Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jokasmo yang Terus Mencari

Di usia 67 tahun, aktor kawakan jebolan Srimulat, Cak Tohir, menggelar pentas monolog keliling di 30 kota. Sebuah monolog yang akrab, mengalir. Pekan lalu di ISI Surakarta.

14 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjalanan hidup yang penuh warna, dari zaman kegemilangan Srimulat pada 1970-an di bawah tokoh legendaris Teguh Srimulat, ia tekuni. Puluhan tahun di Srimulat, ia malang-melintang menjadi pekerja artistik panggung, penata rias, pelukis reklame, sampai penulis lakon. Ia menjadi saksi masa-masa suram Srimulat. Ia pernah terjun ke dunia film.

Dan kini, di usia 67 tahun, Sutohir, dengan daya tahan yang sulit digambarkan, menampilkan pentas monolog Jokasmo di Gedung F Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, 4 April 2013. Di usianya yang senja itu teater, baginya, masih merupakan jalan untuk mencari diri sekaligus mempertemukan dirinya dengan berbagai kalangan untuk menciptakan persaudaraan.

"Saya menjadi orang panggung di Srimulat pada zaman Pak Teguh karena teater, dan kini kembali ke jalan teater," tutur Cak Tohir—panggilan akrabnya. Kalimatnya masih penuh semangat dan tanpa basa-basi. Sebagaimana dia menjawab berbagai pertanyaan kenapa masih menjalani teater pada usia senja.

Bagaimana proses latihannya? Adakah seseorang yang menjadi sutradaranya? Bagaimana perjalanan yang panjang selama satu setengah tahun terakhir ini dengan 32 kali pentas berkeliling di 30 kota? Apakah ada lembaga kesenian yang ikut membiayai?

Sepanjang hampir satu jam di atas panggung sederhana, hanya diterangi tiga-empat titik lampu yang suram dari baterai kecil, dan beberapa sorotan lampu telepon seluler, semua rentetan pertanyaan itu seakan-akan "dijawab" oleh Cak Tohir. Di antara mati lampu selama hampir setengah jam, Cak Tohir membuka pementasannya dengan cuplikan puisi yang menggambarkan tekadnya dalam menjalani kehidupan yang melelahkan tapi penuh kegairahan. Sajak itu diteruskan dengan sejenis sambutan parikan atas kedatangan penonton di antara hujan gerimis dan lampu suram.

Jokasmo adalah lakon yang sesungguhnya menampilkan perjalanan hidup Cak Tohir sendiri. Lakon ini mengingatkan kita pada Nyanyian Angsa karya Anton Chekov, monolog yang mengisahkan seorang aktor, di antara usia senja dan dunia panggung yang sudah tak lagi menjanjikan. "Jokasmo adalah skenario kehidupan saya sendiri, dan saya menjalani skenario ini karena memang itulah pilihan yang mesti saya ambil," kata Cak Tohir.

Saya lihat, bagi Cak Tohir, pilihan jalan teater sebagai aktor monolog bukanlah sekadar romantisisme. Ia adalah pilihan sebagaimana pilihan sosok-sosok aktor yang menjadi idolanya, seperti Cak Markeso, tokoh ludruk garingan legendaris yang bermain di tengah-tengah masyarakatnya, di kota dan pedesaan yang terus berubah. Cak Tohir ingin menyatakan bahwa jalan teater merupakan pilihan atas kesetiaan.

Jokasmo menampilkan refleksi bagaimana ia bertahan hidup Senin-Kamis. Ia pernah diajak masuk ke televisi oleh rekan-rekannya sesama mantan Srimulat, tapi ditolaknya. "Saya bukan pelawak," jawabnya santai. Namun kita melihat itu bukan berarti Cak Tohir tak bisa melakoni hal-hal yang bersifat humor. Monolog Jokasmo kita saksikan malah penuh humor pahit, humor yang sekaligus membuka kepada harapan dan renungan tentang apa arti hidup.

Maka saya lihat akting Jokasmo dilakoni oleh Cak Tohir tanpa beban, seperti dia menjalani kehidupan keseharian. Dan monolog itu, seperti kita melihat, atau lebih tepatnya, memasuki dan mengikuti lorong-lorong, lika-liku kehidupan seseorang yang rasanya begitu akrab dengan diri kita. Tak ada jarak, menyatu, seperti pengalaman yang pernah kita rasakan pada masa kanak-kanak, ketika kita mendengarkan dongeng, cerita dari orang tua kita.

Secara teknis, Cak Tohir saya lihat tak lagi mengungkapkan soal acting, semuanya mengalir, dan pola acting yang saling silang dari gaya Srimulatan sampai acting modern, diselingi gaya obrolan sebagaimana ludruk garingan yang telah mendarah daging, menjadi naluri baginya untuk menyatakan dirinya. Saya tak ingin menyatakan Cak Tohir mahir. Kata itu tak tepat. Saya hanya bersyukur masih bisa menyaksikan seseorang yang setia kepada pilihannya dalam usia senja, sebagaimana para empu tradisi di pedesaan yang akrab dengan lingkungannya.

Halim H.D., networker kebudayaan, Solo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus