Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Profesional serba simsalabim

Tiga petinju meninggal dalam setahun. Sistem pengawasan dan pembinaan tak jalan.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubagus Setia Sakti mengangkat kedua tangannya saat Kejuaraan Tinju Nasional kelas terbang junior 49 kilogram versi Komisi Tinju Profesional Indonesia telah memasuki ronde ke-8 pada 27 Januari lalu. Pemuda 17 tahun itu menyerah. Tubuhnya, yang lunglai, masih berdiri karena tertahan ring. Tapi lawannya, Ical Tobida, tak memberi ampun. Tiga jab keras menghantam lagi wajahnya sebelum wasit menghentikan pertandingan.

Tubagus lalu dipapah ke sudut ring. Ia didudukkan. Tapi tubuhnya, yang tak lagi bertenaga, langsung melorot. Ia terkapar di kanvas. Studio TVRI Senayan, yang dipadati puluhan penonton, langsung hening. Malam itu juga ia dilarikan ke Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia di Cawang, Jakarta Timur. Tapi nyawanya tak tertolong. Petinju asal Lampung itu meninggal keesokan harinya akibat perdarahan di otak kanan.

Meninggalnya Tubagus menambah panjang daftar petinju Indonesia yang tewas saat dan setelah bertanding. Sebelumnya, Oxon Palue meninggal pada 16 November 2012 setelah kalah oleh Gerry Toisuta, sementara Muhammad Afrizal alias Afrizal Cotto tewas pada 4 April 2012 setelah bertanding melawan Irvan Marbun. Artinya, tak sampai setahun, tiga nyawa melayang dari atas ring.

Angka ini membuat Badan Tinju Dunia (WBC) berang. Mulai awal Maret lalu, WBC melarang petinju Indonesia bertanding di semua ajang tinju yang digelar di bawah naungannya. Akibatnya, petinju Indonesia tak bisa tampil di Orient and Pacific Boxing Federation, badan tinju paling bergengsi di kawasan Asia-Pasifik. "Sanksi ini untuk waktu yang tidak terbatas," kata Perwakilan WBC untuk Indonesia, Chandru G. Lalwani.

Ini bukan pertama kalinya Indonesia mendapat sanksi. Sebelumnya, hukuman serupa diberikan WBC pada 2004 menyusul kematian delapan petinju Indonesia dalam kurun 2000-2004. Tapi ring tinju Indonesia tak kunjung berbenah. Kaidah-kaidah keselamatan dan kesehatan petinju terus diabaikan. Sampai saat ini, termasuk Tubagus Sakti, tercatat 30 petinju Tanah Air tewas setelah bertanding. "Kita seperti bermain dengan nyawa," ujar Chandru.

Mantan dokter ring tinju Komisi Tinju Indonesia, Tommy Halauwet, menyebutkan penyebab utama yang membuat petinju terus bertumbangan adalah pengabaian pemeriksaan kesehatan. Dalam buku Pedoman Kesehatan Olahraga Profesional terbitan Badan Olahraga Profesional Indonesia, disebutkan petinju wajib melakukan pemeriksaan dua kali, yakni pemeriksaan awal dan pemeriksaan tahunan. Pemeriksaan awal bertujuan memastikan kelayakan seseorang sebelum bertanding, sedangkan pemeriksaan tahunan untuk memantau kesehatan si petinju.

Pemeriksaan, kata Tommy, dilakukan dengan sejumlah metode. Di antaranya computed tomography (CT) scan untuk mendeteksi perdarahan di otak, magnetic resonance imaging (MRI) buat mendeteksi kelainan organ di dalam tubuh, angiografi untuk mencitrakan pembuluh darah, dan pemeriksaan kadar ApoE4 di otak. "Pemeriksaan harus dilakukan karena rata-rata petinju yang meninggal setelah bertanding mengalami perdarahan otak," ujar Tommy.

Cuma segelintir petinju yang rutin memeriksakan kesehatannya. Penyebabnya klasik: biaya. Ongkos memindai kepala itu memang tak murah. Tommy menyebutkan biaya CT scan sekitar Rp 1,8 juta, MRI sekitar Rp 4 juta, angiografi Rp 7-11 juta, dan biaya pemeriksaan dengan ApoE4 mencapai Rp 100 juta. Sedangkan bayaran petinju untuk sekali bertanding tak lebih dari Rp 2,5 juta.

Bayaran Rp 2,5 juta itu hanya untuk petinju yang bertanding 12 ronde. Sedangkan untuk pertandingan 4 ronde, bayarannya cuma Rp 300 ribu, dan untuk pertandingan 6 ronde hanya Rp 500 ribu. "Jadi kami baru scan (CT scan) kalau setelah bertanding bawaannya ngantuk terus," kata Jason Butar Butar, petinju di Sasana Kelompok Penyanyi Jalanan Bulungan, Jakarta. "Karena itu berarti sudah bahaya." Pelatih di sasana itu, Misyanto, mengatakan petinju biasanya hanya melakukan pemeriksaan kesehatan menjelang pertandingan. Itu pula ucapan Wakil Manajer Sasando Boxing Camp di Tangerang, Banten, Isak Lola: "Kami tak sanggup membayar dokter."

Meski diwajibkan dalam buku Pedoman Kesehatan Olahraga Profesional—yang semestinya menjadi rujukan para petinju—hasil pemeriksaan kesehatan itu ternyata tak harus disertakan dalam permohonan izin penyelenggaraan tinju profesional. Petinju hanya diwajibkan menyertakan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan beberapa hari sebelum bertanding. Pemeriksaan itu pun hanya mencakup pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, gigi, indeks massa tubuh, VO2 max, dan elektrokardiogram—sama sekali tak memindai otak. Maka tes kesehatan awal dan tahunan pun makin diabaikan.

Selain buku pedoman dan syarat pertandingan tak sinkron, koordinasi antara asosiasi petinju amatir dan asosiasi petinju profesional pun lemah. Akibatnya, ring tinju bak panggung sulap: banyak muncul petinju profesional dadakan. Padahal, menurut ketentuan, sebelum menjadi petinju profesional, seorang petinju harus melewati jenjang amatir dulu. "Atau minimal pernah menjadi juara provinsi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia Martines Dos Santos.

Martines menunjuk Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga dan Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Di situ tertera jelas jenjang yang mesti dilalui setiap atlet. Di jenjang amatir, misalnya, petinju harus memulainya di tahap junior, youth, lalu mengikuti kompetisi-kompetisi senior dengan berbagai jenjang, dari tingkat daerah hingga internasional. Fisik, stamina, dan kekuatan petinju harus benar-benar dilatih di setiap jenjang. Mereka juga dibekali kaidah-kaidah keselamatan dalam bertinju. "Ini untuk mengantisipasi agar tak terjadi kecelakaan di atas ring," kata Martines.

Namun, di atas ring, semua serba simsalabim. Banyak petinju mendadak terjun ke kejuaraan profesional tanpa lewat jenjang amatir. Koordinasi yang lemah antara asosiasi petinju amatir dan asosiasi petinju profesional membuat mereka lolos begitu saja. "Mereka enggak pakai permisi," ujar Martines, "tahu-tahu sudah berkarier di profesional." Padahal taruhannya nyawa.

Aturan lain yang sering ditabrak adalah berat badan. Sepekan sebelum naik ring, menurut Tommy, berat badan petinju harus sudah sesuai dengan kelas yang akan dipertandingkan. Tapi kenyataan di lapangan berbeda. Tengok saja perebutan gelar juara nasional kelas ringan yang mempertemukan Geisler A.P. dan Edi Comaro, pertengahan Februari lalu. Sehari sebelum hari-H, berat badan Geisler kelebihan lima ons. Tapi petinju asal Wamena, Papua, itu cuek. Ia optimistis, saat naik ring, berat tubuhnya sudah pas.

Padahal, menurut pemegang gelar juara kelas bulu World Boxing Association, Chris John, upaya menurunkan berat badan secara kilat amat berisiko membuat petinju kekurangan cairan saat bertanding. Kalau sudah begitu, risiko terkena perdarahan atau gegar otak jadi berlipat. "Mereka mungkin kurang tahu cara cepat mengembalikan cairan badan setelah menurunkan berat badan," kata Chris. Syukurlah, Geisler baik-baik saja setelah turun ring. Tapi Tubagus, yang juga mengalami kelebihan berat badan, bernasib tragis.

Dwi Riyanto Agustiar, Agus Baharudin, Gadi Makitan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus