di Asia-Pasifik.
Padahal di OPBF inilah petinju Indonesia sering bertarung memburu dolar. Menurut penata tanding Willy Lasut, hampir tiap bulan dia mendapat permintaan dari sejumlah promotor di Jepang untuk mempertandingkan petinju Indonesia melawan petinju Jepang. Dengan adanya sanksi itu, dipastikan petinju Indonesia tak boleh bertarung lagi di ring OPBF, untuk waktu yang tak jelas.
Dari banyaknya kasus kematian petinju di Indonesia, menurut mantan dokter ring tinju Komisi Tinju Indonesia, Tommy Halauwet, hampir semuanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak. Ini sebenarnya bisa dihindari kalau mereka mau melakukan pemeriksaan kerentanan terhadap pukulan di kepala.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang rentan terhadap benturan di kepala. Misalnya, ada aneurisma atau kelainan berupa tonjolan di dinding pembuluh darah otak. Tonjolan itu tipis sehingga mudah pecah.
Selain aneurisma, ada pula faktor gen ApoE4. Semakin tinggi angka ApoE4 seseorang, makin berisiko ia mengalami kerusakan otak permanen jika terus-menerus mengalami benturan di kepala. Orang dengan kerentanan seperti ini sangat tidak layak menjadi petinju.
Ketua Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) Haryo Yunarto mengatakan, pada 2006-2007, pihaknya pernah bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk memberi pengujian ApoE4 terhadap 80 petinju Indonesia. Beberapa petinju ditemukan memiliki angka ApoE4 yang tinggi.
"Kami langsung menyarankan mereka beralih profesi dan mereka pun tidak lagi menjadi petinju," kata Haryo. Namun saat ini BOPI tak lagi memiliki dana untuk melakukan kerja sama penting seperti itu. "Padahal tes semacam itu bisa sangat meminimalkan risiko kematian di atas ring."
Aturan untuk memeriksa kesehatan bagi petinju sering dilanggar. Hampir semua petinju tak pernah menyerahkan sertifikat hasil pemeriksaan kesehatannya, baik sebelum maupun sesudah bertarung. Demikian pula penyerahan hasil pemeriksaan kesehatan secara rutin dan berkala tak pernah dilakukan.
Pelatih pun banyak yang abai akan hal itu. Banyak pelatih tak memiliki pengetahuan tentang periodisasi latihan, nutrisi, sistem saraf, metabolisme, biomekanik, dan sistem energi. Padahal pengetahuan itu diperlukan untuk membentuk fisik petinju menjadi prima dan berdaya tahan tinggi di atas ring.
Dari sisi manajemen, masih banyak manajer tinju yang tak mampu mengayomi petinju secara memadai. Kerap mereka membiarkan atau malah melibatkan petinjunya bekerja sambilan, seperti menjadi tukang parkir, penyedia jasa pengamanan, dan penagih utang, yang dilakukan ketika mereka sebenarnya harus beristirahat setelah lelah berlatih.
Dari sisi badan tinju, banyak yang tidak memiliki kejelian meneliti kelengkapan persyaratan yang harus dipenuhi petinju atau manajernya sebelum memberi izin naik ring, seperti yang diakui Ketua Komisi Tinju Profesional Indonesia Ruhut Sitompul. "Ada manajer yang enggak jujur dengan mengatakan petinjunya sehat padahal baru saja kalah KO," ujarnya.
Padahal berbagai seminar dan pelatihan telah dilaksanakan untuk memberikan bekal pengetahuan kepada para pelaku tinju tersebut. WBC, misalnya, setelah menghukum Indonesia selama enam bulan pada 2004, menyelenggarakan workshop atau penataran Medical and Ring Official setahun kemudian.
"WBC tidak cuma bisa menghukum, tapi juga berbagi bagaimana memberdayakan para pelaku tinju profesional. WBC siap membantu Indonesia dalam hal keselamatan petinju kapan saja diperlukan, asalkan ada iktikad baik dan komitmen yang tinggi dari semua pelaku tinju," kata Perwakilan WBC untuk Indonesia, Chandru G. Lalwani.
Menurut Chandru, tidak ada kompromi pada standar keselamatan petinju. "We play with human life," ujarnya. Dalam olahraga tinju, sasarannya dari perut ke atas, bukan perut ke bawah. Target utama serangan ada pada kepala, yang merupakan pengendali semua saraf. "Makanya jangan pernah meremehkan keselamatan petinju," ucapnya dengan nada serius.
Karena itu, ia siap membantu siapa pun dan kapan pun diperlukan demi kemajuan tinju profesional di Indonesia. "Anda tahu, petinju di seluruh dunia umumnya berasal dari keluarga yang kurang beruntung dari segi ekonomi. Namun mereka rela berkorban apa saja, termasuk nyawa, melalui tinju profesional. Karena itulah mereka perlu dihargai agar terangkat kehidupannya," kata Chandru.
Agus Baharudin, Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo