Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan petinju itu berlatih berdampingan dengan sekelompok ayam, angsa, dan merpati. Berada di tempat terbuka, Sasando Boxing Camp setiap hari sekaligus menjadi tempat unggas mencari remah-remah makanan. "Ya, beginilah keadaan kami," ujar Wempy Henukh, manajer sasana itu, sambil tersenyum kecil, saat ditemui awal Maret lalu.
Ini memang sasana yang sangat sederhana. Menempati lahan kosong di belakang rumah-rumah toko yang berjejer di seberang Rumah Sakit Dr Sitanala, Neglasari, Tangerang, Banten, sasana itu hanya beratap langit. Tiap kali berlatih, para petinju harus berjuang melawan terik panas matahari. Bila hujan turun, mereka kerap batal latihan.
Ahad pagi itu, ketika Tempo datang, Martinus Rihi dan delapan petinju anggota sasana ini baru usai melakukan jogging. Mereka akan segera melakukan uji tanding. Tapi lebih dulu mereka harus bergotong-royong membenahi ring. Salah satu tiang besi ring itu patah dan baru diganti. Karena itu, sebelum ring dipakai, tali tersebut pun harus kembali dipasang.
Saat ring usai diperbaiki, matahari sudah mulai meninggi. Lantai ring—terbuat dari semen yang terlihat uzur dan rekah di sana-sini—langsung meruapkan debu ketika diinjak. Seorang petinju pun berinisiatif menyiraminya. Siraman air serupa beberapa kali dilakukan di sela-sela uji tanding di bawah terik matahari yang menyengat itu.
Sasana itu menempati lahan sekitar 50 x 10 meter. Menurut Wempy, tanah ini dipinjamkan oleh Rusman Umar, mertua Wakil Wali Kota Tangerang. Dikelilingi tembok yang kusam berlumut, sasana itu jauh dari ideal. Selain tak beratap, fasilitas di sana benar-benar ala kadarnya. Tak ada peralatan untuk latihan beban. Para petinju, yang semuanya berasal dari Nusa Tenggara Timur, paling hanya bisa bergantian menggunakan tiga sansak. Saat berlatih tanding, mereka tak bisa menggunakan head guard lantaran rusak. "Kami sedang menunggu ada uang untuk bisa beli yang baru," kata Wempy.
Untuk keperluan tidur para petinju, sasana memiliki bangunan seluas 5 x 3 meter yang berdinding batako dan papan kayu serta beratap seng. Di dalamnya ada sebuah televisi 14 inci dan empat tempat tidur yang berdempetan sehingga menyisakan ruang yang sempit untuk berlalu-lalang. Selain itu, ada kamar yang dibangun seperti rumah panggung. Di dalamnya tidak ada tempat tidur. Hanya ada tikar dan karpet. Dindingnya adalah papan kayu yang digantungi tiga sabuk juara tinju dan sebuah piala. "Bikin (kamar) gitu aja butuh Rp 3 juta," ujar Wempy.
Pengelola sasana tiap saat memang ngos-ngosan menyiasati kebutuhan. Berdiri sejak Oktober 2000, tempat itu beroperasi mengandalkan sumbangan orang lain. Menurut Wempy, ada tiga orang yang menjadi penyumbang beras tetap bagi Sasando, masing-masing 50 kilogram tiap bulan. Beberapa kolega juga hampir setiap hari menyumbangkan sayur-sayuran dan daging.
Dana juga didapat dari petinju yang usai bertanding. Setiap berlaga, petinju diwajibkan memberi 20 persen bayarannya untuk sasana dan 20 persen buat pelatih. Dana dari petinju itu digunakan untuk biaya operasional sasana. "Per bulan kami harus mengeluarkan Rp 700 ribu untuk listrik," kata Wempy.
Sasana itu juga harus menggaji dua pelatih tetap, yakni Virgo Warouw dan Julfren Saragih, serta memberi honor kepada dua pelatih lain yang sesekali membantu. Tapi gaji ini tak seberapa besar sehingga para pelatih itu harus mencari pemasukan lain. Virgo, misalnya, menjadi petugas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Tangerang. Sedangkan Wempy memiliki usaha jual pulsa. "Kami semua di sini mengabdi," ujar Wempy.
Dengan fasilitas seadanya itu, sasana Sasando tetap bisa melahirkan petinju berprestasi. Lande Olin, salah satu petinjunya, berhasil meraih gelar juara kelas bantam versi Komisi Tinju Indonesia pada 2011 setelah mengalahkan Muhammad Nurfawaid secara technical knockout (TKO). Sayang, gelar itu kemudian direbut Boido Simanjuntak, pada 2012.
Petinju lain, Maxi Nahak Belu, baru-baru ini berhasil mempertahankan gelar juara nasional kelas welter versi Komisi Tinju Indonesia dengan mengalahkan mantan rekan satu sasananya, Mekhel Sigarlaki. Selain itu, ada Oscar Raknafa, yang berhasil mempertahankan gelar nasional kelas terbang versi Komisi Tinju Profesional Indonesia sebanyak lima kali. Pada November tahun lalu, Oscar juga sukses menjadi juara Asia-Pasifik kelas terbang World Boxing Organization.
Dibanding Sasando, Sasana Tinju Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Bulungan lebih kinclong dalam hal prestasi. Tempat latihan yang terletak di samping Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta, itu pernah menghasilkan dua juara level regional. Yang pertama adalah Untung Ortega, yang menjadi juara kelas ringan junior (58,9 kilogram) versi Pan Asian Boxing Association selama setahun sejak 2003. Untung masuk ke sasana KPJ pada 2002 dan keluar pada 2008. Ia keluar lantaran pensiun sebagai petinju untuk bekerja sebagai koordinator keamanan di sebuah perusahaan di Semarang.
Petinju lain yang punya prestasi bagus adalah Simson Butar Butar. Ia merebut gelar juara kelas ringan junior Asia-Pasifik versi World Boxing Organization pada 2006 dengan mengalahkan Czar Amonsot dari Filipina secara knockout di ronde pertama. Tapi setahun kemudian gelar itu lepas direbut Jimrex Jaca, asal Filipina.
Meski lebih berprestasi, untuk masalah fasilitas, Sasana KPJ Bulungan hanya sedikit lebih baik daripada Sasando. Di tempat ini, para petinju bisa berlatih di ring yang tertutup atap. Namun itu bukanlah ring permanen. Pendapa tempat ring didirikan merupakan panggung pentas seni. "Kalau ada pementasan, kami harus mencopot ring itu," kata Misyanto, pelatih sasana ini.
Peralatan penunjang latihan lain juga seadanya. Sebuah multi-gyms (mesin latihan beban multifungsi) hanya ngejogrok tak bisa dipakai karena besi-besi penambah bebannya sudah tak ada lagi. Di sana juga hanya ada dua sansak yang dipakai bergantian oleh tujuh petinju. Dua barbel juga hanya buatan sendiri, dari besi panjang yang kedua ujungnya dibubuhi kaleng cat yang diisi semen.
Mes petinju berada sekitar 10 meter di samping panggung. Untuk tempat tidur petinju, ada dua ruangan, masing-masing seluas 3 x 3 meter. Tak ada kasur di sana. Hanya ada tikar dan karpet serta beberapa bantal kapuk yang usang. "Saya memang tidak suka pakai kasur," ujar Jason Butar Butar, salah seorang petinju.
Misyanto mengatakan semua biaya operasional sasana yang didirikan pada 2001 itu ditanggung Anto Baret, manajer sasana. Anto dikenal sebagai pendiri komunitas KPJ untuk membina anak-anak jalanan. Setiap bulan ia harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta. Selain untuk operasional sasana, dana itu dipakai buat menanggung makan dan vitamin petinju.
Di sasana itu, para petinju tak diwajibkan menyerahkan sebagian uang hasil bertandingnya. Mereka justru diberi uang makan setiap pekan, meski jumlahnya minim. "Ada yang Rp 90 ribu, ada yang Rp 70 ribu. Mereka membeli makanan sendiri-sendiri," kata Misyanto, yang saat masih bertinju kerap dijuluki Little Holmes. "Ya, kalau ada rezeki, saya membelikan mereka sate kambing atau sup kambing. Tentu tidak setiap hari."
Gadi Makitan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo