Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah satu tahun kantor Lembaga Bantuan Hukum Surabaya Pos Malang tutup. Kantor yang kerap berpindah lokasi di seputar Malang itu terpaksa tak lagi beroperasi karena kesulitan biaya operasional. Di LBH ini, Munir Said Thalib memulai karier sebagai aktivis dengan bergabung sebagai relawan sejak 1989. "Dia bergabung dalam basis buruh dan petani," kata pegiat antikorupsi Malang Corruption Watch, Luthfi J. Kurniawan, yang pernah menjadi anak buah Munir, November lalu.
Keteguhan Munir bekerja membuat karier aktivisnya menanjak. Satu tahun bergabung sebagai relawan, ia didaulat sebagai Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Hak Sipil Politik di LBH Surabaya. Pada 1992, dia dipercaya sebagai Ketua LBH Surabaya Pos Malang. Beberapa bulan kemudian, Munir menjadi Koordinator Divisi Perburuhan dan Divisi Sipil dan Politik LBH Surabaya serta Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya pada 1993-1995. Selanjutnya, ia menjadi Direktur LBH Semarang beberapa bulan sebelum ditarik ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta pada 1996.
Munir dikenal sebagai pekerja yang militan dan tak kenal waktu. Ketika para aktivis dan relawan pulang ke rumah selepas jam kerja, dia memilih berkeliling mengunjungi kantong-kantong buruh di Surabaya, seperti Rungkut, Tanjungsari, dan Tandes. "Di sana, Munir melakukan pengorganisasian, penguatan, dan advokasi terhadap para buruh," ujar Muhamad Ma'ruf Syah, teman dekat mendiang yang juga sesama aktivis LBH Surabaya.
Ada tiga masalah utama yang dihadapi buruh yang selalu menjadi perhatian Munir, yakni pemutusan hubungan kerja, sistem upah, dan tindakan aparat keamanan yang represif terhadap pekerja. Ketika mengunjungi kantong buruh, terkadang Munir ditemani Teguh, sopir di LBH Surabaya, yang membawa Daihatsu Zebra tahun 1992. Menjelang subuh, Munir kembali ke kantor dan biasa tidur satu-dua jam sehabis subuh. Sebuah meja kerja berbahan kayu dijadikannya sebagai tempat tidur.
Munir memilih tempat itu karena langit-langit di atas meja terpasang kipas angin—suaranya berderit-derit keras. "Cak Munir memilih tempat itu untuk menghindari nyamuk," kata Ma'ruf. Setiap tidur di atas meja, Munir selalu mengenakan sweater tebal, sarung, dan kaus kaki.
Meski tidur larut malam, Munir selalu bangun pagi. Ketika para aktivis, relawan, dan tenaga administrasi LBH Surabaya mulai berdatangan, dia telah rapi siap bekerja. Pada akhir pekan, Munir pun tak libur. Setiap Sabtu dan Ahad dia manfaatkan menerima konsultasi dengan buruh.
Dalam proses pendampingan, Munir kerap melakukan investigasi dengan menyamar sebagai buruh dan bekerja di perusahaan yang bermasalah. Ia juga tinggal di kos, bekerja lembur, dan mengalami langsung kesulitan yang dikeluhkan para buruh. "Biasanya proses investigasi dilakukan Munir selama enam bulan," ucap Kepala Bidang Internal LBH Surabaya Istiqfar Ade.
Selain dikenal pekerja keras, Munir kerap berderma. Dia menitipkan gajinya ke Bendahara LBH Surabaya Endang Mawarti dan memintanya menyisihkan Rp 50-100 ribu bila ada buruh yang membutuhkan bantuan. "Orangnya memang enggak tegaan," ujar perempuan 54 tahun ini.
Berkat kegigihan Munir, beberapa kasus yang didampinginya menjadi isu nasional, di antaranya kasus pembunuhan Marsinah. "Munir berhasil mengusut dengan data yang detail, padahal ketika itu arus informasi sangat tertutup," kata Hendardi, Ketua SETARA Institute, yang pernah menjadi Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi YLBHI.
Marsinah adalah buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Jawa Timur. Dia bergabung dalam gerakan buruh menuntut kenaikan upah pokok karyawan 20 persen di kantornya. Setelah unjuk rasa, 13 buruh digiring ke Komando Distrik Militer Sidoarjo. Marsinah mendatangi Kodim dan menanyakan nasib 13 temannya. Sepulang dari Kodim, Marsinah lenyap dan mayatnya ditemukan pada 8 Mei 1993.
Munir menjadi salah satu kuasa hukum pengungkapan kasus Marsinah dan mendirikan Komite Solidaritas untuk Marsinah (Kasum). Kasum adalah komite yang didirikan sepuluh lembaga swadaya masyarakat yang bertujuan mengadvokasi dan menginvestigasi kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang diduga dilakukan aparat militer.
Di tingkat pengadilan pertama, Direktur Utama PT CPS Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah anggota stafnya dihukum 4-12 tahun. Ketika naik banding, Yudi dan teman-temannya bebas. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung pun membebaskannya dari segala dakwaan. Munir tak pernah puas terhadap hasil putusan persidangan Marsinah. "Dia meyakini ada kekuatan lain di balik pembunuhan Marsinah dan tak terungkap," kata Ade.
Berhadapan dengan militer tak pernah membuat Munir gentar. Semakin dikejar, ia semakin tertantang. "Dia semakin berani, tak akan mundur," ujar kakak Munir, Anisa Said Thalib. Munir hanya sesekali berbagi cerita soal pekerjaan kepada keluarganya—biasanya saat dia pulang ke rumah orang tuanya di Jalan Diponegoro 169 Batu, Jawa Timur. Namun, untuk urusan asmara, ia tak berkata sepatah pun. Keluarganya kaget ketika Munir memperkenalkan Suciwati sebagai calon istrinya.
Munir dan Suciwati pertama kali bertemu saat Munir memberikan pelatihan advokasi kepada para aktivis buruh di LBH Surabaya Pos Malang pada April 1991. Suci, yang juga aktivis dan kerap memberikan pendampingan buruh, menjadi salah satu peserta. Sejak pertama kali bertemu, Suci tertarik pada Munir. "Orangnya keren, ganteng, dan berani," kata Suci.
Seusai pertemuan pertama, Suci terlibat membantu Munir membuat penelitian buruh dan membantu LBH divisi buruh. Cinta di antara keduanya pun tumbuh. Sejak pertama kali bertemu, mereka punya banyak kecocokan. "Apa aja nyambung dan seringnya ketawa bareng," ucap Suci.
Mereka berpacaran setelah satu tahun berkenalan. Munir menyatakan cintanya ketika mereka berboncengan sepeda motor. Uniknya, setelah menyatakan cinta, dia malah meminta waktu seminggu lagi kepada Suci untuk memastikan perasaannya. "Dia bilang mau salat dulu. Satu minggu kemudian, dia datang lagi dan bilang sudah yakin atas perasaannya," kata Suci.
Suci menerima pernyataan cinta Munir, tapi dengan syarat. Dia meminta hubungan keduanya tak boleh mengganggu pekerjaan sebagai aktivis. Mereka pun merahasiakan hubungan pacaran di antara teman-temannya. "Gayanya juga tak seperti pacaran karena pertemuan kami selalu saat pendampingan buruh," ujar Suci.
Selama empat tahun "putus-nyambung", keduanya menikah pada 7 Juni 1996. Selama delapan tahun menikah, mereka dikaruniai dua anak: Alif Allende dan Diva Suukyi.Â
Setelah Munir dan Suci menikah, teror menghampiri mereka. Kepada Tempo pada edisi 21 Desember 1998, Munir bercerita sembari memandikan anaknya, seorang perempuan cantik pernah mengunjungi rumah pasangan itu ketika keduanya sudah pindah ke Jakarta. Dalam keadaan hamil, Suci mendengar pengakuan perempuan itu sebagai kekasih gelap Munir.
Dengan tenang, Suci mengajak perempuan itu menemui Munir. Ketenangan Suci membuat perempuan itu mundur teratur dan kabur. Munir menyebut teror itu tak seberapa dibanding yang dialami korban penculikan. Dia pun kenyang dengan teror seperti ancaman penculikan, pembunuhan, dan pengiriman bunga yang diperciki darah. "Saya harus merasa mampu untuk mengalahkan rasa takut itu," kata Munir ketika itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo